Jumat, 18 Desember 2009

Kalki Awatara

Hikmah dari cerita Sang Budha Gautama agar manusia menyadari hakekat kehidupan

Budha adalah perwujudan Awatara Wisnu yang kesembilan dan di antara perwujudan awatara Wisnu awatara Budha adalah yang sempurna di mana umat manusia diajarkan tentang dharma dan kebahagiaan yang mutlak.

Di jaman kerajaan Kapilavastu dengan rajanya Suddhodana dan ratunya Mahamaya. Di mana sang ratu kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan yang mereka beri nama Siddhartha, akan tetapi sungguhlah sayang tujuh hari kemudian, sang ratu Mahamaya meninggal dunia.

Seorang Rsi bijaksana/penasehat raja pada saat itu yang bernama Kala Devala memberi tahu sang raja bahwa ketika pangeran Siddhartha beranjak dewasa ia akan melihat hal-hal yang akan membuatnya sedih dan pergi menuju hutan. Mendengar hal itu raja tidak memperbolehkan Siddhartha untuk pergi melewati gerbang istana.

Siddhartha merupakan anak pintar, berbahagia dan juga amat penyayang serta lembut. Pada suatu hari Siddhartha dan sepupunya Devadatta sedang berjalan-jalan. Devadatta tiba-tiba melihat seekor angsa dan memanahnya sehingga angsa tersebut terjatuh. Siddhartha amat terkejut melihat burung yang terluka tersebut, Devadatta bersikeras untuk memiliki burung angsa tersebut karena ia yang memanahnya. Akan tetapi Siddharta mengatakan itu adalah miliknya. Akhirnya mereka pergi ke Rsi Kala Devala sang penasehat raja di mana kemudian Rsi itu mengatakan angsa tersebut menjadi milik orang yang menyelamatkannya bukan orang yang berusaha membunuhnya.

Siddhartha tumbuh dewasa dan menjadi seorang pria muda. Raja Suddhodana menikahkannya dengan seorang putri cantik yang bernama Yashodhara. Raja berharap agar Siddhartha tidak akan pernah meninggalkan istana. Tapi Siddhartha tidak merasa bahagia di dalam istana. Ia memerintahkan pelayannya yang setia Channa untuk menemaninya berjalan-jalan keluar istana. Dalam perjalanannya Siddhartha melihat orang yang sudah tua yang bungkuk dimana Siddhartha tidak pernah melihatnya di dalam istana. Melihat orang yang sedang sakit keras dan melihat orang meninggal. Siddartha menyadari bahwa ayahnya mengungkungnya di dalam istana, untuk melindunginya agar ia tidak melihat hal-hal semacam itu.

Siddartha keluar lagi dan kali ini ia melihat seorang pria dengan kepala gundul. Ia bertanya pada pelayannya dan pelayannya berkata itu adalah seorang bijak yang meninggalkan segalanya serta pergi ke hutan untuk mencari kebahagiaan.

Pada suatu kesempatan Siddharta berpikir untuk meninggalkan Istana dan mencari kebahagiaan. Akhirnya pada suatu malam, ketika istri dan anaknya Rahula sedang tertidur, Siddartha bersama pelayannya yang setia Channa dengan diam-diam pergi meninggalkan istana. Mereka menyeberangi sungai Anoma, disana Siddartha melepaskan jubah kerajaanya dan memberikannya kepada Channa untuk mengembalikannya ke istana. Kemudian Siddartha menggunakan jubah oranye serta memotong rambut panjangnya. Siddartha pergi menemui satu guru ke guru yang lain menanyakan; Apakah Anda tahu jalan untuk mencapai kebahagian?

Tapi tidak ada seorang pun bisa memberitahunya. Akhirnya ia duduk di bawah pohon Bodhi dan berusaha menemukan jawabannya sendiri. Beberapa hari kemudian ia menjadi seorang yang bijak dan orang-orang menyebutnya Gautama Budha. Budha mencintai seluruh binatang dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang.

Pada suatu hari Dewa Siwa menguji Sang Budha karena Siwa tahu Awatara ini yang akan membawa umat dunia untuk mencari jalan kebahagian karena mempunyai jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk.

Dewa Siwa mengirim binatang buas yaitu gajah liar dan harimau liar nan ganas. Tetapi yang terjadi pada binatang-binatang tersebut setelah melihat cahaya kasih sayang yang dipancarkan oleh Sang Budha binatang-binatang tersebut langsung tunduk hormat dan bersimpuh di bawah kaki Sang Budha. Akhirnya Sang Budha mempunyai pengikut yang sangat banyak dan pengikutnya tinggal di dalam sebuah grup yang di sebut Sangha.

Sang Budha mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dengan merasa puas akan apa yang dimilikinya dan menunjukkan kasih sayang pada semua mahluk. Pada akhirnya di sebuah tempat yang bernama Kusinara, Sang Budha berbaring di bawah pohon Sala dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Maka sesuai petunjuk dari Sakyamuni yang diperoleh oleh Ida Mpu Kuturan, Sang Budha Gautama akan bereinkarnasi kembali karena di jaman Kali Sang Budha akan berkhotbah kembali sebagai Awatara yang terakhir agar dunia ini bisa tentram dan damai. Dengan alasan tersebut Sang Budha tidak moksha atau kembali ke Nirwana di jaman itu karena Sang Budha akan bereinkarnasi kembali dengan Awataranya yang terakhir yaitu Kalki Awatara.

Sumber: Komunikasi Pinisepuh dengan Ida Bhatara Mpu Kuturan

Rabu, 09 Desember 2009

Sejarah Ciwa Budha di Nusantara

Awal mula perpaduan agama Ciwa Budha tidak lepas dari sejarah kerajaan Mataram kuno yang terdiri dari dua dinasti, yakni kerajaan Sanjaya dan kerajaan Syailendara . Kerajaan Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Raja Sanjaya. Beberapa saat kemudian, kerajaan Syailendra yang bercorak Budha Mahayana didirikan oleh Raja Bhanu. Kedua raja ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa Raja Balitung.

Raja Syailendara

Raja Syailendra berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kamboja). Pada awal era Mataram kuno, raja Syailendra cukup dominan dibanding Raja Sanjaya. Pada masa pemerintahan Raja Indra, Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Beliau juga melakukan perkawinan politik: Puteranya yang bernama Samaratungga, dinikahkan dengan putri raja Sriwijaya yaitu Dewi Tara. Kemudian Raja Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenlan (Kamboja) dan sempat berkuasa disana selama beberapa tahun. Peninggalan terbesar Raja Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada pemerintahan Raja Samaratungga.

Raja Sanjaya
Kerajaan Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya/Rakeyan Jamri/Prabu Harisdama, cicit Wretikandayun, Raja kerajaan Galuh pertama. Pada saat menjadi penguasa kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Ibu dari Sanjaya adalah Sahana, cucu Maharani Sima dari Kalingga di Jepara.

Ayahanda dari Sanjaya adalah Bratasena/Sena/Sanna, raja Galuh ketiga. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putra bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua. Sena dilengserkan dari tahta kerajaan Galuh oleh Purbasora.

Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, Pusat kerajaan Sunda dan meminta pertolongan kepada raja Tarusbawa. Ironis sekali, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan kerajaan Galuh dari Tarumanegara, sehingga kerajaan Tarumanegara terpecah menjadi dua kerajaan yaitu Sunda dan kerajaan Galuh.

Sanjaya yang merupakan penerus kerajaan Galuh yang sah, menyerang kerajaan Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu Sanjaya menjadi raja di kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh, sehingga bekas kerajaan Tarumanegara dapat disatukan lagi dalam satu kerajaan yaitu kerajaan Sunda Galuh.

Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian menjadi penguasa Kalingga utara yang disebut Mataram, dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda Galuh dan Kalingga/Mataram (Hindu). Dalam masa itu dan masa-masa selanjutnya telah terbentuk semacam ikatan politik (seperti saat Majapahit mempersatukan Nusantara).

Kekuasaan di Jawa Barat kemudian diserahkan kepada putera Sanjaya dari Tejakencana, putri raja Tarusbawa dari kerajaan Sunda yaitu Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Sedangkan penerus Sanjaya di kerajaan Mataram adalah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga selatan/Bumi Sambara. Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban/Tamperan adalah saudara seayah tapi lain ibu.

Pemimpin Mataram selanjutnya adalah, Rakai Panunggalan, Rakai Warak dan Rakai Garung. Rakai Garung mempunyai anak yaitu Rakai Pikatan. Rakai Pikatan yaitu menjadi pangeran kerajaan Sanjaya, menikah dengan putri raja Samaratungga yaitu Pramodhawardhani. Sejak itu pengaruh kerajaan Sanjaya yang bercorak Hindu mulai menggantikan menjadi agama Budha dan menjadikan penyatuaan Ciwa Budha. Rakai Pikatan bahkan menyerang raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara) dari kerajaan Syailendari dan berakhir ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya. Karena Balaputradewa tidak menyetujui konsep tentang pemahaman Ciwa Budha tersebut.

Kemudian raja Tulodong adalah yang mendirikan Candi Prambanan. Merupakan komplek candi Hindu terbesar di Asia Ttenggara. Pada masa ini ditulis sastra Ramayana dalam bahasa kawi.
Pada Jaman pemerintahan raja Kertanagara, raja Singasari terakhir, penyatuan Ciwa dan Budha karena toleransinya yang sangat besar dan juga alasan yang bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Kubilai Khan. untuk mempertemukan kedua agama itu, Kertanagara membuat Candi Ciwa Budha yaitu candi Ciwa di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.

Pembaruan Ciwa Budha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja Majapahit yaitu Kertarajasa yang didharmakan di candi Sumberjati (Simping Blitar) sebagai wujud Ciwa (Ciwawimbha) dan di Antahpura sebagai Budha. Hal ini memperlihatkan suatu kepercayaan dimana kenyataan tertinggi dalam agama Ciwa maupun Budha tidak berbeda.

Agama Ciwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Ciwa Siddhanta yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa kerajaan Mataram. Ajaran agama ini sangat dipengaruhi oleh Saiwa Upanisad, Wedanta dan Samkya. Kenyataan tertinggi agama ini disebut Parama Ciwa yang disamakan dengan suku kata suci OM. Dalam pakem berikutnya dikenalkan pengertian sebagai berikut oleh Ida Mpu Kuturan:
  • Parama Ciwa yang bersifat tak terwujud ( niskala)
  • Sada Ciwa yang bersifat berwujud-tak terwujud (sanakala-niskala)
  • Ciwa yang bersifat berwujud (skala)
Selain agama Ciwa Siddhanta dikenal pula aliran Ciwa Bhairawa yang muncul pada pemerintahan Jayabaya. Agama ini adalah aliran yang memuja Ciwa sebagai Bhairawa. Raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Ciwa Siddhanta kecuali Tribuwana Tungadewi (raja Majapahit ke 3) yang beragama Budha Mahayana. Walaupun begitu agama Ciwa dan Budha tetap menjadi agama resmi kerajaan dan pada akhirnya dijadikan satu yaitu Ciwa Budha. Pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa) ada 2 pejabat tinggi Ciwa dan Budha, yaitu Dharmadyaksa Ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa Ring Kasogatan.

Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting di lingkungan istana yang disebut Tripaksa yaitu Rsi-Saiwa-Sogata berkelompok 3 dan berkelompok 4 disebut catur Dwija yaitu Mahabrahmana (Wipra) – Rsi – Saiwa – Sogata.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa saat itu masyarakat Majapahit sudah amat bahagia gemah limpah loh jinawi. Hindu sendiri dari tiga agama besar, Brahma, Wisnu, Ciwa, lalu ada Budha Tantrayana dan Saiwa Bhairawa serta semua ajaran tersebut dijadikan satu dalam wadah spiritual yaitu Ciwa Budha. Semua mendapat tempat di Majapahit tanpa di-diskriminasi.
Penganut animisme juga banyak dan oleh pemeluk ajaran yang lain, mereka tidak dianggap kafir sebab inilah agama asli nenek moyang. Kerajaan besar ini sangatlah toleran terhadap aliran kepercayaaan karena Majapahit belajar dari kekonyolan kerajaan terdahulu. Pelajaran dari masa lalu adalah yang membuat Majapahit menjadi kerajaan besar, terbuka dan toleran terhadap semua ideologi, bahkan terhadap ajaran yang amat baru dan aneh pun Majapahit sangat toleran, padahal di dalam kerajaan sudah ada pakem yaitu Ciwa Budha tetapi sungguh luar biasa tolerannya terhadap keyakinan.

Mari kita bangsa Indonesia yang katanya sudah maju, berpikir yang sangat positif bahwa tidak ada suatu keyakinan yang membenarkan dirinya yang paling benar, karena di setiap keyakinan ada Tuhan dan di setiap keyakinan Tuhan, ada kebenaran dan ada kesalahan. Jadi semua yang benar maupun yang salah sudah dikehendaki oleh Tuhan itu sendiri. Jadi janganlah saling mendiskriminasikan ajaran/agama orang lain. Kita hidup dalam wadah spiritual Ciwa Budha.

Note:
Kata agama dipakai untuk memudahkan pengertian. Sebenarnya saat tersebut kata agama belum dikenal.

Sumber: Pinisepuh

akan datang: sejarah Ciwa Budha di Bali...

Sabtu, 05 Desember 2009

Karya Para Mpu Nusantara

Beberapa Mpu di Nusantara dan Karyanya

Mpu Gandring (warga Pande),
Mpu Gnijaya (warga Pasek),
Mpu Bradah (warga Brahmana, Treh Dalem),
Mpu Tantular (kekawin Sutasoma)
Mpu Sedah/Mpu Panuluh (kekawin Bharatayuda),
Mpu Tanakung (kekawin Siwa Ratri Kalpa),
Mpu Kanwa (kekawin Arjuna Wiwaha),
Mpu Prapanca (kekawin Negara Kertagama)

Karya Mpu Kuturan Dalam Menata Perhyangan di Bali Dwipa
Mpu Kuturan adalah seorang pendeta suci dari warih Ida Bhatara Hyang Genijaya yaitu cucu dari Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati saking Giri Mahameru (Jambu Dwipa).

Karya Mpu Kuturan di Bali:
Konsep Siwa Budha
Konsep Tri Murti
Tripurusha
Padma Tiga di Penataran Besakih
Kahyangan Tiga (Pura Desa, Dalem, Puseh)
Meru
Gedong
Konseptor seni arsitektur Bali
Konsep Menjangan Seluwang (konsep ini ada di lontar Kusumadewa)

Beberapa jenis padma menurut lokasinya, yaitu:
Timur (padmakencana),
Selatan (padmasana),
Barat (padmasari),
Utara (padmalingga),
Tengah (padmakurung),
Tenggara (padma astadana),
Barat Daya (padmanoja),
Barat laut (padma karo),
Timurlaut (padmasaji)

Beberapa jenis candi yaitu candi ibu, candi tikus, candi bajang ratu, candi raden wijaya, candi semar, candi arjuna, candi bimasena, dll.

Salah satu lontar Bali sendiri mengatakan:
Sira empu Kuturan, ingaranan empu Raja Kertha, mahyunta anggawe perhyangan kabeh sane ke gawe wit Majapahit, kaunggahan ring Bali kabeh.

Ida empukuturan, bergelar Mpu Raja Kertha, membawa konsep-konsep perhyangan yang dibawanya dari majapahit, yang diletakkan di seluruh pulau bali.

Jadi pada intinya semua tata letak, konsep, keyakinan maupun budaya, sastra, dll., kebanyakan dibuat oleh Mpu Kuturan, karena itu pulau Bali dikenal dengan pulau seribu pura. Karena karya-karyanya yang banyak, Mpu Kuturan mendapat gelar begitu banyaknya dari masayarakat maupun dari kerajaan. Yang sering dikenal di Bali yaitu Dhang Hyang Dwi Jendra yang berarti ‘pandita raja’. Setelah Mpu Kuturan moksha di Sila Yukti, kemudian karya-karya beliau digali lagi pada masanya Dang Hyang Niratha (Ida Pedanda Sakti Wau Rauh). Akhirnya karena jasanya bisa menentramkan umat Bali pada saat itu, Beliau, Dang Hyang Niratha, juga diberi gelar Dang Hyang Dwi Jendra.

note:
Yang mendapat gelar Dhang Hyang Dwi Jendra adalah:
1. Rsi Markandheya
2. Mpu Kuturan
3. Dhang Hyang Niratha

Mpu kuturan moksa di Sila Yukti. Sila berarti; ajeg, teguh, kuat, paham dalam kehidupan ini dengan cara menegakkan dharma. Yukti berarti; benar-benar terjadi.

Konsep tersebut diambil dari Siwa Budha. Budha berarti; budi pekerti, tatwa, susila, dharma, dll. Siwa berarti Tuhan itu sendiri. Jadi sebelum badan ini bersatu pada alam Siwa temui dulu Tuhan di dalam diri setiap manusia atau capailah dharma tersebut, baru manusia bisa mencapai alam Siwa dan menyatu pada Siwa atau moksha. Kalau Sila atau Budha kita sudah kuat, teguh, ajeg dengan cara menjalankan dharma, pasti benar-benar terjadi yang namanya menyatu pada alam Siwa tersebut. Jadi demikian pokok dasar pengertian dari Siwa Budha.

Bukti dalam sastra adalah:
Siwa tidak mengakui Budha bukan Siwa. Budha tidak mau mengakui Siwa bukan Budha. Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Pada hakekatnya Siwa Budha itu satu tidak bisa dipisahkan.

Pesan Ida Mpu Kuturan kepada saya pada beberapa waktu lalu adalah; Jagalah karya-karya Beliau, jangan sampai orang Bali lupa dan meninggalkannya, karena dari karya Beliau tersirat ilmu-ilmu kasunyatan yang akan mengantar umat Bali pada khususnya untuk mencapai alam Siwa Budha. Agar Bali menjadi pusat dunia dalam waktu dekat ini.

Itu pesan singkat Beliau agar budaya Bali selalu senantiasa dilestarikan agar umat dunia bisa banyak belajar dari kedamaian Siwa Budha di Bali yang berdasarkan budaya.

Weda dan Karya Mpu Nusantara
Weda dibuat berdasarkan perenungan-perenungan dari orang-orang suci di India. Kekawin dan Lontar di Nusantara ini dibuat oleh perenungan-perenungan para mpu kita, jadi banggakanlah karya para mpu kita yang sangat luar biasa ini.

Apapun karya yang bisa membantu umat agar bisa lebih mengerti memahami konsep Tuhan itu maka karya itu akan masuk ke dalam Weda, karena Weda berarti juga connect (terhubung) dengan Tuhan itu sendiri. Weda tidak akan pernah habis semasih bumi ini terus berputar. Jadi pemahaman tentang Weda sangatlah luas, karena Weda terus berkolaborasi tergantung pada jamannya. Semoga pemahaman ini berguna dan lebih mengerti tentang karya-karya mpu serta Weda itu sendiri.

Sumber: Komunikasi Pinisepuh pada bulan November 2009 dengan Ida Bhtarara Mpu Kuturan.

Kamis, 03 Desember 2009

Sejarah Weda Di Indonesia

Ada tujuh maha rsi yaitu; Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista dan Kanwa. Para Rsi inilah yang menerima wahyu Weda di India. Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte yang jumlahnya ratusan.

Sekte Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya, kemudian disebarkan ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang berasal dari pesraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja dan Trinawindu. Trinawindu di Bali disebut dengan Bhatara Guru, tapi ini hanya sebuah gelar Rsi Agastya di Bali.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekte Siwa yang lain. Sidhanta yang artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidhanta artinya kesimpulan dari Siwaisme.

Kenapa di buat kesimpulan ajaran Siwa ?

Karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit untuk menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas sekali.

Karena itu bagi penganut Siwa, kitab suci Weda pun hanya pokok-pokok atau inti-intinya saja yang dipelajari, dan kitab suci Weda pun dinamai Weda sirah oleh penganut Siwaisme. Weda sirah, atau sirah artinya kepala atau pokok-pokok jadi hanya inti-inti dari Weda saja yang dipelajari, karena kitab suci Weda sangatlah luas. Jadi pengetahuan tentang Weda hanya inti-intinya saja yang dipelajari umat Hindu dunia, karena seperti cerita di atas Maha Rsi Agastya sangatlah sulit untuk memberikan pengetahuan Weda itu karena mencakup bidang yang sangat luas sekali.

Salah satu murid Maha Rsi Agastya adalah Maha Rsi Markandeya yang membawa ajaran Weda/Siwa di Indonesia. Pada saat ke Indonesia Maha Rsi Markandeya mendapatkan pencerahan di gunung Di Hyang (sekarang disebut dengan gunung Dieng) di gunung Dieng Beliau Rsi Markandeya mendapatkan pawisik agar membuat pelinggih di Tohlangkir (sekarang disebut Besakih) dan harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah delima.

Setelah itu Maha Rsi Markandeya menetap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan.

Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari mantram-mantram Weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari mantram-mantram yang ada dalam Weda. Sebagai contoh:

Banten Daksina adalah simbolis dari Mantram Gayatri, yaitu:

Om Bhur Bhuvah Svah
Tat Savitur varenyam
Bhargo devasya dimahi
Dhiyo yo nah pracodayat

Oleh karena itu janganlah fanatik dengan berpatokan kepada kitab Weda saja, karena Weda sendiri pengertiannya sangat luas. Ajaran Rsi Markandeya kemudian disempurnakan lagi oleh Ida Mpu Kuturan, karena di jaman Rsi Markandeya keberadaan sekte-sekte jumlahnya sangat banyak dan dari sekte-sekte tersebut selalu ada saja yang dipertentangkan dan pada akhirnya timbul dampak-dampak yang negatif di Bali. Ida Mpu Kuturan yang pada saat itu ajarannya adalah Budha Mahayana dipilih oleh raja Udayana untuk mempersatukan sekte-sekte karena dipercaya ajaran Budha adalah yang bisa mempersatukan sekte-sekte tersebut selain Ida Mpu Kuturan juga ahli di bidang politik, sastra, filsafat, arsitek, spiritual, seni, dll.

Jadi pesan Ida Mpu Kuturan kepada saya janganlah pernah berhenti berjuang untuk mempersatukan umat dalam perbedaan keyakinan melalui ajaran Budha, karena ajaran Budha yang bisa menengahi masalah-masalah keyakinan di muka bumi ini, karena ajarannya mengajarkan kita untuk bijak dalam melakukan tindakan dan mengedepankan ajaran budi luhur.

Demikian itulah pesan Beliau Ida Mpu Kuturan yang sudah meraga/berwujud Sang Budha Amitofo.

Sumber: Pinisepuh

Minggu, 29 November 2009

Konsep tujuan akhir kehidupan

Ada keadaan dimana tidak ada tanah, tidak ada air, tidak ada api, tidak ada udara, tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak terbatasan kesadaran, tidak ada dasar dari kekosongan, tidak ada dasar yang terdiri dari bukan presepsi dan tidak bukan presepsi, tidak ada dunia ini atau dunia lain ataupun dua dunia itu, tidak ada matahari atau rembulan, di sini saya katakan tidak ada kedatangan, tidak ada kepergian, tidak ada yang tertinggal, tidak ada kematian, tidak ada kemunculan, tidak terpancang, tidak dapat di gerakkan, tidak mempunyai penyangga, inilah akhir dari penderitaan.

Yang tidak terpengaruh sulit untuk diketahui, kebenaran tidak mudah dilihat, nafsu keinginan akan ditembus oleh orang yang tahu, tidak ada penghalang bagi orang yang melihat.

Ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, yang mutlak. Jika seandainya saja tidak ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, yang mutlak, maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan kelahiran, penjelmaan, pembentukan, kemunculan dari sebab yang lalu, tetapi karena ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, yang mutlak, maka ada jalan keluar kebebasan kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Bagi yang ditopang, ada ketidakstabilan, bagi yang tidak ditopang, tidak ada ketidak stabilan. Bila tidak ada ketidakstabilan ada ketenangan, tidak ada sikap takluk, bila tidak ada sikap takluk tidak ada datang dan pergi, dan bila tidak ada datang dan pergi tidak ada kematian dan kemunculan, bila tidak ada kematian dan kemunculan, tidak ada disini atau diluar sana, ataupun di antara keduanya. Inilah akhir dari penderitaan.

Budha mengajarkan bahwa tujuan dari pembebasan adalah mencapai Nibana. Arti dari Nibana dalam sanskerta : Nirvana Nir : nis, tidak ada, lenyap atau habis, dan va :meniup.
Jadi arti dari nibana/nirvana adalah suatu keadaan atau kondisi padamnya nafsu keinginan dan bukan merupakan alam atau tempat Tuhan.

Sang Budha berbicara kepada saya, bahwa semua yang diperbuat dan dialami seseorang pada masa sekarang, baik hal yang baik maupun buruk, bukan merupakan kehendak Tuhan, yang mengakibatkan seseorang tidak memiliki kehendak bebas, hanya akan menjadi boneka yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan akan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian diri.

Dan saya membuat suatu pertanyaan seperti puisi kepada sang Budha:

Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan, mengapa Brahma itu tidak menciptakan secara baik?

Bila kekuatannya demikian tak terbatas, mengapa tangannya begitu jarang memberkati?
Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?

Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidaktahuan merajalela?

Mengapa memenangkan kapalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal?
Saya menganggap, Brahma adalah ketidak adilan yang membuat dunia yang diatur keliru.

Sang Budha bersabda, sesuai dengan benih yang kita tabur, begitulah buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagian dan pembuat kejahatan akan memperoleh penderitaan.

Sang Budha juga berkata, setiap individu memungkinkan untuk mencapai pencerahan. Pertapa tidak serta merta disebut sebagai Brahmana dan gembala tidak dapat diartikan sudra, namun ia yang mempelajari dengan tekun ajaran Dharma adalah kaum Brahmana.

Demikianlah pitutur-pitutur dari sang Budha kepada saya agar seseorang yang membaca pencerahan ini, lebih mengerti tentang dharma itu sendiri. Jadi mencapai pembebasan dari penderitaan adalah merupakan usaha diri sendiri bukan karena pemberian Tuhan.

Om Nama Siwa Budha Ya Namah.

Sumber: Pinisepuh

Selasa, 24 November 2009

Avalokitesvara

MENYIBAK JATI DIRI DAN KEMASYURAN AVALOKITESVARA

Om mani padme hum, begitulah mantra Avalokitesvara.

Penyebutan Avalokitesvara diyakini telah terjadi sejak abad ke-2 sebelum masehi yakni pada naskah-naskah awal Mahavastu yang di dalamnya terdapat dua kotbah yang menyebut Avalokita. Penyebutan ini diperjelas dengan naskah-naskah Mahayana yang mana belakangan telah memberi status tinggi kepada Avalokitesvara dibanding Bodisatva yang lain. Bahkan pada Amit Ayurdhana Sutra, Avalokitesvara disebutnya putra Budha. Di Indonesia ajaran Tantra ditemukan di Palembang (Sumatra) sekitar abad ke-7 dengan ditemukannya prasasti yang menyebutkan doa kepada Manjusri dan Avalokitesvara,juga beberapa arca yang ditemukan pada abad ke-8. Dan pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya (abad ke-11) sang raja telah mendirikan candi sebagai penghormatan kepada sang Budha dan Bodhisatva Avalokitesvara. Dituangkan dalam bentuk Padmapani dan Vajrapani.

Di dalam perwujudan Avalokitesvara ada 33 perwujudan Avalokitesvara yang dimuliakan dunia. Di dalam 33 perwujudan Avalokitesvara lebih condong ke ibuannya yang dimuliakan karena lebih pada memberikan kasih sayang (karuna Budha), di Bali sendiri Avalokitesvara dikenal dengan banyak nama dan banyak perwujudan seperti dalam konteks Hindu Avalokitesvara adalah manivestasi dari Ciwa Parwati sebagai pelindung jagat raya dan di simbulkan sebagai Dewi Tangan Seribu (Durga) karena Avalokitesvara berwujud Yin (feminin) dan Yang (maskulin), atau tidak laki tidak perempuan. Dalam Hindu dikenal dengan ‘ana tan hana (hara hari)’.

Pada agama Budha sering disebut Guanyin, Kwan Im. Di Batur Bali, Avalokitesvara dikenal sebagai Bhatari Batur (Hyang Dewi Dhanu) di Besakih Avalokitesvara dikenal dengan Ida Bhatari Ratu Mas Magelung karena rambut beliau selalu digelung. Gelar Ratu Mas Magelung diberikan oleh para mpu dan raja-raja Majapahit pada jaman itu, termasuk Mpu Kuturan sendiri menyebutkan Avalokitesvara adalah perwujudan Ciwa Budha yang pada saat itu, Mpu Kuturan sendiri sebagai baktanya yang bisa mencapai moksa karena Mpu Kuturan sudah memahami tentang ajaran Tantra yang tiada tandingnya pada masa itu dan barangkali juga masa ini.
Di Gunung Agung sendiri Avalokitesvara juga sering dikenal dengan Hyang Tatagatha sebagai penguasa alam tertinggi, karena di Bali Gunung Agung dikenal sebagai gunung tertinggi. Avalokitesvara mendapat gelar juga oleh Hyang pasupati (Bhatara siwa) dari Mahameru sebagai Hyang Giri putri penguasa goa, gunung, bukit, danau, laut dan hutan.

Hyang artinya (Raja) Giri (gunung) Putri (putra/anak), karena Avalokitesvara dipercayai sebagai anak dari raja penguasa alam semesta (Hyang Pasupati/Ciwa). Jadi pada hakekatnya semuanya sama karena Avalokitesvara sendiri disimbulkan sebagai Ciwa Budha tidak terwujud. Juga Ciwa Pasupati adalah Ciwa Nata Raja, maka semuanya adalah sama. Antara Ciwa Budha semua dilebur menjadi satu karena tiada yang tertinggi dan tiada yang sama. Semua berbeda dan dilebur menjadi satu yaitu Hyang tunggal/Hyang Widi Wasa (Hyang Acintya) dengan konsep Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mandruwa, dari segala perbedaan semuanya dilebur menjadi satu, yaitu satu tujuan.

Tuhan tidak pernah membeda-bedakan umatnya. Semuanya sama dan satu, isi adalah kosong dan kosong adalah isi. Jadi di dalam diri mausia penuh dengan kekosongan jika tidak pernah memahami sesuatu hal dengan bijak dan tidak pernah mengisi kekosongan tersebut. Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya agar dari kekosongan tersebut manusia mendapat pencerahan yang abadi karena semasih bumi berputar ilmu pengetahuan akan terus berputar, maka karena itu berbahagialah manusia yang mampu untuk memberikan pencerahan kepada manusia yang lain, karena sesama manusia harus saling menutupi kekosongan yang ada di dalam diri. Dengan demikian akan mencapai kesempurnaan di dalam diri manusia dan diluar manusia sehingga suatu saat dapat mencapai keadaan ‘gemah limpah loh jinawi’ dan dunia akan selalu aman serta bahagia karena manusia sudah bisa saling mensyukuri juga saling membantu di dalam kekosongan itu.

33 perwujudan Avalokitesvara:

1. Nathadeva-lokesvaranatha,
2. Karuna Budha, Simhala-Dvipe Arogya-Sala Lokanatha,
3. Lokesvara Khmer,
4. Padmapani,
5. Vajrapani,s
6. Imhanada Avalokitesvara,
7. Sadhanamala Avalokitesvara,
8. SadaksariAvalokitesvara,
9. Khasarpana Avalokitesvara,
10. Halahala Avalokitesvara,
11. Padmanarttesvara,
12. Harihariharivahana,
13. Trailokyavasankara,
14. Rakta,
15. Mayajalakrama,
16. Nilakantha,
17. Sugatisamdarsana,
18. Pretasamtarpita,
19. Sukhavati,
20. Vajraharma,
21. Dabei guanshiyin,
22. Daci guanshiyin,
23. Shizi wuwei guanshiyin,
24. Dakuang puzhao guanshiyin,
25. Tianren zangfu guanshiyin,
26. Dafan shenyuan guanshiyin,
27. Sansian huangsheng,
28. Bodhisattva aksyamati,
29. Prayeka budha,
30. Sravaka,
31. Vaisravana,
32. Vajradhara,
33. Geli Guanyin, Guanyin Yangliu, Yeyi Guanyin, Yanming Guanyin, Shiyao Guanyin, A-nou Guanyin, Longtou Guanyin, Simhakridita Avalokitesvara, Shizi Youxi Guanyin, Yulan Guanyin, Nengjing guanyin, Yiye Guanyin, Zhongbao Guanyin, Guanyinmu, Malangfu Guanyin, Yankuang Guanyin, Dewang Guanyin, Sansui Guanyin, Yiru Guanyin, Lianwo Guanyin, Ekadasamukha Avalokitesvara, Shinyimian Guanyin, Sasrabhuja Avalokitesvara.

Sumber: Pinisepuh

Sabtu, 21 November 2009

Awatara

AWATARA, HYANG WIDHI TURUN UNTUK MENEGAKKAN AJARAN DHARMA

Hyang Widhi turun ke dunia dengan mengambil salah satu bentuk sesuai dengan keadaan alam, dengan perbuatan dan ajaran sucinya memberikan tuntunan untuk membebaskan umat manusia dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh kegelapan.

Ada 10 (sepuluh) Awatara Wisnu (sifat Hyang Widhi sebagai pemelihara alam):

  1. Matsya awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai ikan besar yang menyelamatkan manusia pertama dari tenggelam saat dunia dilanda banjir.
  2. Kurma awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu dunia agar selamat dari bahaya terbenam saat pemutaran gunung Mandara di lautan susu oleh para Dewa untuk mencari tirta amerta.
  3. Waraha awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai badak agung yang mengait dunia agar selamat dari bahaya tenggelam.
  4. Nara Simbha awatara Hyang Widhi turun sebagai manusia berkepala singa yang membasmi kekejaman raja Hyarania kasipu yang sangat jahat.
  5. Wamana awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai orang kerdil berpengetahuan tinggi dan mulia dalam mengalahkan maha raja Bali yang sombong dan ingin menguasai dunia serta menginjak-injak dharma.
  6. Paracu Rama awatara Hyang Widhi turun sebagai Rama paracu yaitu Rama bersanjata kapak yang membasmi para ksatrya yang menyeleweng dari ajaran dharma.
  7. Rama awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai sang Rama putra raja Dasa Rata dari Ayodya untuk menghancurkan kejahatan dan kelaliman yang ditimbulkan oleh raksasa Rahwana dari negara Alengka.
  8. Krisna awatara Hyang Widhi turun sebagai Sri Krisna raja Dwarawati untuk membasmi raja Kangsa Jarasanda dan membantu Pandawa untuk menegakkan keadilan dengan membasmi Kurawa yang menginjak-injak dharma.
  9. Budha awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di Kapilavastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau nirwana.
  10. Kalki awatara yaitu penjelamaan Hyang Widhi yang terakhir yang akan turun untuk membasmi penghinaan-penghinaan, pertentangan-pertentangan agama akibat penyelewengan umat manusia dari ajaran dharma.
Sumber: Pinisepuh

Rabu, 18 November 2009

Durga Dewi 2 - Moksha

Dasar-dasar paham Tantra timbul sebelum bangsa Arya datang di India dan merupakan kepercayaan India kuno. Pada peradaban lembah sungai Sindhu, dasar-dasar paham Tantra ini telah terlihat, yaitu dalam bentuk pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Pada salah satu sloka lagu pujaan, sakti digambarkan sebagai penjelmaan kekuatan, penyokong alam semesta, sehingga dengan demikian ‘Saktiisme” sama dengan ‘Kalaisme’.

Hubungan antara konsepsi dewi dari dewi itu munculah saktiisme, yaitu suatu paham yang mengkhususkan pemujaan kepada sakti, yang merupakan suatu kekuatan dari para dewa. Pemuja sakti ini disebut dengan sakta atau sekte. Turunnya Dewi Durga ke bumi pada jaman kali untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan prilaku. Dalam masa peperangan antara suku bangsa arya dan non arya, lahirlah seorang Agung bernama Sadashiva, artinya dia yang selalu terserap dalam kesadaran dan dia yang bersumpah satu-satunya, dengan kehadirannya bahwa misinya hanyalah untuk memajukan kesejahteraan menyeluruh semua kehidupan. Sadashiva dikenal juga sebagai Shiva, adalah seorang guru rohani yang istimewa. Meskipun ajaran Tantra sudah dipraktekan sejak sebelum kelahirannya, namun beliaulah yang pertama kali mengungkapkan perkara rohani secara sistimatis bagi umat manusia.

Bukan saja Beliau adalah seorang guru spiritual, namun Beliau juga pelopor sistim musik dan tari-tarian. Oleh karena itu Beliau terkadang dikenal pula sebagai Nataraja (Tuhan penata tari). Sumbangan terbesar dari Shiva adalah pada kelahiran peradaban yang baru, juga pengenalan konsep dharma. Dharma adalah suatu kata sangsekerta yang berarti; sifat dari sananya, milik sesuatu hal.

Apakah yang menjadi sifat alamiah dan kekhasan manusia?

Shiva menerangkan, bahwa manusia selalu menginginkan lebih, lebih daripada kenikmatan yang diperoleh dari kepuasan indrawi. Beliau mengatakan bahwa manusia berbeda dengan tanaman dan binatang karena apa yang sangat diinginkan oleh manusia adalah kedamaian mutlak. Itu adalah tujuan manusia, dan ajaran Shiva ditujukan untuk memberdayakan manusia untuk mencapai tujuan itu. Ajaran Shiva disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru dikemudian waktu dituliskan ke dalam bentuk buku.

Istri Shiva adalah Parvati, sering bertanya pada Beliau mengenai berbagai pengetahuan rohani. Shiva memberikan jawabannya sebagian dalam buku-buku kuno dan itu telah hilang serta sebagian lagi ada di dalam dharma itu sendiri sehingga nilai kebenaran yang ada dalam dharma disebut dengan dharma tanpa sastra.

Di dalam ajaran Tantra satra, salah satu unsur utama dalam Tantra adalah hubungan guru dan murid. Guru adalah, atau berarti seseorang yang dapat menyingkirkan kegelapan dan Shiva menjelaskan bahwa agar diperolehnya keberhasilan rohani harus ada guru yang baik dan murid yang baik.

Shiva menjelaskan, bahwa ada tiga jenis guru:

Pertama, adalah guru yang memberikan sedikit pengetahuan namun tidak menindak lanjuti pengajarannya. Jadi sang guru pergi dan meninggalkan sang murid. Kedua, adalah sang guru mengajarkan dan mengarahkan para muridnya sebentar namun tidak selama masa yang diperlukan si murid untuk mencapai tujuan akhir. Ketiga, dalam ajaran Tantra, guru ini adalah guru terbaik yang memberikan pengajaran dan kemudian mengupayakan terus menerus agar si murid mengikuti semua petunjuk dan sampai menyadari tujuan akhir kesempurnaan manusia.

Ciri guru yang istimewa menurut petunjuk yang saya peroleh dari dewa Shiva adalah: Guru yang tenang, dapat mengendalikan pikirannya, rendah hati dan berpakain sederhana, dia memperoleh penghidupannya secara layak dan berkeluarga. Dia ahli dalam filsafat metafisik dan matang dalam seni meditasi. Dia juga tahu praktek teori pengajaran meditasi. Dia mencintai dan menuntun para muridnya. Guru yang seperti demikian disebut atau akan diberi gelar oleh Shiva yaitu; Mahakoala.

Namun meskipun ada seorang guru yang hebat, tetap saja harus ada yang dapat menyerap pelajarannya.

Dewa Shiva mengatakan kepada saya, ada tiga jenis murid:

Pertama seorang murid yang berlaku baik di depan gurunya, namun begitu gurunya pergi, murid itu tidak melanjutkan latihannya dan tidak dapat menerapkan pelajarannya dalam kesehariannya. Yang kedua, murid seperti ini adalah yang tekun saat kehadiran gurunya namun perlahan-lahan akan berkurang bahkan meninggalkan latihannya sama sekali. Dan yang ketiga, adalah murid yang paling mulia dan sempurna yang dikatakan oleh Dewa Shiva, murid seperti ini, tekun berlatih di hadirat gurunya dan terus tekun biarpun secara fisik terpisah jauh dari gurunya.

Hubungan antara guru dan murid sangatlah penting dan merupakan ciri kunci dalam mencapai moksha atau kesempurnaan. Jalan rohani sering disamakan dengan sisi tajam pisau cukur. Mudah sekali keluar dari jalur dan dengan demikian memang sulit memperoleh pembebasan. Sang guru selalu hadir untuk mencintai dan menuntun si murid pada setiap tahap upayanya untuk mencapai kesempurnaan atau moksha.

Ada empat jenis moksha yang diharapkan dalam setiap bentuk jalan rohani atau jalan spiritual:

Samipya moksha yaitu kebebasan yang dicapai pada saat semasih hidup yang dibantu oleh para rsi atau sang guru dan mampu memberikan pencerahan itu kepada umat lainnya dan mampu menerima petunjuk-petunjuk, wahyu, atau pawisik dari Tuhan dalam segala bentuk perwujudannya.

Sadarmmya moksha yaitu kebebasan yang diperoleh dari kelahirannya kembali atau reinkarnasi dari para Dewata atau Awatara wisnu seperti Awatara Krisnha, Awatara Budha Gautama, dan lain lain.

Karma mukti yaitu kebebasan yang dicapai oleh Atman itu sendiri yang telah berada dalam posisi hampir sama dengan Samipya dan Sadarmmya moksha tetapi belum dapat bersatu dengan Tuhan dalam arti belum menerima petunjuk-petunjuk, wahyu atau pawisik. Cara ini biasanya dilakukan dengan cara menggumpulkan karma-karma positip dan tekun mejalankan dharma serta tekun menjalankan meditasi dan yoga.

Purna mukti yaitu kebebasan yang tertinggi dan sempurna sehingga dapat menyatu dengan Tuhan. Dalam tahapan Purna Mukti, ada tiga jenis moksha, yaitu:

  • Nista moksha, yaitu seseorang tahu kapan akan meninggal dunia sesuai dengan aturan langit atau aturan maha suci.
  • Madya moksa, yaitu badan kita bersatu dengan Tuhan/Brahman tetapi masih menyisakan pakaian dan atribut-atribut lainnya yang berunsur duniawi.
  • Utama moksha, yaitu moksha yang paling sempurna dalam tahapan moksha yaitu bersatunya kita dengan Tuhan/Brahman dari badan sampai pakaian yang digunakan oleh yang mengalami moksha.

Dalam kesempatan berbeda Pinisepuh juga menjelaskan bahwa kejadian Utama Moksha adalah kejadian semesta. Saat mana seseorang mengalami moksha utama maka semua komponen alam menjadi aktif. Akan ada hujan mendadak dari terang menjadi mendung yang sangat pekat dan gelap. Petir dan halilintar bergemuruh dan bersahut-sahutan. Angin bertiup sangat kencang bagai badai yang sangat hebat. Pertanda alam ini adalah sangatlah khas dan tidak menjadikan bencana bagi umat manusia namun bagi manusia wikan akan sangat paham dan berkata: “Ada seseorang tengah mencapai kesempurnaan dalam hidupnya dan menyatu dengan Brahman. Ada seseorang yang mengalami Moksha”.

Pada kesempatan lainnya juga saya bertanya kepada Pinisepuh, bagaimana sebenarnya proses moksha utama tersebut. Diterangkan bahwa, proses moksha yang diketahui adalah seseorang dalam meditasinya akan mengalami tubuh yang mengecil dan terus mengecil sampai badan kasar dari manusia tersebut hilang dari pandangan mata biasa. Namun diceritakan pula bahwa, jaman dahulu ada banyak juga dari aliran kiri yang mencapai tingkatan tinggi dalam pengetahuannya melakukan meditasi dan mencapai moksha. Tetapi dari aliran kiri, pada proses pengecilan raga ada yang gagal menyatu dengan Brahman. Pada proses moksha tersebut berhenti pada ukuran tubuh tertentu, seperti yang pernah saya lihat di pameran yaitu sepanjang lebih kurang 10 centimeter. Badan kasar atau raga menjadi berwarna hitam. Jaman sekarang banyak terdengar istilah seperti ‘Jenglot’ atau sebagian dikenal juga dengan nama ‘Bhatara Karang’. Sebenarnya, Jenglot dan Bhatara Karang adalah manusia yang gagal dalam proses mencapai moksha. Dipercaya juga kalau benar cara memperlakukan Jenglot ini, maka akan bisa melindungi yang memilikinya.

Kembali kepada ajaran Tantra, bahwa dalam Tantra dinyatakan, menghadapi kemelutnya hidup di jaman kali yuga ini adalah dengan memprioritaskan pemujaan sakti sebagai manifestasi Tuhan. Sakti adalah Tuhan. Karena pada jaman kali ini semakin kuat sinergi antara guna rajas dan guna tamas. Hal ini menyebabkan manusia itu hidup dengan gaya ingin hidup enak dan bersenang-senang, tetapi dengan bermalas-malasan. Dalam Tantra mengajarkan hidup enak itu baik tapi jangan seenaknya. Capailah hidup enak dengan cara bekerja keras. Seseorang bisa bekerja keras apabila potensi yang ada dalam dirinya benar-benar bangkit. Dewi Durga adalah simbul semua kekuatan penciptaan. Kekuatan gabungan akan muncul jika kekuatan jahat mengancam keberadaan ciptaan-Nya. Jadi Dewi Durga akan menghancurkan ketidakharmonisan atau kejahatan serta akan menciptakan kembali keadaan yang harmoni karena keberadaan Dewi Durga adalah untuk menciptakan dharma.

Jadi petunjuk-petunjuk yang saya peroleh hanya sebatas menuntun dan memperingatkan umat manusia agar tetap ingat dan tetap melaksanakan ajaran dharma karena beliau Sang Hyang Sadashiva sudah menjelaskan kepada saya bahwasanya di jaman Kali Yuga ini, manusia sudah melupakan sifat dharma di dalam kehidupan kesehariannya. Sebagai contoh, di dalam dharma, dijelaskan ada tiga dasar dharma dalam kehidupan manusia yang harus dilaksanakan, yaitu : Filsafat, Etika dan Ritual. Jaman sekarang, manusia sudah banyak melupakan tiga dasar dharma itu.

Sumber: Pinisepuh Agung

Minggu, 15 November 2009

Durga Dewi 1 - Trisakti

Idha Bhatari Durga adalah perwujudan dewi kasih sayang yang melindungi alam semesta. Idha Bhatari Durga adalah perpaduan Siwa-Parwati, akan tetapi lebih condong menonjolkan sifat keibuannya atau kewanitaanya yang diperlihatkan, karena hanya ibu yang dapat memberikan kasih sayang kepada seluruh alam semesta ini.

Peran ibu di dalam kehidupan sehari-sehari sangatlah penting karena dalam tatanan kehidupan keluarga dan dalam kehidupan manusia, ibu adalah segala-galanya. Karena sosok wanita adalah sedemikian mulianya dalam tatanan manusia dan juga alam Dewa sehingga Shakti daripada para Dewa adalah istri dari para Dewa itu sendiri.

Sebagai contoh:
1. Sakti dari pada Dewa Brahma adalah Dewi Saraswati
2. Sakti dari pada Dewa Wisnu adalah Dewi Laksmi
3. Sakti dari pada Dewa Siwa adalah Dewi Parwati/Dewi Uma

Sakti-sakti para Dewa itu di atas disebut dengan Tri Sakti. Mengapa harus istri-istri para Dewa disebut sakti karena sakti yang paling tinggi atau yang paling mulia di alam semesta ini adalah kasih sayang. Karena kasih sayanglah alam semesta ini dapat terjaga dari kemurkaan dan ego dari energi-energi negatif alam semesta. Ketiga Dewi atau Sakti dari tiga Dewa atau Trimurti disebut Trisakti atau Gayatri Dewi, karena Sakti atau ketiga Dewi adalah yang memegang dan menguasai ketiga alam semesta, yaitu; Bhur, Bhuwah, Swah.

Penguasaan alam:

  • Bhur, dikuasai oleh Dewi Parwati yang disimbolkan sebagai Dewi yang menguasai budaya dan kesenian.
  • Bwah, dikuasai oleh Dewi Laksmi yang disimbolkan sebagai Dewi yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan kesuburan.
  • Swah, dikuasai oleh Dewi Saraswati yang disimbolkan sebagai Dewi yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.


Peran Gayatri Dewi dalam kehidupan manusia dan alam semesta ini sangatlah penting oleh karena itu para Dewi ini harus sangat dihormati dan disembah karena para Dewi inilah yang menyeimbangkan alam semesta.

Akan tetapi, khususnya di Bali kata ‘sakti’ diidentikan dengan yang berbau mistik atau mejik atau seseorang yang mempunyai kemampuan mistik disebut sebagai ‘sakti’. Padahal dalam sastra dan kitab sutra mengatakan, sakti adalah ilmu pengetahuan yang paling tinggi dan sakti yang paling tinggi dan yang paling mulia adalah kasih sayang. Maka pada hakikatnya, kita sebagai manusia agar bisa memberikan kasih sayang kepada umat manusia lainnya dan juga alam semesta ini agar mendapat kedamaian dan ketentraman di bumi. Kita sebagai umat manusia hendaklah bisa berpikir positip selalu karena dari berpikir positip, kita, manusia, bisa memberikan kasih sayang kepada seluruh alam semesta ini. Pencerahan ini adalah sangatlah penting untuk umat, karena sesungguhnya Idha Bhatari Durga Dewi adalah yangg melindungi kita dari kematian dan kehancuran.

Perwujudan Idha Bhatari Durga adalah kesempurnaan perwujudan kasih sayang karena dari perwujudan Gayatri Dewi atau perpaduan ketiga Dewi (Sakti). Perwujudan Idha Bhatari Durga adalah yang paling sempurna, karena mempunyai kewenangan melindungi marcapada dari segala marabahaya dan kematian. Idha Bhatari Durga salahsatunya diwujudkan sebagai Dewi yang sangat cantik bernama Dewi Bertangan Seribu serta duduk di atas Singa. Di Bali, perwujudan tersebut dikenal dengan sebutan Dewi Durga Nawa Ratri, yaitu kemenangan dharma melawan adharma, yang dalam tatanan hari suci sering disebut dengan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Pada hari raya tersebut Dewi Durga Nawa Ratri sedang memenangkan dharma atau kebaikan dari sifat adharma atau kejahatan yang terjadi di alam semesta ini. Dan tepat di Hari Raya Kuningan adalah hari kebahagian untuk alam semesta karena Idha Bhatari Durga Dewi sedang turun ke bumi untuk melindungi para umatnya yang berbakti kepada Beliau serta menganugrahkan kasih sayang kepada seluruh alam mercapada dan isinya.

Idha Bhatari Durga disebut juga sebagai Candi, dari sinilah pada mulanya timbul istilah Candi (Candikagrha) untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja para Dewa dan roh yang dianggap suci. Serta, peran Idha Bhatari Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran baik moral dan perilaku disebut dengan KALIMOSADA (kali-Maha-Husada) yang artinya Dewi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam Zaman kekacuan moral, pikiran dan perilaku. Misi Beliau turun ke bumi disebut KALIKA DHARMA.

Dewi Durga dalam ajaran Tantra adalah Ibu kebajikan, dipuja tidak saja oleh para Dewa tetapi juga Iblis dan Setan. Sedangkan pada kisah Ramayana, juga diceritakan bahwa Rama memuja Dewi Durga untuk dapat membunuh Rahwana. Kemudian dalam kisah besar Mahabrata, Kresna memuja Dewi Durga untuk dapat mengalahkan Kurawa. Sedangkan Dewa Wisnu sendiri memuja Dewi Durga sebagai Yoga Maya-nya Wisnu. Dewi Durga juga dipercaya sebagai Mahamaya, akar sebab dan bentuk dunia, serta dalam Durga Saptathi, Durga memiliki 108 nama yang diyakini sebagai Ibu Pencipta.

bersambung... Durga Dewi 2 - Moksha

Sabtu, 07 November 2009

Ida Bhatara Jogor Manik

Di Nusa Penida ada sebuah pura dengan nama pura Puncak Mundhi dan yang berstana adalah Ratu Ayu sebutan dari Ibu Durga Dewi yang menguasai kematian. Di sebelah pura Puncak Mundhi adalah pura Dalem yang bernama Pura Dalen Kerangkeng. Menurut Pinisepuh, Pura Dalem Kerangkeng adalah semacam penjara atau kerangkeng yang diperuntukkan bagi roh-roh manusia yang semasa hidupnya melakukan kejahatan atau untuk manusia yang berbuat jahat melebihi dari jahatnya para bebutan-bebutan atau buta kala.

Yang melinggih di pura Dalem Kerangkeng adalah Ida Bhatara Jogor Manik. Ida mempunyai alat yang super canggih yang tidak dimiliki oleh manusia. Ida bisa melihat siapa dan dimana manusia itu berada serta apa yang dilakukannya. Ida Bhatara Jogor Manik juga adalah yang bertugas mencatat kapan waktu kematian seseorang di muka bumi ini. Dalam melaksanakan tatanan kewenangannya, Ida mempunyai empat pengawal yang akan bertugas menjemput dan mengantar roh-roh manusia.

Ida Bhatara jogor manik juga berstana di pura Dalem Puri, Besakih. Karena Ida mengetahui perbuatan-perbuatan manusia semasa hidup di bumi dan apabila waktu hidup dulu pernah membuat kejahatan melibihi kejamnya para bebutan-bebutan yang dikuasai oleh Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling maka roh manusia tersebut dari pura Dalem Puri langsung di antar ke pura Dalem Kerangkeng untuk menjalani sebuah hukuman tergantung dari berapa besar karma buruk yang diperbuat semasa hidupnya. Kalau roh manusia sudah sampai masuk ke dalam pura Dalem Kerangkeng maka manusia tersebut akan sulit untuk bereinkarnasi atau lahir kembali ke dunia.

Semoga pengetahuan ini tidak menjadi polemik, karena Sang Hyang Widhi Wasa dalam agama Hindu menurunkan berbagai macam manifestasi dan bermacam tugas jadi hormati dan hargailah Beliau sebagai penguasa kematian di jagat raya ini.

Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling

Dari perkawinan I Renggan dengan Ni Merahim, lahirlah dua orang anak, satu laki-laki, yang satunya adalah perempuan. Yang laki-laki bernama I Gede Mecaling dan yang perempuan di beri nama Ni Tole, dan Ni Tole kemudian menjadi permaisuri Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa Penida. Sedang I Gede Mecaling mempunyai seorang istri yang bernama Sang Ayu Mas Rajeg Bumi.

I Gede Mecaling sangat senang melakukan tapa brata yoga semadhi di Ped, pengastawaanya ditujukan kepada Ida Bhatara Ciwa dan karena ketekunannya Ida Bhatara Ciwa berkenan turun ke bumi untuk memberikan panugrahan berupa Kanda Sanga. Kemudian, setelah mendapat panugrahan kanda sanga phisik I Gede Mecaling menjadi berubah. Badannya menjadi besar, mukanya menjadi menyeramkan, taringnya menjadi panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya. Sedemikian hebat dan sangat menyeramkan, maka seketika itu juga jagat raya menjadi guncang. Kegaduhan, ketakutan, kengerian yang disebabkan oleh rupa, bentuk dan suara yang meraung-raung siang dan malam dari I Gede Mecaling membuat gempar di mercapada.

Melihat dan mendengar yang demikian, para dewa pun ikut menjadi bingung karena tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kesaktian I Gede Mecaling. Bahkan sesungguhnya para dewa tidak ada yang bisa menandingi, tidak ada yang bisa mengalahkan kesaktian I Gede Mecaling yang bersumber pada kedua taringnya yang telah dianugrahkan oleh Ida Bhatara Ciwa. Akhirnya turunlah Ida Bhatara Indra untuk berusaha memotong taring I Gede Mecaling. Setelah taring I Gede Mecaling berhasil dipotong barulah I Gede Mecaling berhenti menggemparkan jagat raya. Setelah itu I Gede Mecaling kembali melakukan tapa brata yoga semadhi, pengastawanya di tujukan kepada Ida Bhatara Rudra dan Ida Bhatara Rudra pun berkenan turun ke bumi untuk memberikan panugrahan kepada I Gede Mecaling berupa panca taksu, yaitu:

1. Taksu balian,
2. Taksu penolak grubug,
3. Taksu kemeranan,
4. Taksu kesaktian,
5. Taksu penggeger.

I Gede Mecaling menjadi raja setelah Dalem Sawang wafat karena berperang dengan Dalem Dukut. Dengan demikian I Gede Mecaling memimpin semua wong samar dan bebutan-bebutan yang ada di bumi. Juga pada akhirnya I Gede Mecaling diberi wewenang oleh Ida Bhatari Durga Dewi untuk mencabut nyawa manusia yang ada di bumi.

I Gede Mecaling juga diberikan wewenang sebagai penguasa samudra. Karena menguasai samudra sering juga disebut Ratu Gede Samudra. Gelar I Gede Mecaling yang diberikan oleh Ibu Durga Dewi yaitu Papak Poleng dan permaisurinya Sang Ayu Mas Rajeg Bumi diberi gelar Papak Selem. I Gede Mecaling moksha di Ped dan istrinya moksha di Bias Muntig. Keduanya sekarang sebagai penguasa di bumi Nusa Penida dan mendapat wewenang sebagai penguasa kematian. Maka bagi umat yang ingin umurnya panjang, sehat, selamat dan lain-lain memohonlah kepada Beliau I Gede Mecaling yang akhirnya bergelar Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling.

Akan tetapi karena sering ke Bali dan bertemu dengan Ida Bhatari Ratu Niang Sakti, akhirnya Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped juga menjadi Pengabih Ida Bhatari Ratu Niang Sakti. Tidak dapat dijelaskan pada tulisan ini alasan-alasan yang lebih khusus karena etika suci.

Silsilah Nusa Penida



  • Ki Dukuh Jumpungan >Melinggih: Pura Pucak Mundi >Gelar: Bhatara Siwa
  • Ni Luh Puri >Melinggih: Goa giri putri, Pura Batu Melawang dan Pura Pucak Mundi >Gelar: Durga Dewi, Dewi Parwati, dll.
  • Dewi Rohini >Melinggih: Pura Goa Lawah
  • I Merja >Melinggih: Batu Bueya
  • Ni Luna >Melinggih: Pura Batu Banglas
  • I Renggan >Pura Bakung >Gelar: Ratu Gede Pengrurah
  • Ni Merahim >Melinggih: Pura Dalem Bungkut
  • I Mecaling >Melinggih: Pura Dalem Ped >Gelar: Papak Poleng, Ratu Gede Samudra, Ratu Gede Mas Mecaling
  • Sang Ayu Mas Rajeg Bumi >Melinggih: Pura Dalem Bias Muntig >Gelar: Papak Selem
  • Ni Tole >Melinggih: Pura Penataran Agung, Padang bai >Gelar: Ratu Ayu Mas Maketel
  • Dalem Sawang >Melinggih: Pura Penataran Agung Padang Soma
  • I Gotra >Melinggih: Pura Manik Mas
  • Ni Lumi >Melinggih: Pura Manik Mas
  • I Undur >Melinggih: Pura Buhu
  • I Darmain >Melinggih: Pura Sakenan >Gelar: Papak Selem
  • Ni Diah Ranggaeni >Melinggih: Pura Sakenan >Gelar: Papak Selem
  • Ni Luh Nanda >Melinggih: Pura Penida >Gelar: Mas Manik Maketel
  • I Bangsul >Melinggih: Perempatan bingin Lembongan
  • Ni Ratmaya >Melinggih: Pura Ancak Sari
  • Dewi Rohini >Melinggih: Pura Goa Lawah

Di Nusa Penida, masih banyak yang melinggih, diantaranya adalah:
  • Ida Bhatara Jogor Manik
  • Ida Bhatari Ratu Niang Sakti
  • Ida Bhatara Ratu Bagus Ketut
  • Ratu Gede Dalem Bungkut

Selasa, 27 Oktober 2009

Kisah Dalem

Kisah ini menceritakan konsep kehidupan manusia dan prilaku persembahyangan sehari-hari serta adanya konsep Dalem dalam tatanan kehidupan manusia. Perenungan dan komunikasi yang diterima oleh Pinisepuh adalah sangat rumit untuk dijelaskan dan penyajian ini disederhanakan untuk memudahkan pemahaman.

Kisah Dewata Nawasanga
Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati atau Acintya atau Hyang Tunggal serta sebutan Hyang Widhi yang lain --> dikenal juga dengan Ardhanareswari atau Ciwa Budha atau dwi tunggal.

Dari dwi tunggal kemudian tercipta Trimurti yaitu: Hyang Gnijaya (Brahma), Dewi Dhanu (Wisnu) dan Ida Putranjaya (Ciwa). Trimurti ini adalah Leluhur manusia Bali (mengingat Trimurti ini berstana di Bali).

Dari Trimurti kemudian berkembang kehidupan manusia di Bali oleh karena Hyang Gnijaya yang berstana di Lempuynag Luhur menurunkan Panca Tirtha atau Panca Dewata yaitu: Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bradah.

Salah satu dari keturunan Mpu Bradah yang melanjutkan konsep Ciwa Budha yang telah digubah dan diciptakan oleh Mpu Kuturan adalah Ida Pedanda Sakti Wau Rauh atau Dhang Hyang Niratha yang kemudian menyusun konsep Dewata Nawasanga yaitu:

Wisnu – penguasa arah utara – Pura Batur
Sambhu – penguasa arah timur laut – Pura Besakih
Iswara – penguasa arah timur – Pura Lempuyang.
Maheswara – penguasa arah tenggara – Pura Goa Lawah.
Brahma – penguasa arah selatan – Pura Andakasa.
Rudra – penguasa arah barat daya – Pura Uluwatu.
Mahadewa – penguasa arah barat – Pura Batukaru.
Sangkara – penguasa arah barat laut – Pura Puncak Mangu.
Siwa – penguasa arah tengah – Pura Besakih.

Konsep Dewata Nawasanga ini adalah merupakan konsep pemujaan yang tertinggi dalam tatanan atau prilaku persembahyangan pada kehidupan sehari-hari. Tetapi konsep ini lebih diarahkan secara umum hanya dalam hal bagaimana manusia menjalani kehidupannya agar mendapat restu pada semua bidang seperti hubungan kemasyarakatan atau pergaulan sosial, pencapaian-pencapaian kekayaan, kebendaan, hal-hal yang berbau materi dan kemakmuran, serta semua yang berhubungan dengan keduniawian, keselamatan manusia secara umum atau yang bersifat alam skala atau nyata pada kehidupan manusia.

Kisah Dalem
Di sisi lain yaitu di Nusa Penida, Hyang Pasupati kemudian menciptakan konsep pengaturan alam niskala manusia yang berhubungan dengan nyawa, kematian, kesehatan, sakit, obat, hidup setelah mati, penguasaan buta kala, wong gamang, wong samar dan lain-lain. Konsep inilah yang kita kenal sebagai Dalem. Atau sederhananya keseharian manusia dinamakan sebagai di luar diri manusia atau bisa dikatakan sebagai skala, sedang niskala dari manusia itu adanya di dalam atau Dalem.

Untuk menegaskan konsep skala dan niskala, Ida Mpu Kuturan telah membuat satu karya yang disebut Triloka yaitu Pura Dalem, Pura Desa dan Pura Puseh.

Pura Dalem adalah konsep pemujaan yang berhubungan dengan niskala manusia atau yang berada di dalam, sedang Pura Desa dan Puseh adalah konsep yang disebut sebagai di luar atau yang berhubungan dengan keseharian.

Proses penciptaan konsep Dalem ini dimulai dengan turunnya Ida Bhatara Hyang Pasupati dengan wujud Siwa dan menitis kepada manusia yang bernama Ki Dukuh Jumpungan serta turunnya Dewi Parwati dengan menitis kepada Ni Luh Puri yang merupakan istri dari Ki Dukuh Jumpungan. Keturunan dari Siwa-Parwati ini disebut dengan Dalem serta pada saat yang sama diakui pula bahwa siapapun yang mempunyai garis keturunan dari Ida Bhatara Siwa adalah dikatakan sebagai keturunan Dalem.

Singkat cerita, salah satu dari keturunan Dalem yang sangat berjasa dalam mengembangkan konsep Dewata Nawasanga adalah Ratu Gede Dalem Ped yang menjadi raja pada masanya setelah Dalem Sawang wafat. Dewata Nawasanga ini dikembangkan lagi menjadi yang disebut dengan Dasa Mantra yang sangat terkenal, yaitu:

Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang atau sering juga disingkat menjadi Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya. Dasa Mantra ini adalah pengayatan atau pengastawaan kepada Ida Bhatara Siwa atau Dalem.

Kemudian keturunan dari Mpu Soma Kepakisan yaitu Sri Aji Dalem Kresnha Kepakisan yang disebut-sebut sebagai yang mempunyai darah Satria dan darah Dalem atau sering dikenal sebagai keturunan Satria Dalem pada saat sebagai Raja Klungkung mengembangkan lagi konsep yang mencirikan keturunan Satria Dalem. Pengembangan tersebut datang dari konsep Dewata Nawasanga ditambahkan dengan konsep Trimurti. Ciri-ciri dapat ditemukan pada keberadaan meru tumpang sebelas di suatu pura atau Merajan Agung suatu puri.

Tetapi yang aneh dari konsep ini, sepanjang pengamatan seputar puri-puri, yang mempunyai meru tumpang sebelas di Merajan Agung ini hanya ditemukan di Jeroan Agung Pengastulan, Seririt, Buleleng yaitu asal dari Pinisepuh Agung Yudistira. Ada satu puri pada masa lalu mencoba membangun dan mendirikan meru tumpang sebelas tetapi setelah jadi disambar petir. Kemudian diketahui bahwa tidak boleh mendirikan meru tumpang sebelas kalau bukan dari keturunan Satria Dalem yang sesungguhnya.

Seperti yang diketahui oleh umum bahwa yang berstana dan yang paling berwenang dalam konsep Dalem adalah Dewi Durga atau Ida Bhatari Durga. Penyatuan dari Siwa-Parwati adalah Dewi Durga. Konsep Dalem lebih mengedepankan sosok seorang wanita atau Ibu karena Ibu adalah sosok yang dianggap lebih penyayang, sangat adil sehingga setiap permintaan dari anak akan bisa dikabulkan serta mempunyai sifat welas asih dan sifat welas asih ini adalah sifat Budha.

Untuk menjalankan kewenangan dan tata laksana Dalem, Ida Bhatari Durga mempunyai pengabih utama adalah Ratu Gede Dalem Ped atau Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling, Ida Bhatari Ratu Mas Maketel (adik dari Ratu Gede Dalem Ped), Ida Bhatara Ratu Bagus Ketut dan Ida Bhatara Jogor Manik.

Wewenang Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling adalah diantaranya mencabut nyawa manusia. Wewenang dari Ida Bhatari Ratu Ayu Mas Maketel adalah memberi restu kepada yang mengejar ilmu hitam seperti ilmu leak/liak (linggih ulian aksara) dan ilmu pengiwa. Wewenang dari Ida Bhatara Ratu Bagus Ketut adalah sebagai Dewa Rare Angon dan juga mencabut nyawa anak-anak. Wewenang dari Ida Bhatara Jogor Manik adalah yang menentukan waktu kematian dan menempatkan roh di mana menetap nantinya.

Demikian pengetahuan ini saya ceritakan dengan sangat singkat dari penuturan Pinisepuh dengan harapan umat Ciwa Budha paham sejatinya tatanan dan konsep pemujaan di Dalem yang telah disusun oleh Beliau Ida Mpu Kuturan pada karya nyata yaitu konsep Triloka. Dengan pengetahuan ini kita menjadi tahu bahwa, misalnya kalau memohon keselamatan dan umur panjang untuk anak-anak mestilah ‘ngayat’ Ida Bhatara Ratu Bagus Ketut, dan lain lainnya.

Dalam artikel lain akan lebih dijelaskan lagi mengenai Beliau-Beliau Ida Bhatara yang berwenang dalam konsep Dalem ini.

Catatan:
Ida Bhatara Jogor Manik dan Ida Bhatara Ratu Bagus Ketut adalah Bhatara yang benar-benar hanya terwujud di Niskala dan tidak pernah menitis kepada manusia. Juga, pada kenyataan kehidupan manusia, semua Ida Bhatara memiliki kemampuan Trimurti dalam arti sempit yaitu kita boleh memohon apa saja kepada Ida yang mana saja. Dua konsep ini hanyalah memberi pengetahuan bagaimana sebenarnya kehidupan manusia ini diatur oleh alam niskala.

Kamis, 22 Oktober 2009

Bhisama Ida Bhatara Gunung Agung

Bhisama ini di tulis untuk mengingatkan kepada warih-warih dari Ida Bhatara Hyang Pasupati yang ada di Bali agar tetap menjaga banten sebagai upacara yadnya dan tetap menjaga upacara Panca Wali Krama di Besakih agar Bali tetap di jaga oleh para Dewata.
Isi daripada Bhisama tersebut:

Hana ling Bhatara Putranjaya ring Basukih, uduh sang Aji Bali, prayatna sira ngemit praja mandala. Bakti ring sang sarwa dewa ring negara krama. Yan hana wwang ring panegara krama kena cukilan daki, gring tan wenang sinambat reh jadma kena sapadrawaning Dewata. Aywa ring desa pakraman genahning. Yan sang ratu tan mituhu ring pawarahku, Aku mulih ring Mahameru ring Jawi, angadagakan sasab merana ring sarwa jagat. Mangkana ling bhatara mungguing Widhi Sastra.

Mwah yan sira punggawa ratu ring Bali Rajya yang sira nora ngawe pada tawur agung ring panguluning jagat ring Basukih. Ngalimang tahun panca wali krama, wastu gumi nira kali tan pegat idepku anaut uriping manusa angadakang gring tatumpur sasab merana tekaning dipania majengilan ring kadang tunggalannia masatru-satru lawan kadangnia yadian hana mangarcana aku, tan mantuk Aku maring basukih, Aku matilar maring giri Bali mantuk ring giri Mahameru. Tan kayun malih kasungsung dening manusa loka, apan manusa loka apa jadma sang kala katung.

Arti dari Bhisama:
Nira Bhatara Putranjaya di Besakih, yang menjaga bumi Bali, yang menjaga jagat Bali. Kalau berbakti masalah-masalah kenegaraan berbaktilah kepada-Ku. Kalau negara kena kekotoran seperti grubug, sakit, kena susah atau kena masalah-masalah seperti tersebut berarti manusia kurang bakti kepada Nira Bhatara Putranjaya. Nira, Bhatara Putranjaya juga ada di desa Pekraman. Siapapun pemimpin Bali yang tidak mendengarkan arah-arah, Nira, Bhatara Putranjaya akan kembali ke Mahameru di Jawa. Kemudian jagat Bali akan merana, baik manusia yang tidak salah apalagi yang salah semua akan kena akibatnya. Ini semua sudah ada di dalam Widhi Sastra.

Siapapun pemimpin atau wakil-wakil Bali yang mau membuat upakara Tawur Agung, bebantenan, mecaru di Besakih setiap lima tahun sekali atau Manca Wali Krama di bumi Bali, maka Nira Bhatara Putranjaya tidak akan pernah berhenti menjaga kehidupan manusia dari sakit, hidup merana dan bencana. Menjaga bumi Bali ini dari musuh-musuh manusia, segala bencana atau musibah. Nira Bhatara Putranjaya yang berwenang menjaga gumi Bali dan tidak akan pergi meninggalkan Bali. Tetapi manakala semua upakara, yadnya, Tawur Agung serta bebantenan tidak dilaksanakan lagi di Bali, Nira Bhatara Gunung Agung akan kembali ke Mahameru. Tidak akan mau lagi disungsung oleh manusia. Maka semua manusia di Bali akan dimakan sang kala Katung.

Sumber Dharma tanpa sastra: dari perenungan dan komunikasi Pinisepuh dengan Ida Bhatara Gunung Agung.

Pinisepuh mengatakan, kita di Bali kepercayaan atau ajaran adalah berasaskan sastra yang digubah atau disempurnakan dari kitab Weda (Hindu) dan kitab Sutra (Budha). Ajaran-ajaran ini digubah oleh para Mpu-mpu kita yang sangat sakti menjadi Ciwa Budha serta sudah terbukti di Bali, Beliau-beliau banyak yang menjadi moksha. Bukankah moksha ini yang dikejar dalam melakukan olah spiritual dan merupakan bagian paling tinggi dari mempercayai Panca Sradha.

Panca Sradha:
1. Brahman: Keyakinan terhadap adanya buana agung
2. Atman: Keyakinan terhadap buana alit
3. Karmaphala: Keyakinan pada hukum sebab akibat
4. Samsara: Keyakinan pada kelahiran kembali atau reinkarnasi
5. Moksha: Keyakinan akan bersatunya Atman dengan Brahman

Tetapi dalam proses pencapaian itu, khususnya di alam Bali sudah ada Widhi Sastra yang harus dipenuhi salah satunya yaitu adanya persembahan-persembahan yadnya dengan banten, tujuannya tak lain adalah untuk menjaga keseimbangan alam Niskala itu sendiri. Kalau alam Niskala sudah seimbang maka pencapaian spiritual yang tertinggi pun mendapat restu. Maka dari itu, salah satu kesadaran yang harus dipupuk oleh setiap individu terutama umat Hindu Dharma di Bali adalah menjaga dan melaksanakan Bhisama Ida Bhatara Gunung Agung. Dunia boleh modern tetapi prilaku spiritual di Bali tetap diatur oleh Bhisama Ida Bhatara. Kalau ditinggalkan hancurlah bumi Bali ini.

Seruan bagi pelaku spiritual
Selain adanya Bhisama Ida Bhatara Gunung Agung untuk umat Bali pada umumnya, masih ada Bhisama Ida Bhatara yang melinggih di Pura Lempuyang Luhur bagi umat secara khusus, yang mengejar pencerahan dalam spiritual. Silahkan dibaca Bhisama Ida Bhatara Lempuyang Luhur agar usaha Anda tidak sia-sia melakoni spiritual atau menjadi penekun spiritual dengan tujuan untuk mencapai pencerahan.

Selasa, 29 September 2009

Pinisepuh 9 - Selesai

Seri Pinisepuh saya tulis untuk menggambarkan kenyataan yang tengah dilakoni oleh Pinisepuh sebagai abdi dari kerajaan Majapahit atau sebagai pejuang kebangkitan Ciwa Buhda, atau sebagai abdi dari Ida Bhatara.

Penulisan ini bukan bertujuan untuk memamerkan semua yang ada pada diri Pinisepuh, bahkan awalnya Pinisepuh tidak mau untuk dibuatkan kisah seperti ini. Tetapi sebagai umat, saya mengajak Anda untuk sama-sama memahami bahwa di tengah situasi seperti ini Beliau Ida Bhatara telah memberi seorang Pinisepuh yang merupakan salah satu yang akan memberi peringatan-peringatan akan terjadinya sesuatu di kemudian hari.

Pernah sebelum flu Babi muncul Pinisepuh memberitahu bahwa akan ada penyakit baru masuk ke Dunia. Kemudian untuk pertama kali dalam pengalaman Pinisepuh, petapakan Tapel Ida Dalem Sidakarya ‘ngamedalang’ Paica Tirta dan mesti disiratkan ke halaman rumah masing-masing agar selamat dari marabahaya.

Tetapi dengan bekal kemampuan sebanyak yang dimiliki oleh Pinisepuh, dalam benak saya menduga-duga, pastilah ada suatu peristiwa sangat besar akan terjadi di Nusantara pada masa-masa yang akan datang. Sehingga seorang pejuang seperti Pinisepuh harus dipersiapkan dengan berbagai kemampuan. Namun menurut Pinisepuh, Ia bukanlah satu-satunya yang dipersiapkan dan mendapat restu. Banyak yang sudah mendapat restu tetapi mereka masih bersembunyi dan pada saatnya akan muncul di tengah-tengah masyarakat.

Orang-orang sakti dan misteri Satrio Piningit
Menurut Pinisepuh, selain dirinya ada orang-orang lainnya dipersiapkan untuk kebangkitan Ciwa Budha.

Mereka-mereka yang dipersiapkan tersebut adalah orang-orang sakti dengan kemampuan bisa mengendalikan alam. Jumlahnya juga cukup banyak dan tersebar di seluruh wilayah Bali dan Nusantara. Mereka adalah pelaku-pelaku spiritual yang telah mendapat pencerahan.

Sedemikian hebatnya cerita orang-orang sakti tersebut dan sampai mampu mengendalikan alam. Dan kalau itu benar berarti akan sungguh-sungguh ada kejadian yang sangat dahsyat suatu hari nanti. Apakah ada hubungannya dengan kebangkitan Ciwa Budha seperti yang telah disebut-sebutkan dari cerita Sabdapalon dan Nayo Genggong atau Sang Hyang Ismaya? Atau kita mengenalnya sebagai Tualen dan Merdah?

Orang-orang sakti tersebut bisa mengendalikan alam. “Apakah semacam bisa nerang hujan, Gung?”. Tanya saya suatu hari.

Nerang hujan itu bukan mengendalikan alam. Lebih daripada itu kata Pinisepuh. Mereka sudah punya tugas masing-masing. Seperti saya harus mengajak umat dari sekarang agar lebih rajin bersembahyang memuja Leluhur dan menjaga budaya ini agar lestari. Mengembangkan dan menjelaskan lagi dengan benar tentang Ciwa Budha kepada yang belum paham. Tujuan dari ini semua yaitu agar terbebas dari sortir alam nantinya, entah kapan karena masih dirahasiakan, tetapi katanya saat itu sudah dekat.

Tidak jelas siapa yang merahasiakan. Ida Bhatara yang merahasiakan atau Pinisepuh yang merahasiakan kepada saya. Tentu ini termasuk yang ada dalam ‘perjanjian suci’ yang tidak boleh dibongkar rahasianya.

Kemudian dalam satu kesempatan saya bertanya: “Kalau benar ada sortir alam, bagaimana untuk bisa lolos dari sortir tersebut?”.

Buatlah karma baik sebanyak-banyaknya agar bebas dari sortir alam, susah diceritakan kenapa ada sortir alam tetapi percayalah Leluhur tidak pernah bohong. Itu kata Pinisepuh. Lalu apakah hanya umat Ciwa Budha yang diselamatkan? Lantas yang lain bagaimana?

“Ya sabarlah, kita tunggu saat itu. Agar bisa menyaksikan saat itu mulailah mendekatkan diri kepada Ida Bhatara. Lakukan meditasi agar mendapat sinar dari para Leluhur”.

Wah ini bisa gawat, pikir saya. Berarti orang-orang selain Ciwa Budha bakal celaka ya? Kalau merujuk cerita Sabda Palon ya begitu, hanya yang berbudhi (budha) yang masih tinggal. Yang lain diapakan? Atau manusia yang ngakunya saja Ciwa Budha tetapi tidak punya budhi apakah juga akan tidak selamat?

“Kalau begitu apa tugas dari orang-orang sakti tersebut?”, tanya saya suatu hari.

Ya tentu mereka akan menjaga dan juga menyelamatkan yang perlu diselamatkan karena nanti bumi nunsantara ini akan bergejolak. Berbagai bencana telah diciptakan, berbagai sakit telah disebarkan dan berbagai cara pemusnahan manusia yang berkhianat pada Ciwa Budha sudah disiapkan dan akan dilaksanakan bilamana waktunya tiba.

“Kalau begitu apakah ini berarti umat selain Ciwa Budha akan musnah?”, tanya saya lagi.

Tidak seperti demikian. Banyak dari mereka selamat. Mereka tetap dengan keyakinannya tetapi juga akan mempunyai budi pekerti dan mempercayai adanya Leluhur serta Budaya yang harus dijunjung demi kebangkitan Bangsa dan Budaya sendiri. Lama-lama mereka akan sadar bahwa tidak ada paham atau kepercayaan di dunia yang mengantarkan manusianya mencapai moksha selain Ciwa Budha. Demikian pula dengan manusia di Bali walau masyarakat Ciwa Budha tetapi hatinya tidak berbudhi akan mengalami keadaan yang adil pada saatnya tiba. Saya tidak mengatakan mereka dimusnahkan karena bukan tugas saya mengatakan itu tetapi saya meyakini satu kebangkitan yang menyeluruh dan tentulah sangat adil.

“Apakah saat itu juga akan ada Satrio Piningit seperti yang telah diceritkan dari jaman dulu atau apakah Satrio Piningit benar-benar ada nanti pada saatnya tiba?”, rasa penasaran saya terus menggebu ingin mengetahui banyak hal.

Ya. Satrio Piningit benar-benar ada. Ia adalah seorang sakti yang bebas dari teluh dan trangjana. Tidak dapat disakiti oleh kekuatan apapun. Ia adalah yang mewakili sifat Kedharmaan. Tidak pengiwa dan tidak panengen. Berada di tengah-tengah. Kedatangan Satrio piningit akan membawa sebuah pedang yang seharusnya berpasangan dengan keris. Saat itu Ia muncul cuma membawa pedang dan akan datang ke seseorang yang sangat penting di Nusantara dan menanyakan pasangan pedang tersebut yaitu berupa keris. Orang penting yang menyimpan keris pasangan dari pedang yang dibawa Satrio Piningit tersebut akan mengenali Satrio Piningit itu asli apa palsu.

Satrio Piningit muncul sebagai Panglima atau sebagai pemimpin yang berkuasa saat itu. Ia adalah yang disebut Ratu Adil. Dengan munculnya Ratu Adil, Niskala beserta orang-orang sakti di Nusantara seperti mendapat komando dan akan mengerti skenario apa yang akan terjadi berikutnya pada Nusantara. Seperti sudah merupakan rentetan satu kejadian, maka dengan kemunculan Satrio Piningit inilah akan menyempurnakan kejadian-kejadian di Nusantara. Susah untuk dijelaskan lebih jauh karena terbentur etika suci. Tetapi, situasi nanti benar-benar akan berubah seratus delapan puluh derajat. Perubahan ini pertanda zaman Kali Yuga segera berlalu.

Masih penasaran dengan orang-orang sakti tersebut saya bertanya kembali: “Oh ya Gung, apa Agung saling kenal dengan orang-orang sakti yang diceritakan tersebut?”.

Mereka semua tidak saling kenal termasuk mereka juga tidak mengenal saya.

“Tapi kenapa Agung tahu mereka ada. Berarti Agung tahu mereka itu ada di mana?”, tanya saya yang tidak bisa ‘ngerem’ untuk terus bertanya mendengar cerita tentang mereka.

Pinisepuh tersenyum dengan pertanyaan saya. Ia tahu kalau saya tentu bercanda dengan pertanyaan ini. Tetapi Pinisepuh menjawab juga. Saya menceritakan tentang mereka sudah tentu saya tahu siapa mereka. Sudah jangan tanya itu lagi. Tunggu saja saat-saat itu. Tetapi sebenarnya, jangan hanya menunggu Ida Sabdapalon bekerja sendiri. Ikut juga berjuang agar kebangkitan ini lebih cepat terjadinya. Misalnya dengan cara lebih rajin melakukan kegiatan spiritual. Dengungkan keberadaan konsep pemujaan Ciwa Budha. Karena belakangan ini orang-orang sudah beralih ke ajaran Sekte. Mereka tidak salah karena yang disembah adalah manifestasi Ida juga. Tetapi kembali kepada Bisama Ida Bhatara Gunung Agung; Jangan sampai masyarakat Bali meninggalkan ‘banten’ sebagai sarana upacara agar tidak ikut celaka di kemudian hari, manakala peristiwa besar kebangkitan Ciwa Budha terjadi.

Menurut Pinisepuh, sepertinya peristiwa kebangkitan ini sudah sangat dekat. Sudah ada kasak-kusuk. Tanda-tandanya adalah bencana-bencana yang terus terjadi. Seperti yang diungkapkan oleh Ida Sabdapalon bahwa kembalinya Ida akan membawa banyak musibah. Salah satunya adalah bencana alam yang akan menrenggut umat manusia yang kukuh tidak percaya kepada Leluhur.

Akan ada semacam sortir manusia dengan berbagai cara di Nusantara seperti bencana alam dan musibah. Yang tidak kena musibah bencana alam, mereka akan dimasuki oleh roh-roh korban kekejaman masa lalu yang menyebabkan mereka saling bunuh-membunuh antar saudara sendiri. Ya, mereka yang mengkhianati Ciwa Budha akan saling bunuh membunuh. Sedang yang lolos dari sortir kekejaman di atas maka berikutnya akan ada pakeblug atau gerubug. Ada penyebaran penyakit menular yang sangat dahsyat. Sekarang tertular nanti sore meninggal. Tetapi yang kembali ke jalan Ciwa Budha dan percaya dengan keberadaan Leluhur akan selamat.

“Kalau demikian adanya bukankah ini namanya balas dendam? Hanya sifat Ciwa yang menghacurkan yang berjalan? Lalu di mana letak welas asih Budha yang punya sifat dharma?”, tanya saya menggali lebih jauh.

Ida Sabdapalon adalah pada tingkatan Sadaciwa. Sedang manusia suci yang moksha saja diberi kemampuan mencipta, melindungi dan menghancurkan. Bukankah yang selamat adalah bagi mereka yang sadar bahwa Nusantara ini dulunya adalah orang-orang yang berbudi? Juga sudah diungkapkan dalam sastra Sabdapalon yang akan kembali dalam 500 tahun. Mestinya mereka sadar akan peringatan itu. Jangan setelah terjadi musibah dan bencana baru mempertanyakan sifat welas asihnya. Ini namanya sifat manusia yang mau menang sendiri!

Berakhirnya Kali Yuga
“Lalu apa yang terjadi setelah Nusantara ini kembali menjadi Ciwa Budha?”, tanya saya lagi suatu hari pada Pinisepuh.

Pada saat tersebut, zaman Kali Yuga sudah berakhir. Slogan ‘gemah ripah loh jinawi’ berangsur-angsur akan benar-benar dinikmati oleh umat Ciwa Budha di Nusantara. Akan ada era baru bagi peradaban manusia. Manusia akan terus ber-evolusi dan Nusantara sedang mengalami era spiritual. Spiritual akan menjadi sesuatu yang sangat berharga akan tetapi mempunyai sifat yang lebih pribadi. Tidak seperti pada era Kali Yuga dimana peningkatan spiritual sedemikian cepat agar yang mencapai pencerahan membantu yang lain agar juga mencapai pencerahan. Saat itu manusia sudah hampir semua mengalami pencerahan seperti orang-orang indigo yang kita kenal sekarang. Tapi itu masih lama, yang terpenting kejarlah yang terdekat dulu, yaitu usahakan selamat dari sortir alam ini dahulu. Tingkatkan kebaktian. Pujalah Ciwa Budha. Setidaknya ada 3 hal penting dalam melakukan pemujaan kepada Ciwa Budha, yaitu:

• Melakukan Yadnya dengan sarana banten
• Memohon kepada Ida Bhatara
• Meningkatkan budhi pekerti di dalam diri

Demikianlah kisah Pinisepuh ini saya susun atas perkenan dan cerita Pinisepuh sendiri, serta teman-teman anggota Paguyuban Dharma Giri Utama yang sudah lebih dulu bergabung.

Pak Puh
Jauh hari sebelum mengenal Pinisepuh, dari sisi berbeda saya bertemu dengan seseorang di Jawa, yang bisa menceritakan kejadian yang sama dan menguatkan cerita seperti yang diceritakan oleh Pinisepuh. Yaitu tentang bangkitnya Ciwa Budha. Orang sana juga menyebutnya pak Puh atau singkatan dari ‘sepuh’, sepuh artinya dituakan. Pak Puh yang ini umurnya juga sangat muda dan Ia adalah seseorang yang ada hubungan dengan raja-raja dari Kutai, Kalimantan, yang menganut Hindu Kaharingan.

Pak Puh juga mengenal orang-orang sakti dengan kemampuan mengendalikan alam. Pak Puh mengatakan mereka bersaudara sebanyak 12 orang

Apakah suatu kebetulan atau memang sudah diatur saya mendapat hubungan aneh dengan orang yang mengenal orang-orang sakti seperti tersebut. Suatu ketika di daerah Gianyar, Bali, saya bertemu dengan seorang teman yang wikan dan pernah didatangi orang yang bisa terbang. Karena saya lebih dulu mendengar tentang cerita orang terbang dari pak Puh, teman dari Gianyar ini saya pertemukan dengan pak Puh. Teman ini menceritakan ciri-ciri orang terbang tersebut. Kemudian diketahui bahwa orang terbang ini adalah disebut sebagai Panglima... tidak boleh diceritakan sebutannya. Dalam pertemuan itu juga terkuak cerita-cerita seru bahwa salah satu saudara orang sakti tersebut juga berada di Banten, Jabar, dan kalau berkunjung ke Pak Puh datang dengan cara terbang. Ini diceritakan oleh salah satu murid dari pak Puh.

Cerita yang lain yaitu, salah satu orang sakti yang menguasai roh-roh gentayangan atau jin yang berada di Alas Purwo Banyuwangi akan membuka kunci pintu setan dan jin tersebut bila saatnya tiba. Lalu setelah waktunya tiba mereka diperintahkan untuk melakukan tugasnya yaitu memasuki manusia-manusia pengkhinat Hindu agar saling bunuh-membunuh antar saudara mereka sendiri.

Orang sakti yang lain adalah yang menguasai penyakit. Bila saatnya tiba orang sakti ini akan menyebarkan penyakit ke seantero Nusantara. Bukan saja di Nusantara tetapi juga dunia! Penyakit yang akan disebarkan adalah penyakit menular yang sangat dahsyat yaitu, kalau sekarang tertular dalam waktu 4 jam akan mangalami kematian atau pagi sakit sore akan meninggal.

Mempunyai cerita yang sama dari dua sumber berbeda adalah memberi keyakinan kepada saya bahwa memang sebentar lagi Nusantara ini akan berubah karena Ciwa Budha akan bangkit kembali di Nusantara.

Kisah aneh pak Puh
Salah seorang murid pak Puh yang juga saksi dari keanehan ini menceritakan suatu kejadian yang tidak terlupakan karena ceritanya sangat aneh dan tidak masuk akal kepada saya. Nama murid ini adalah Kento dan sering dipanggil Tole Kento. Tetapi dalam sehari-hari dipanggil Ten, oleh pak Puh. Ten adalah sebutan untuk remaja usia kawin atau Ten itu maksudnya ‘manten’ atau artinya kawin. Jadi dalam pandangan pak Puh, Tole Kento ini masihlah sangat muda. Tetapi kenyataan sebenarnya pak Puh yang tampak lebih muda.

Pak Puh sebenarnya adalah orang Jawa karena lahir dari orang tua Jawa dan suku Jawa. Lahirnya juga di Jawa, tetapi untuk beberapa lama pak Puh tinggal di Kalimantan dan beristrikan seorang wanita dari suku Dayak yang menganut Hindu Kaharingan. Pada tahun 2007 yang lalu Tole Kento diajak pergi ke Kalimantan oleh pak Puh. Di Kalimantan, Tole Kento diajak jalan-jalan di Samarinda, dan juga di pedalaman Kalimantan. Pada suatu hari diajak mampir ke rumah seorang ibu. Ibu tersebut menceritakan bahwa pak Puh adalah salah satu anak laki-lakinya yang merantau ke Jawa. Tentu saja Tole Kento merasa aneh karena Ia tahu benar bahwa pak Puh adalah orang Jawa. Ibu itu menyodorkan sebuah photo tua cetakan tahun 1970, dan yang membuat kaget Tole Kento, Ibu tersebut berphoto dengan pak Puh. Wajah pak Puh di photo tersebut adalah persis wajah pak Puh sekarang ini (maksudnya tahun 2007) tidak lebih muda. Padahal kenyataannya sekarang saja umurnya baru 30 tahun. Tole Kento dibuat pusing dengan cerita aneh tersebut. Memendam yang Ia tahu tentang pak Puh sebagai orang Jawa karena rasanya tidak mungkin memperdebatkan hal tesebut dengan Ibu, karena ada bukti photo dan cerita-cerita yang mendukung.

Namun terakhir, bulan Maret lalu adalah pertemuan saya terakhir dengan mereka, karena mereka kembali ke Kalimantan dan sekarang saya kehilangan kontak. Tetapi sebelum berpisah saya mendapat cerita, yaitu Nusantara ibaratnya sudah dibuat peta ulang. Pada saatnya tiba beberapa daerah akan hilang dan tenggelam. Nusantara akan hancur dulu sebelum kembali menjadi Nusantara yang ‘gemah ripah loh jinawi’. Orang-orang sakti sudah bersiap-siap, sepertinya waktu kebangkitan jaman Hindu sudah dekat. Mereka tidak menyebut Ciwa Budha tetapi Hindu. Kata pak Puh, untuk memenangi situasi ini haruslah lebih serius menjalani sembahyang. Menyembah Hyang atau Leluhur. Agar bisa menyaksikan orang-orang yang menyebut Hindu sirik habis dihancurkan bencana, musibah, merana, sakit dan yang tersisa akan dimakan jin dan setan alas Purwo.

Jadi demikian cerita pak Puh tentang Nusantara ini jauh hari sebelum saya bertemu dengan Pinisepuh.

Sebenarnya saya menemukan pak Puh tidak sengaja karena urusan barang antik dan dengan jalan cerita yang sangat ruwet serta berbelit-belit. Entah bagaimana kejadiannya, saya lupa tetapi pada akhirnya tertuntun sampai ke rumah pak Puh. Saat pertama kali bertemu dengan pak Puh, Ia sudah tersenyum dan langsung mengatakan bahwa saya tidak cocok bekerja barang antik atau pusaka. Sebenarnya bukan saya yang mencari barang pusaka atau barang antik tapi seorang teman dan saat itu saya mengantar teman ini berkeliling Jawa Timur.

Dalam pertemuan kedua saya dengan pak Puh, Ia meminta saya menunjukkan kedua tangan saya dan menyuruh pula membuka topi. Ia bertanya, siapa yang membuat rajah di tangan dan di dahi saya. Tentu saja saya kaget sekali. Ini mengingatkan saya ke masa lalu yang terus didera sakit-sakitan non medis oleh perbuatan orang lain. Saat itu Bapak seorang teman yang ngiring Sesuhunan begitu kasihan melihat kondisi saya. Bapak tersebut kemudian menggurat-guratkan jari seperti orang menulis di kedua tangan dan dahi saya. Sebenarnya yang dipakai menulis adalah ujung jari telunjuk tangan kanan saja dan ternyata sampai sekarang masih berbekas di sana dan tampak oleh mata batin atau mata ketiga. Dan saat itu pak Puh telah melihat masa lalu saya. Ya, paling tidak itulah dasar saya menilai pak Puh adalah orang yang waskita. Tetapi sayang kontak telah putus sehingga tidak bisa mendapat petunjuk selanjutnya tentang kebangkitan Hindu atau Ciwa Budha.

Akhirnya, bagi pembaca tulisan saya, saya mohon untuk lebih giat memuja Ciwa Budha. Seandainya semua yang saya ungkapkan benar, yaitu proses kebangkitan yang sedemikian menakutkan, semoga dengan makin dekat dengan Ida Bhatara kita dilindungi. Ajaklah juga semua anggota keluarga Anda untuk lebih giat memuja Ida.

Akhirnya kisah Pinisepuh selesai sampai di sini. Terpujilah nama Ida Sang Hyang Widi Wasa, dan bersinarlah semua manifestasi Beliau serta menyinari umatnya yang rajin memuja. Saya sebagai mesengger mohon maaf kalau terjadi kesalahan dalam penyampaian. Tidak ada yang dilebihkan tetapi banyak yang dikurangi isinya. Seperti biasa ada yang tidak mungkin diceritakan di sini karena perlu kedewasaan dan pengalaman spiritual yang cukup untuk memahami, juga terbentur adanya ‘perjanjian suci’ yang harus ditaati. Untuk hal lainnya, kalau dibuat vulgar tentu akan menimbulkan reaksi.

Terimakasih
Om Shanti Shanti Shanti Om...

SELESAI

Pinisepuh 8 - Colek pamor

Catatan kecil bersama Pinisepuh

Colek Pamor
Suatu hari saya juga pernah bertanya dengan cara apa sebenarnya Beliau Ida Bhatara melindungi umatnya kalau terjadi hal-hal yang buruk. Misalnya gempa, tsunami, penyakit dan lain-lainnya. Tentu pertanyaan ini seperti sikap yang untung-untungan. Bukan maksud untuk tidak mempercayai Ida Bhatara bahwa sebenarnya Beliau telah melakukan perlindungan kepada umatnya dalam berbagai cara. Terbukti dari pengalaman orang-orang yang menceritakan keajaiban. Misalnya seorang bartender yang bertugas pada saat bom Bali di Sc Club Kuta, bartender ini tiba-tiba saja berada tertelungkup di jalan. Padahal seingat Dia, saat itu sedang bertugas melayani tamu-tamu club. Kemudian yang Dia tahu dan ingat adalah berada tertelungkup di jalan dan selamat dari maut.

Satu pengalaman dari teman kita dr Muda Agung Nova Mahendra, yang suatu waktu melintas di jalan Prof Ida Bagus Mantra, pagi hari pulang dari sehabis tugas jaga di RS Sanglah, mengalami tabrakan dengan sebuah mobil. Melihat kondisi kendaraan yang terpelanting pastilah kejadiannya sangat buruk. Tetapi yang diingat oleh Agung Nova, dirinya merasakan sesosok mahluk hitam dan besar mendekap serta memeluknya sehingga Ia terselamatkan dari kecelakaan. Satu keajaiban Ia tidak mengalami luka sedikitpun. Belakangan diketahui Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped yang telah menyelamatkannya.

Sangat banyak kejadian yang diceritakan orang-orang di Bali. Keajaiban kerap dinikmati langsung oleh orang-orang tertentu. Apakah orang tersebut termasuk orang pilihan?

Akhirnya pada suatu kesempatan Pinisepuh menceritakan bahwa suatu waktu di Nusantara terjadi peristiwa tsunami yang memporak-porandakan Aceh dan sekitarnya. Peristiwa bencana alam terus berlanjut sampai akhir tahun dan terus terjadi sampai tahun 2005.

Kemudian pada bulan Pebruari 2005 terjadi kehebohan di Bali dan sekitarnya. Mungkin Anda masih ingat dengan peristiwa COLEK PAMOR yang heboh di Bali. Sebenarnya menurut Pinisepuh ini adalah pekerjaan Ida Bhatara yang melindungi umatnya agar selamat dari semacam bahaya.

Ida Bhatara siapa Agung, tanya saya...

Memang kenyataannya sampai dengan sekarang pihak Polisi tidak berhasil untuk menyelidiki. Tentu saja tidak berhasil menyelidiki karena pelakunya menurut Pinisepuh adalah Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling atau Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped beserta dengan ancangan Beliau yang menyebar di seluruh Bali. Tetapi sebenarnya termasuk di Banyuwangi ditemukan colek pamor tersebut menurut cerita teman Hindu yang ada di Banyuwangi.

Memang saat itu ada yang menceritakan bahwa mereka melihat sinar terbang ke gigi empas di pura, kemudian gigi empas itu menyala dan setelah redup itu adalah colek pamor. Ada juga seorang ibu yang bisa melihat alam gaib menceritakan ada segerombolan orang gaib berjalan di daerah Singaraja yang kerjaannya membuat colek pamor. Itulah kisah yang pernah diceritakan. Kalau tidak dilakukan oleh ‘gaib’ mana mungkin ruang suci seseorang yang terkunci juga kena colek pamor.

Ini satu kenyataan bahwa, Ida Bhatara benar-benar melindungi umatnya dari bahaya-bahaya alam yang besar. Untuk itulah Pinisepuh selalu memberi tahu kami bahwa jangan sekali-sekali lalai dengan kewajiban sebagai umat Ciwa Budha. Apalagi sampai meninggalkan Budaya yang nota bene diciptakan untuk menjaga agar Bali tetap sebagai pusat Niskala di dunia.

Ingatlah dengan Bisama Bhatara Gunung Agung:

"Manakala manusia Bali tidak lagi membuat Banten sebagai sarana persembahan kepada Para Dewata, maka Nira, Bhatara Gunung Agung akan kembali ke Mahameru. Sebagai ciri Nira kembali ke Mahameru..., adalah hancurnya Bali."

Lebih kurang seperti ini Bisama Ida Bhatara Gunung Agung. Bisama ini sudah ada sejak ratusan tahun silam dan belum pernah berani ada yang melanggar. Ini menurut penuturan para Sulinggih dan Pinisepuh.

Pura Kerangkeng
Suatu hari saya juga pernah diceritakan dengan keberadaan Pura Kerangkeng di Nusa Penida. Di dalam Pura Kerangkeng adalah tempat-tempat orang yang mempunyai karma buruk dan akan sangat susah untuk dapat terlahir kembali sebagai manusia kalau sudah dijebloskan ke Pura Kerangkeng tersebut. Di sanalah hukum penyiksaan sedang berlangsung.

Pinisepuh menceritakan bagaimana di dalam pura tersebut yang tidak mungkin saya ceritakan di sini. Manusia dari seluruh dunia, dari berbagai bangsa dan ras manusia, berada di sana untuk menjalani hukuman.

Mengapa orang seluruh dunia berada di sana? Tanya saya. Karena Bali adalah pusat Niskala. Ibarat roda pemerintahan, semua alam niskala, diatur dari Bali, kata Pinisepuh. Dan suatu saat nanti, orang seluruh dunia akan memandang Bali dengan berbeda karena saat itu Bali sebagai mercusuar Spiritual di dunia. Semua akan menggali dan belajar dari Bali.

Mengejar harta dan pencerahan
Pinisepuh pernah menceritakan kepada saya bahwa seorang manusia yang punya karma baik setelah meninggal melinggih sebagai Leluhur di Kawitan, lalu Beliau Leluhur tersebut memiliki kemampuan melindungi ‘sentana’ atau anak cucunya dari alam Leluhur. Tingkatan ini saja kalau bisa dicapai dalam kelahiran sekarang sudah sangat baik.

Kita hidup di jaman kali, harus juga sadar diri, hanya dengan waktu satu atau dua jam meditasi sehari ingin mencapai tingkatan sangat tinggi yaitu mencapai keberadaan menyatu dengan Sang Hyang Widi. Moksha. Itu tidak cukup.

Para Yogi yang bertapa puluhan tahun saja belum tentu mencapai moksha pada kehidupannya yang sekarang. Memang karma berbeda untuk setiap manusia. Apakah dalam hidup sekarang ini sudah mengalami pencerahan? Misalnya sebatas melihat energi atau aura? Kalau sudah barangkali itu karma bagus yang harus ditingkatkan lagi.

Pada gambar Orang Suci, di sekitar kepalanya dikitari oleh sinar kuning keemasan. Manusia yang mengalami pencerahan juga akan mempunyai sinar itu kalau dilihat oleh yang telah mengalami pencerahan. Sinar itu tampak di sekitar mata ketiga dan juga di belakang kepala yang bersumber dari yang disebut dengan Pineal atau cupu manik. Kalau kedua sinar ini tampak pada seseorang maka demikianlah orang-orang suci yang mengalami pencerahan tingkat tinggi dan mungkin suatu pertanda akan mencapai Moksha. Besar sinar tergantung dari pencapaian spiritualnya.

Mencapai pencerahan memerlukan keseriusan saat melakoni kegiatan spiritual. Sembahyang adalah salah satu bhakti guna pencapaian restu dari Leluhur. Lakukanlah berbagai meditasi dan yoga. Perbaiki tingkah laku agar Budhi pekerti hidup dalam diri. Kembangkan sikap tulus, ikhlas dan welas asih dalam keseharian. Kata-kata ini tidak cukup untuk menjelaskan tetapi memulai adalah lebih penting daripada hanya tahu teori. Carilah guru yang tepat untuk membimbing.

Dulu sebelum bertemu Pinisepuh kebaktian saya selalu kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, langsung. Tidak salah, tetapi sebelum mencapai Tuhan, restu Leluhur harus di dapat terlebih dulu, kata Pinisepuh. Karena yang terdekat adalah Beliau-beliau. Tetapi manusia sekarang yang dikejar adalah harta. Bagaimana bisa melakukan spiritual yang cepat mendapat pencerahan? Suatu hari Pinisepuh bertanya hal ini kepada saya.

Akhirnya saya menyadari suatu realita kehidupan, bahwa saya hidup di dunia saat ini utamanya adalah mengejar harta lalu spiritual. Mengapa tidak memulai yang sederhana dulu dengan memuja Ida Bhatara Ratu Niang Sakti atau Ida Bhatari Ratu Mas Melanting agar direstui dalam mencari kekayaan? Karena Beliau adalah salah satu dari sekian banyak Ida Bhatara yang menguasai bidang ekonomi.

Kemudian saya dan istri melakoni yang dikatakan Pinisepuh. Mendak Daksina ke ajeng Ida Bhatari Ratu Niang Sakti di Pura Grya Anyar Tanah Kilap untuk warung istri yang kian hari tambah beruntung. Tetapi saya sendiri sangat suka dengan patung Budha Tertawa, hingga membuat usaha Galeri berkonsep Budha yang mana Beliau adalah Ida Ratu Syahbandar yang merupakan juga penguasa kemakmuran dan menjadi favorit saya. Akhirnya saya mendapat petunjuk melalui Pinisepuh dari Ida Bhatari Ratu Mas Magelung untuk melinggihkan pelinggih Ratu Syahbandar.

Karena merasa diperhatikan oleh Ida Bhatari Ratu Mas Magelung, dalam mengejar spiritual saya memohon dan berdo'a kepada Ida. Kemudian juga berkembang karena beberapa do’a terjawab, Ida Bhatari Ratu Niang Sakti dan Ida Mpu Kuturan juga akhirnya menjadi Favorit dalam setiap kebaktian dan meditasi. Berikutnya Ibu Dewi Kwan Im juga merupakan pavorit saya karena suatu alasan sangat penting dalam hidup saya.

Demikianlah saya menjalani keseharian juga menjalani spiritual dengan cara yang menyenangkan yaitu merubah persepsi pencarian saya terhadap Tuhan dengan berbagai penjelasan Pinisepuh yang gamblang. Dapatkan restu Leluhur terlebih dahulu sebelum menuju Tuhan. Leluhur yang masih hidup adalah orang tua. Akhirnya saya diminta untuk meminta maaf kepada orang tua atas kesalahan-kesalahan yang dibuat. Saya melakukannya beberapa bulan lalu.

Kemajuan spiritual saya meningkat tajam setelah bertemu dengan Pinisepuh. Kemajuan saya ukur dengan terbukanya penglihatan mata lahir karena mata batin sudah terbuka duluan, karena pengalaman terakhir saya adalah keterkejutan yang sangat sampai mobil saya rem mendadak ketika melihat ada sebersit cahaya menghadang kami di perempatan pantai Klotok, pada perjalanan pulang dari tangkil di Puri Klungkung. Saya telah melihat kereta kuda kencana melaju secepat sinar di alam niskala datang dari arah pantai Klotok. “Apa Gung?”, tanya saya. Itulah kendaraan di niskala kata Pinisepuh.

Banyak pengalaman lain yang luarbiasa tetapi tidak boleh diceritakan sembarangan. Akhirnya saya menyadari, meningkatkan spiritual akan banyak mengurangi masalah dan salah satunya yaitu masalah kesehatan. Sebab syarat utama mencapai spiritual adalah sehat. Yoga dalam spiritual berfungsi diantaranya untuk meningkatkan kesehatan. Kami dilatih oleh Pinisepuh beberapa gerakan Yoga.

Demikianlah kehidupan Pinisepuh yang membimbing orang-orang dengan sabar dan serius.

Bersambung...
Selain Pinisepuh ada orang-orang sakti lainnya dengan kemampuan mengendalikan alam dipersiapkan untuk kebangkitan Ciwa Budha