Senin, 08 April 2013

BAJRA WINARAH PITU - Dhang Hyang Sidhi Mantra



Taksunya hampir dilupakan pinandita

Seorang pertapa bersila tekun di kaki gunung Toh Langkir. Dihadapannya tujuh bajra berjejer mulai dari ukuran kecil hingga besar. Sebagian wujud pegangannya berukirkan para Dewa. Sang pertapa masih menunggu kesunyian bahtin. Bayangan putra satu-satunya yang telah menjadi seonggok abu mengusiknya.

Sesekali tampak perutnya mengembang, menyerap prana disekitarnya. Udara sisa dihembuskan melalui mulut dengan halus. Beberapa lama kemudian kembang kempis perutnya semakin halus, bagai nafas bayi yang baru lahir. Prana disekitar tempatnya bersila mulai deras mengelilingi tubuh sang pertapa. Sesekali ada petir halus memancarkan sinarnya di udara, ekor petir seukuran rambut dibelah sepuluh terkadang menyentuh tujuh bajra tersebut. Kurang terang dalam pengertian, halilintar yang menyambar bajra ataukah bajra menyemburkan halilintar.

Sang pertapa yang tak lain adalah Mpu Sendok sedang berduka. Putranya hangus disembur api naga Basuki yang marah karena ekornya dipotong Manik Angkeran. Hari ini Mpu Sendok melakoni adi lampah, ngojah para Dewa sejagat dan Leluhur. Intisari lautan Weda, warisan sastra Leluhur diselami selama hidup akan dikerahkan. Teguh bhaktinya kepada para Dewa, Leluhur serta kesetiaannya kepada Siwa Budha akan diuji. Naga Basuki telah berjanji, kalau ekornya dapat menyambung kembali, Manik Angkeran yang telah menjadi abu akan berwujud kembali seperti sediakala.

Udara Toh Langkir lebih dingin dari biasanya dikarnakan uleng manah, jnana, kekuatan pikiran sidhi lan shakti sang pendeta anunggal. Kekuatan kiwa dan tengen menyatu. Tiga pusat kehidupannya; bhur, bhuwah dan swah bersinar terang, memusat di ulu hati, pada chakra anahata, jantung. Intisari ajaran Siwa Budha telah menyatu di bathin sang Pendeta. Dalam relungnya, Beliau memahami hanya kekuatan budhi, karuna budhi, kasing sayang yang bisa melampaui keinginan. Bahkan para Dewa tidak bisa menghalangi keinginan manusia yang telah mencapai budhi pekerti tinggi.

Udara sekarang campur bawur. Kadang panas kadang dingin, membawa sifat kiwa tengen yang silih ganti. Nafas yang terhenti menciptakan panas karena prana tubuh diolah sempurna. Penarikan prana ke dalam tubuh mencipta dingin. Beliau seorang Mpu yang mumpuni, bathinnya kuat di dalam ajaran Siwa Budha.

Kali ini Sang Rudra ada di dalam hati, tepatnya bathin, Siwa wujud lain yang melakukan penarikan dan penghancuran penciptaan. Beliau akan memohon pelepasan dan penundaan proses penghancuran.

Tangan sang pendeta kemudian membentuk mudra padma di depan ulu hati. Puja mantra dengan kekuatan tantra telah mengalun lembut penuh kesedihan. Sinar ungu muda, terkadang merah muda, warna warni indah yang tak kasat mata menyelimuti tubuh sang pendeta. Petir halus semakin banyak biasnya pada tujuh bajra dihadapannya, sungguh pemandangan membuat takjub, sebab kemudian, bajra terangkat bagai dimainkan sinar petir, dikendalikan kekuatan bathin sang pendeta. Tujuh bajra mulai berdenting halus nadanya yang kukira adalah gambang, tembang lagunya para Dewa.

Isi alam semesta tergugah, Bhatara turun kabeh, Mulai dari Dewa Agung sampai Paratman berdatangan dari berbagai penjuru semesta, terusik dengan teguh bhakti dan puja mantra sang pendeta. Bumi bergetar tiada bencana. Hujang angin petir membawa kedamaian. Rumput tumbuh mendahului musim. Semua kehidupan merasakan kebahagiaan. Bunga bermekaran mengharumkan gunung Toh Langkir, menggugah para Dewa. Widiadara dan widiadari menari, mengiringi turunnya para Dewa. Ada Sang Pembayun Agung, penguasa Toh Langkir bersama Sang Bhanaspati Raja penjaga gumi Bali. Demikan pula Raja Dewa, Sang Bhatara Indra.

Satwa liar se-Bali bagai mendapat komando, tiada perbedaan mereka berlomba mencapai Toh Langkir. Instingnya menuntun tujuan dan harus mencapai berkah restu dari sang pendeta. Sesampai di Toh Langkir, serentak semua satwa liar yang mencapai pusat sinar ingin melakukan pengorbanan diri. Instingnya mengatakan, berkorban demi bhakti orang suci adalah berkah kehidupan.

Berbagai fenomena alam terjadi, ibarat pementasan agung. Sang Pendeta menjadi pusat perhatian. Tidak jelas berapa lama, terdengar kabar bahwa ekor naga Basuki telah tersambung. Puja dan denting bajra masih berjalan sebab Manik Angkeran belumlah dilihat wujudnya oleh Sang Pendeta.

Sesuai janjinya, sang naga kemudian mendatangi abu Manik Angkeran dan ditetesi dengan air liur kehidupan, selanjutnya dari kedua mata sang naga memancar sinar putih keunguan, kekuatan kasih sayang. Tak lama, Manik Angkeran telah berwujud kembali, kemudian sungkem dan mohon pengampunan kepada naga Basuki. Naga Basuki mengampuni lalu berkata: “Duhai manusia, engkau boleh memohon berkah kemakmuran kepadaku, tunjukkan teguh bhaktimu kepada para Dewa dan Leluhur, maka emas, perak, intan berlian pada tubuhku ini akan kutaburkan dalam kehidupanmu”. Demikianlah selanjutnya, manusia sering memohon restu kepada naga Basuki di Goa Raja, Besakih.

Tak diceritakan bahagianya sang pendeta. Kemudian, Mpu Sendok yang telah menunjukkan teguh bhaktinya dalam ajaran Siwa Budha mendapat gelar abhiseka Dhang Hyang Sidhimantra. Tujuh Bajra kemudian disebut ‘bajra winarah pitu’. Bajra artinya petir, halilintar dan winarah artinya terjadi. Bajra winarah pitu kemudian raib, menuju alam sunia, niskala, ditempatkan di alam niskala oleh Dhang Hyang Sidhimantra.

Pada suatu masa di jaman ini, saya mendapat wisik mengenai bajra tersebut dari sesuhunan: “Pada saat yang tepat, di tempat yang tepat, bajra dan kekuatan dari bajra winarah pitu akan muncul dengan sendirinya. Yang tiga hanya turun taksu, kekuatannya saja, sebab telah rapuh keadaanya. Yang tiga muncul sekalian wujudnya. Yang satu diambil dari bumi oleh manusia Dewa Titisan. Tujuh soroh pandita akan mendapat berkah memakai bajra winarah pitu. Manakala dibunyikan bersama, hujan petir terjadi”.

Hari bersejarah tersebut diperingati setiap seratus tahun sekali dengan sebutan Pujawali Bhatara Turun Kabeh Eka Dasa Rudra. Demikianlah, pada jaman selanjutnya dibuktikan, yakni berbagai satwa liar mendatangi gunung Agung yaitu gunung Toh Langkir pada saat gelaran Pujawali Bhatara Turun Kabeh. Bagaikan hal yang disepakati antara manusia dan satwa alam jagat Bali. Beruntunglah manusia yang sempat menyaksikan gelaran agung seratus tahunan tersebut.

* * *

Kemudian saya ceritakan suatu kejadian yang berhubungan dengan ‘bajra winarah pitu’. Jauh sebelum mendapat cerita di atas saya membeli tiga bajra. Ukurannya besar sampai sedang, diletakkan di ruang suci Puri Agung Dharma Giri Utama, memohonkan taksu kepada Bhatara Raja. Beberapa hari kemudian, disebelah tiga bajra baru tersebut telah muncul dengan sendirinya tiga bajra kuno. Hal tersebut dilaporkan oleh pengayah puri yang sudah sering mendapati kemunculan pratima di meja ruang suci. Karena saking seringnya keanehan terjadi di Puri, hal-hal seperti demikian tidaklah menjadi suatu kehebohan.

Tiga bajra yang saya beli sebenarnya ingin dipakai dalam gelaran sakral ‘Puja Bhuwana Langgeng’ pada tanggal 28 Oktober 2012. Gelaran ini atas petunjuk dari Hyang Bhatara Agung Mpu Kuturan dan Bhatara Raja. Untuk memohonkan restu jagat Bali agar terhindar dari mara bahaya. Sekaligus sebagai amanah yang harus saya lakukan karena telah mendapat penugrahan oleh Bhatara Raja dan Hyang Maha Guru Bhatara Agung Mpu Kuturan yaitu anugrah kebangkitan Kundalini fase kedua yang disebut ‘bhuwana langgeng’. Fase kundalini kedua adalah anugrah agar selamat dari bencana alam.

Bhatara Raja kemudian mengatakan, karena persiapan puja bhuwana langgeng hampir selesai, wisik Ida Dhang Hyang Sidhimantra terjadi. Tiga bajra yang dibeli bagai diatur yaitu untuk menerima taksu dari tiga bajra yang sudah rapuh di alam niskala. Tidak mungkin untuk diwujudkan aslinya ke skala sebab hancur kalau diangkat. Biarlah tiga yang asli aman ditempatnya. Berarti enam dari tujuh bajra sudah muncul di Puri Agung Dharma Giri Utama. Yang satu akan muncul di Purohita Pura, Desa Unggahan, Seririt, Buleleng yaitu tempat puja bhuwana langgeng akan digelar, demikian sabda Bhatara Raja.

Singkat cerita, pagi hari, tanggal 27 Oktober 2012, Bhatara Raja mengatakan bahwa satu bajra yang ditunggu sudah datang di Purohita Pura. Pada sandyakala akan diambil dari suatu tempat di areal pura.

Akhirnya waktu yang ditunggu sudah tiba. Saya telah selesai dengan ritual. Kemudian saya diamanahkan menghunuskan pusaka keris untuk menuntun bajra yang masih di niskala ke lokasi pengambilan bajra yang paling berkekuatan dari yang tujuh. Bhatara Raja berjalan ke lokasi telaga kecil dekat payogan. Ritual mewujudkan bajra niskala ke skala disaksikan oleh Prebekel dan beberapa masyarakat Desa Unggahan.

Bhatara Raja menapakkan tangannya ke tanah di dekat telaga, mengunci bajra agar tidak bergerak ke mana-mana di alam niskala. Bhatara Raja kemudian menuju telaga dan menjulurkan tangannya ke dalam air. Lelangit kain putih di atas Beliau bergetar dahsyat. Tangannya bergetar bagai ada perlawanan dari dalam tanah. Tiba-tiba pemegang lelangit kain putih, jero Ayu, jero Menuh berteriak diikuti Gusti Ngurah Ketut Gede. Kaki jero Ayu masuk ke dalam telaga bagai disedot. Akhirnya, Bhatara Raja menarik tangannya dengan kekuatan dahsyat, bajra yang ketujuh sudah ada dalam genggaman. Yang menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut sunyi senyap terkesima dengan kejadian aneh dan sakral tersebut.

Bersamaan dengan bajra berhasil ditarik keluar, jero Menuh berteriak dengan keras seraya berkata: “Suksma, terimakasih Pinisepuh, nira bebas... nira bebas... nira lakar ngayah dini, akan mengabdikan diri di sini...”. Selanjutnya, bajra dibersihkan dari lumpur.

Mengambil Bajra Niskala
 Baiklah sekarang saya ceritakan mengenai telaga kecil. Mulanya adalah pohon kelapa setinggi tujuh meteran, batangnya kecil, doyong seperti hendak rubuh. Karena mengganggu dan bahaya maka ditebang. Setelah ditebang, bermaksud membuang akarnya, digalilah pinggirannya. Sudah beberapa pohon ditebang di areal pura dan tidak ada kendala. Tetapi akar pohon kelapa ini sangatlah susah untuk dicabut. Bahkan sisa pohon setinggi limapuluh sentimeter yang sedianya dirapikan, tidak bisa dipotong dengan gergaji besar dan kampak. Dari pinggir akar pohon, muncul air dan membentuk telaga berdiameter satu meter. Tanahnya adalah paras dan keras tetapi Bhatara Raja bisa memasukkan tangannya melebihi dalamnya telaga.

Akhirnya ‘bajra winarah pitu’ sudah lengkap diwujudkan ke skala oleh Bhatara Raja. Telaga tempat munculnya bajra yang ketujuh kemudian disucikan. Pada bulan Januari 2013 Bhatara Raja mengamanahkan kepada saya untuk memberi nama kepada telaga tersebut.  Saya memberi nama “Telaga Bajra Murti”. Bhatara Raja mengatakan bahwa, tirtha dari ‘telaga bajra murti’ adalah bertuah dan bisa dimohon untuk mensucikan bajra dalam proses pasupati bajra anyar agar mendapat berkah tuah, kekuatan manakala dipakai dalam pemujaan. Atau untuk nyiramang, mensucikan bajra pada hari tumpek landep agar restu ‘sidhi’ Dhang Hyang Sidhimantra dapat turun kepada pinandita yang menggunakan bajra dalam pemujaan para Dewa.

Pada saat gelaran ‘puja bhuwana langgeng’, sesuai dengan wisik agar dipakai tujuh soroh, maka dihubungilah beberapa ratu peranda. Namun sayang, tak satupun ratu peranda Kemenuh yang dihubungi bersedia ikut dalam gelaran puja sakral tersebut. Kami memaklumi keadaan yang sudah rahasia umum yang tak perlu diceritakan di sini. Akhirnya Bhatara Raja menitahkan agar bajra dilinggihkan di surya tutuan dan dimohon taksunya saja agar merestui lima peranda yang bersedia melakukan puja Surya Sewana pada tanggal 28 Oktober 2013.

Di luar dugaan, rupanya khabar media dibaca ratu peranda dan sulinggih Bali. Selanjutnya dari pagi hingga jam dua siang, tigapuluh tiga sulinggih dan puluhan pemangku berdatangan dan ikut melakukan puja mantra bersama mengitari satu kunda Agni Hotra secara bersama-sama.

Sesuai dengan tuah bajra, walau di lokasi gelaran puja tidak ada hujan dengan petir, akan tetapi di beberapa kabupaten dilaporkan ada angin, hujan, petir dan suara gemuruhnya. Sampai dengan bulan Januari 2013, hujan petir masih berlangsung. Bahkan Jakarta terendam banjir yang melumpuhkan Ibu Kota selama sepekan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar