Selasa, 29 September 2009

Pinisepuh 9 - Selesai

Seri Pinisepuh saya tulis untuk menggambarkan kenyataan yang tengah dilakoni oleh Pinisepuh sebagai abdi dari kerajaan Majapahit atau sebagai pejuang kebangkitan Ciwa Buhda, atau sebagai abdi dari Ida Bhatara.

Penulisan ini bukan bertujuan untuk memamerkan semua yang ada pada diri Pinisepuh, bahkan awalnya Pinisepuh tidak mau untuk dibuatkan kisah seperti ini. Tetapi sebagai umat, saya mengajak Anda untuk sama-sama memahami bahwa di tengah situasi seperti ini Beliau Ida Bhatara telah memberi seorang Pinisepuh yang merupakan salah satu yang akan memberi peringatan-peringatan akan terjadinya sesuatu di kemudian hari.

Pernah sebelum flu Babi muncul Pinisepuh memberitahu bahwa akan ada penyakit baru masuk ke Dunia. Kemudian untuk pertama kali dalam pengalaman Pinisepuh, petapakan Tapel Ida Dalem Sidakarya ‘ngamedalang’ Paica Tirta dan mesti disiratkan ke halaman rumah masing-masing agar selamat dari marabahaya.

Tetapi dengan bekal kemampuan sebanyak yang dimiliki oleh Pinisepuh, dalam benak saya menduga-duga, pastilah ada suatu peristiwa sangat besar akan terjadi di Nusantara pada masa-masa yang akan datang. Sehingga seorang pejuang seperti Pinisepuh harus dipersiapkan dengan berbagai kemampuan. Namun menurut Pinisepuh, Ia bukanlah satu-satunya yang dipersiapkan dan mendapat restu. Banyak yang sudah mendapat restu tetapi mereka masih bersembunyi dan pada saatnya akan muncul di tengah-tengah masyarakat.

Orang-orang sakti dan misteri Satrio Piningit
Menurut Pinisepuh, selain dirinya ada orang-orang lainnya dipersiapkan untuk kebangkitan Ciwa Budha.

Mereka-mereka yang dipersiapkan tersebut adalah orang-orang sakti dengan kemampuan bisa mengendalikan alam. Jumlahnya juga cukup banyak dan tersebar di seluruh wilayah Bali dan Nusantara. Mereka adalah pelaku-pelaku spiritual yang telah mendapat pencerahan.

Sedemikian hebatnya cerita orang-orang sakti tersebut dan sampai mampu mengendalikan alam. Dan kalau itu benar berarti akan sungguh-sungguh ada kejadian yang sangat dahsyat suatu hari nanti. Apakah ada hubungannya dengan kebangkitan Ciwa Budha seperti yang telah disebut-sebutkan dari cerita Sabdapalon dan Nayo Genggong atau Sang Hyang Ismaya? Atau kita mengenalnya sebagai Tualen dan Merdah?

Orang-orang sakti tersebut bisa mengendalikan alam. “Apakah semacam bisa nerang hujan, Gung?”. Tanya saya suatu hari.

Nerang hujan itu bukan mengendalikan alam. Lebih daripada itu kata Pinisepuh. Mereka sudah punya tugas masing-masing. Seperti saya harus mengajak umat dari sekarang agar lebih rajin bersembahyang memuja Leluhur dan menjaga budaya ini agar lestari. Mengembangkan dan menjelaskan lagi dengan benar tentang Ciwa Budha kepada yang belum paham. Tujuan dari ini semua yaitu agar terbebas dari sortir alam nantinya, entah kapan karena masih dirahasiakan, tetapi katanya saat itu sudah dekat.

Tidak jelas siapa yang merahasiakan. Ida Bhatara yang merahasiakan atau Pinisepuh yang merahasiakan kepada saya. Tentu ini termasuk yang ada dalam ‘perjanjian suci’ yang tidak boleh dibongkar rahasianya.

Kemudian dalam satu kesempatan saya bertanya: “Kalau benar ada sortir alam, bagaimana untuk bisa lolos dari sortir tersebut?”.

Buatlah karma baik sebanyak-banyaknya agar bebas dari sortir alam, susah diceritakan kenapa ada sortir alam tetapi percayalah Leluhur tidak pernah bohong. Itu kata Pinisepuh. Lalu apakah hanya umat Ciwa Budha yang diselamatkan? Lantas yang lain bagaimana?

“Ya sabarlah, kita tunggu saat itu. Agar bisa menyaksikan saat itu mulailah mendekatkan diri kepada Ida Bhatara. Lakukan meditasi agar mendapat sinar dari para Leluhur”.

Wah ini bisa gawat, pikir saya. Berarti orang-orang selain Ciwa Budha bakal celaka ya? Kalau merujuk cerita Sabda Palon ya begitu, hanya yang berbudhi (budha) yang masih tinggal. Yang lain diapakan? Atau manusia yang ngakunya saja Ciwa Budha tetapi tidak punya budhi apakah juga akan tidak selamat?

“Kalau begitu apa tugas dari orang-orang sakti tersebut?”, tanya saya suatu hari.

Ya tentu mereka akan menjaga dan juga menyelamatkan yang perlu diselamatkan karena nanti bumi nunsantara ini akan bergejolak. Berbagai bencana telah diciptakan, berbagai sakit telah disebarkan dan berbagai cara pemusnahan manusia yang berkhianat pada Ciwa Budha sudah disiapkan dan akan dilaksanakan bilamana waktunya tiba.

“Kalau begitu apakah ini berarti umat selain Ciwa Budha akan musnah?”, tanya saya lagi.

Tidak seperti demikian. Banyak dari mereka selamat. Mereka tetap dengan keyakinannya tetapi juga akan mempunyai budi pekerti dan mempercayai adanya Leluhur serta Budaya yang harus dijunjung demi kebangkitan Bangsa dan Budaya sendiri. Lama-lama mereka akan sadar bahwa tidak ada paham atau kepercayaan di dunia yang mengantarkan manusianya mencapai moksha selain Ciwa Budha. Demikian pula dengan manusia di Bali walau masyarakat Ciwa Budha tetapi hatinya tidak berbudhi akan mengalami keadaan yang adil pada saatnya tiba. Saya tidak mengatakan mereka dimusnahkan karena bukan tugas saya mengatakan itu tetapi saya meyakini satu kebangkitan yang menyeluruh dan tentulah sangat adil.

“Apakah saat itu juga akan ada Satrio Piningit seperti yang telah diceritkan dari jaman dulu atau apakah Satrio Piningit benar-benar ada nanti pada saatnya tiba?”, rasa penasaran saya terus menggebu ingin mengetahui banyak hal.

Ya. Satrio Piningit benar-benar ada. Ia adalah seorang sakti yang bebas dari teluh dan trangjana. Tidak dapat disakiti oleh kekuatan apapun. Ia adalah yang mewakili sifat Kedharmaan. Tidak pengiwa dan tidak panengen. Berada di tengah-tengah. Kedatangan Satrio piningit akan membawa sebuah pedang yang seharusnya berpasangan dengan keris. Saat itu Ia muncul cuma membawa pedang dan akan datang ke seseorang yang sangat penting di Nusantara dan menanyakan pasangan pedang tersebut yaitu berupa keris. Orang penting yang menyimpan keris pasangan dari pedang yang dibawa Satrio Piningit tersebut akan mengenali Satrio Piningit itu asli apa palsu.

Satrio Piningit muncul sebagai Panglima atau sebagai pemimpin yang berkuasa saat itu. Ia adalah yang disebut Ratu Adil. Dengan munculnya Ratu Adil, Niskala beserta orang-orang sakti di Nusantara seperti mendapat komando dan akan mengerti skenario apa yang akan terjadi berikutnya pada Nusantara. Seperti sudah merupakan rentetan satu kejadian, maka dengan kemunculan Satrio Piningit inilah akan menyempurnakan kejadian-kejadian di Nusantara. Susah untuk dijelaskan lebih jauh karena terbentur etika suci. Tetapi, situasi nanti benar-benar akan berubah seratus delapan puluh derajat. Perubahan ini pertanda zaman Kali Yuga segera berlalu.

Masih penasaran dengan orang-orang sakti tersebut saya bertanya kembali: “Oh ya Gung, apa Agung saling kenal dengan orang-orang sakti yang diceritakan tersebut?”.

Mereka semua tidak saling kenal termasuk mereka juga tidak mengenal saya.

“Tapi kenapa Agung tahu mereka ada. Berarti Agung tahu mereka itu ada di mana?”, tanya saya yang tidak bisa ‘ngerem’ untuk terus bertanya mendengar cerita tentang mereka.

Pinisepuh tersenyum dengan pertanyaan saya. Ia tahu kalau saya tentu bercanda dengan pertanyaan ini. Tetapi Pinisepuh menjawab juga. Saya menceritakan tentang mereka sudah tentu saya tahu siapa mereka. Sudah jangan tanya itu lagi. Tunggu saja saat-saat itu. Tetapi sebenarnya, jangan hanya menunggu Ida Sabdapalon bekerja sendiri. Ikut juga berjuang agar kebangkitan ini lebih cepat terjadinya. Misalnya dengan cara lebih rajin melakukan kegiatan spiritual. Dengungkan keberadaan konsep pemujaan Ciwa Budha. Karena belakangan ini orang-orang sudah beralih ke ajaran Sekte. Mereka tidak salah karena yang disembah adalah manifestasi Ida juga. Tetapi kembali kepada Bisama Ida Bhatara Gunung Agung; Jangan sampai masyarakat Bali meninggalkan ‘banten’ sebagai sarana upacara agar tidak ikut celaka di kemudian hari, manakala peristiwa besar kebangkitan Ciwa Budha terjadi.

Menurut Pinisepuh, sepertinya peristiwa kebangkitan ini sudah sangat dekat. Sudah ada kasak-kusuk. Tanda-tandanya adalah bencana-bencana yang terus terjadi. Seperti yang diungkapkan oleh Ida Sabdapalon bahwa kembalinya Ida akan membawa banyak musibah. Salah satunya adalah bencana alam yang akan menrenggut umat manusia yang kukuh tidak percaya kepada Leluhur.

Akan ada semacam sortir manusia dengan berbagai cara di Nusantara seperti bencana alam dan musibah. Yang tidak kena musibah bencana alam, mereka akan dimasuki oleh roh-roh korban kekejaman masa lalu yang menyebabkan mereka saling bunuh-membunuh antar saudara sendiri. Ya, mereka yang mengkhianati Ciwa Budha akan saling bunuh membunuh. Sedang yang lolos dari sortir kekejaman di atas maka berikutnya akan ada pakeblug atau gerubug. Ada penyebaran penyakit menular yang sangat dahsyat. Sekarang tertular nanti sore meninggal. Tetapi yang kembali ke jalan Ciwa Budha dan percaya dengan keberadaan Leluhur akan selamat.

“Kalau demikian adanya bukankah ini namanya balas dendam? Hanya sifat Ciwa yang menghacurkan yang berjalan? Lalu di mana letak welas asih Budha yang punya sifat dharma?”, tanya saya menggali lebih jauh.

Ida Sabdapalon adalah pada tingkatan Sadaciwa. Sedang manusia suci yang moksha saja diberi kemampuan mencipta, melindungi dan menghancurkan. Bukankah yang selamat adalah bagi mereka yang sadar bahwa Nusantara ini dulunya adalah orang-orang yang berbudi? Juga sudah diungkapkan dalam sastra Sabdapalon yang akan kembali dalam 500 tahun. Mestinya mereka sadar akan peringatan itu. Jangan setelah terjadi musibah dan bencana baru mempertanyakan sifat welas asihnya. Ini namanya sifat manusia yang mau menang sendiri!

Berakhirnya Kali Yuga
“Lalu apa yang terjadi setelah Nusantara ini kembali menjadi Ciwa Budha?”, tanya saya lagi suatu hari pada Pinisepuh.

Pada saat tersebut, zaman Kali Yuga sudah berakhir. Slogan ‘gemah ripah loh jinawi’ berangsur-angsur akan benar-benar dinikmati oleh umat Ciwa Budha di Nusantara. Akan ada era baru bagi peradaban manusia. Manusia akan terus ber-evolusi dan Nusantara sedang mengalami era spiritual. Spiritual akan menjadi sesuatu yang sangat berharga akan tetapi mempunyai sifat yang lebih pribadi. Tidak seperti pada era Kali Yuga dimana peningkatan spiritual sedemikian cepat agar yang mencapai pencerahan membantu yang lain agar juga mencapai pencerahan. Saat itu manusia sudah hampir semua mengalami pencerahan seperti orang-orang indigo yang kita kenal sekarang. Tapi itu masih lama, yang terpenting kejarlah yang terdekat dulu, yaitu usahakan selamat dari sortir alam ini dahulu. Tingkatkan kebaktian. Pujalah Ciwa Budha. Setidaknya ada 3 hal penting dalam melakukan pemujaan kepada Ciwa Budha, yaitu:

• Melakukan Yadnya dengan sarana banten
• Memohon kepada Ida Bhatara
• Meningkatkan budhi pekerti di dalam diri

Demikianlah kisah Pinisepuh ini saya susun atas perkenan dan cerita Pinisepuh sendiri, serta teman-teman anggota Paguyuban Dharma Giri Utama yang sudah lebih dulu bergabung.

Pak Puh
Jauh hari sebelum mengenal Pinisepuh, dari sisi berbeda saya bertemu dengan seseorang di Jawa, yang bisa menceritakan kejadian yang sama dan menguatkan cerita seperti yang diceritakan oleh Pinisepuh. Yaitu tentang bangkitnya Ciwa Budha. Orang sana juga menyebutnya pak Puh atau singkatan dari ‘sepuh’, sepuh artinya dituakan. Pak Puh yang ini umurnya juga sangat muda dan Ia adalah seseorang yang ada hubungan dengan raja-raja dari Kutai, Kalimantan, yang menganut Hindu Kaharingan.

Pak Puh juga mengenal orang-orang sakti dengan kemampuan mengendalikan alam. Pak Puh mengatakan mereka bersaudara sebanyak 12 orang

Apakah suatu kebetulan atau memang sudah diatur saya mendapat hubungan aneh dengan orang yang mengenal orang-orang sakti seperti tersebut. Suatu ketika di daerah Gianyar, Bali, saya bertemu dengan seorang teman yang wikan dan pernah didatangi orang yang bisa terbang. Karena saya lebih dulu mendengar tentang cerita orang terbang dari pak Puh, teman dari Gianyar ini saya pertemukan dengan pak Puh. Teman ini menceritakan ciri-ciri orang terbang tersebut. Kemudian diketahui bahwa orang terbang ini adalah disebut sebagai Panglima... tidak boleh diceritakan sebutannya. Dalam pertemuan itu juga terkuak cerita-cerita seru bahwa salah satu saudara orang sakti tersebut juga berada di Banten, Jabar, dan kalau berkunjung ke Pak Puh datang dengan cara terbang. Ini diceritakan oleh salah satu murid dari pak Puh.

Cerita yang lain yaitu, salah satu orang sakti yang menguasai roh-roh gentayangan atau jin yang berada di Alas Purwo Banyuwangi akan membuka kunci pintu setan dan jin tersebut bila saatnya tiba. Lalu setelah waktunya tiba mereka diperintahkan untuk melakukan tugasnya yaitu memasuki manusia-manusia pengkhinat Hindu agar saling bunuh-membunuh antar saudara mereka sendiri.

Orang sakti yang lain adalah yang menguasai penyakit. Bila saatnya tiba orang sakti ini akan menyebarkan penyakit ke seantero Nusantara. Bukan saja di Nusantara tetapi juga dunia! Penyakit yang akan disebarkan adalah penyakit menular yang sangat dahsyat yaitu, kalau sekarang tertular dalam waktu 4 jam akan mangalami kematian atau pagi sakit sore akan meninggal.

Mempunyai cerita yang sama dari dua sumber berbeda adalah memberi keyakinan kepada saya bahwa memang sebentar lagi Nusantara ini akan berubah karena Ciwa Budha akan bangkit kembali di Nusantara.

Kisah aneh pak Puh
Salah seorang murid pak Puh yang juga saksi dari keanehan ini menceritakan suatu kejadian yang tidak terlupakan karena ceritanya sangat aneh dan tidak masuk akal kepada saya. Nama murid ini adalah Kento dan sering dipanggil Tole Kento. Tetapi dalam sehari-hari dipanggil Ten, oleh pak Puh. Ten adalah sebutan untuk remaja usia kawin atau Ten itu maksudnya ‘manten’ atau artinya kawin. Jadi dalam pandangan pak Puh, Tole Kento ini masihlah sangat muda. Tetapi kenyataan sebenarnya pak Puh yang tampak lebih muda.

Pak Puh sebenarnya adalah orang Jawa karena lahir dari orang tua Jawa dan suku Jawa. Lahirnya juga di Jawa, tetapi untuk beberapa lama pak Puh tinggal di Kalimantan dan beristrikan seorang wanita dari suku Dayak yang menganut Hindu Kaharingan. Pada tahun 2007 yang lalu Tole Kento diajak pergi ke Kalimantan oleh pak Puh. Di Kalimantan, Tole Kento diajak jalan-jalan di Samarinda, dan juga di pedalaman Kalimantan. Pada suatu hari diajak mampir ke rumah seorang ibu. Ibu tersebut menceritakan bahwa pak Puh adalah salah satu anak laki-lakinya yang merantau ke Jawa. Tentu saja Tole Kento merasa aneh karena Ia tahu benar bahwa pak Puh adalah orang Jawa. Ibu itu menyodorkan sebuah photo tua cetakan tahun 1970, dan yang membuat kaget Tole Kento, Ibu tersebut berphoto dengan pak Puh. Wajah pak Puh di photo tersebut adalah persis wajah pak Puh sekarang ini (maksudnya tahun 2007) tidak lebih muda. Padahal kenyataannya sekarang saja umurnya baru 30 tahun. Tole Kento dibuat pusing dengan cerita aneh tersebut. Memendam yang Ia tahu tentang pak Puh sebagai orang Jawa karena rasanya tidak mungkin memperdebatkan hal tesebut dengan Ibu, karena ada bukti photo dan cerita-cerita yang mendukung.

Namun terakhir, bulan Maret lalu adalah pertemuan saya terakhir dengan mereka, karena mereka kembali ke Kalimantan dan sekarang saya kehilangan kontak. Tetapi sebelum berpisah saya mendapat cerita, yaitu Nusantara ibaratnya sudah dibuat peta ulang. Pada saatnya tiba beberapa daerah akan hilang dan tenggelam. Nusantara akan hancur dulu sebelum kembali menjadi Nusantara yang ‘gemah ripah loh jinawi’. Orang-orang sakti sudah bersiap-siap, sepertinya waktu kebangkitan jaman Hindu sudah dekat. Mereka tidak menyebut Ciwa Budha tetapi Hindu. Kata pak Puh, untuk memenangi situasi ini haruslah lebih serius menjalani sembahyang. Menyembah Hyang atau Leluhur. Agar bisa menyaksikan orang-orang yang menyebut Hindu sirik habis dihancurkan bencana, musibah, merana, sakit dan yang tersisa akan dimakan jin dan setan alas Purwo.

Jadi demikian cerita pak Puh tentang Nusantara ini jauh hari sebelum saya bertemu dengan Pinisepuh.

Sebenarnya saya menemukan pak Puh tidak sengaja karena urusan barang antik dan dengan jalan cerita yang sangat ruwet serta berbelit-belit. Entah bagaimana kejadiannya, saya lupa tetapi pada akhirnya tertuntun sampai ke rumah pak Puh. Saat pertama kali bertemu dengan pak Puh, Ia sudah tersenyum dan langsung mengatakan bahwa saya tidak cocok bekerja barang antik atau pusaka. Sebenarnya bukan saya yang mencari barang pusaka atau barang antik tapi seorang teman dan saat itu saya mengantar teman ini berkeliling Jawa Timur.

Dalam pertemuan kedua saya dengan pak Puh, Ia meminta saya menunjukkan kedua tangan saya dan menyuruh pula membuka topi. Ia bertanya, siapa yang membuat rajah di tangan dan di dahi saya. Tentu saja saya kaget sekali. Ini mengingatkan saya ke masa lalu yang terus didera sakit-sakitan non medis oleh perbuatan orang lain. Saat itu Bapak seorang teman yang ngiring Sesuhunan begitu kasihan melihat kondisi saya. Bapak tersebut kemudian menggurat-guratkan jari seperti orang menulis di kedua tangan dan dahi saya. Sebenarnya yang dipakai menulis adalah ujung jari telunjuk tangan kanan saja dan ternyata sampai sekarang masih berbekas di sana dan tampak oleh mata batin atau mata ketiga. Dan saat itu pak Puh telah melihat masa lalu saya. Ya, paling tidak itulah dasar saya menilai pak Puh adalah orang yang waskita. Tetapi sayang kontak telah putus sehingga tidak bisa mendapat petunjuk selanjutnya tentang kebangkitan Hindu atau Ciwa Budha.

Akhirnya, bagi pembaca tulisan saya, saya mohon untuk lebih giat memuja Ciwa Budha. Seandainya semua yang saya ungkapkan benar, yaitu proses kebangkitan yang sedemikian menakutkan, semoga dengan makin dekat dengan Ida Bhatara kita dilindungi. Ajaklah juga semua anggota keluarga Anda untuk lebih giat memuja Ida.

Akhirnya kisah Pinisepuh selesai sampai di sini. Terpujilah nama Ida Sang Hyang Widi Wasa, dan bersinarlah semua manifestasi Beliau serta menyinari umatnya yang rajin memuja. Saya sebagai mesengger mohon maaf kalau terjadi kesalahan dalam penyampaian. Tidak ada yang dilebihkan tetapi banyak yang dikurangi isinya. Seperti biasa ada yang tidak mungkin diceritakan di sini karena perlu kedewasaan dan pengalaman spiritual yang cukup untuk memahami, juga terbentur adanya ‘perjanjian suci’ yang harus ditaati. Untuk hal lainnya, kalau dibuat vulgar tentu akan menimbulkan reaksi.

Terimakasih
Om Shanti Shanti Shanti Om...

SELESAI

Pinisepuh 8 - Colek pamor

Catatan kecil bersama Pinisepuh

Colek Pamor
Suatu hari saya juga pernah bertanya dengan cara apa sebenarnya Beliau Ida Bhatara melindungi umatnya kalau terjadi hal-hal yang buruk. Misalnya gempa, tsunami, penyakit dan lain-lainnya. Tentu pertanyaan ini seperti sikap yang untung-untungan. Bukan maksud untuk tidak mempercayai Ida Bhatara bahwa sebenarnya Beliau telah melakukan perlindungan kepada umatnya dalam berbagai cara. Terbukti dari pengalaman orang-orang yang menceritakan keajaiban. Misalnya seorang bartender yang bertugas pada saat bom Bali di Sc Club Kuta, bartender ini tiba-tiba saja berada tertelungkup di jalan. Padahal seingat Dia, saat itu sedang bertugas melayani tamu-tamu club. Kemudian yang Dia tahu dan ingat adalah berada tertelungkup di jalan dan selamat dari maut.

Satu pengalaman dari teman kita dr Muda Agung Nova Mahendra, yang suatu waktu melintas di jalan Prof Ida Bagus Mantra, pagi hari pulang dari sehabis tugas jaga di RS Sanglah, mengalami tabrakan dengan sebuah mobil. Melihat kondisi kendaraan yang terpelanting pastilah kejadiannya sangat buruk. Tetapi yang diingat oleh Agung Nova, dirinya merasakan sesosok mahluk hitam dan besar mendekap serta memeluknya sehingga Ia terselamatkan dari kecelakaan. Satu keajaiban Ia tidak mengalami luka sedikitpun. Belakangan diketahui Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped yang telah menyelamatkannya.

Sangat banyak kejadian yang diceritakan orang-orang di Bali. Keajaiban kerap dinikmati langsung oleh orang-orang tertentu. Apakah orang tersebut termasuk orang pilihan?

Akhirnya pada suatu kesempatan Pinisepuh menceritakan bahwa suatu waktu di Nusantara terjadi peristiwa tsunami yang memporak-porandakan Aceh dan sekitarnya. Peristiwa bencana alam terus berlanjut sampai akhir tahun dan terus terjadi sampai tahun 2005.

Kemudian pada bulan Pebruari 2005 terjadi kehebohan di Bali dan sekitarnya. Mungkin Anda masih ingat dengan peristiwa COLEK PAMOR yang heboh di Bali. Sebenarnya menurut Pinisepuh ini adalah pekerjaan Ida Bhatara yang melindungi umatnya agar selamat dari semacam bahaya.

Ida Bhatara siapa Agung, tanya saya...

Memang kenyataannya sampai dengan sekarang pihak Polisi tidak berhasil untuk menyelidiki. Tentu saja tidak berhasil menyelidiki karena pelakunya menurut Pinisepuh adalah Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling atau Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped beserta dengan ancangan Beliau yang menyebar di seluruh Bali. Tetapi sebenarnya termasuk di Banyuwangi ditemukan colek pamor tersebut menurut cerita teman Hindu yang ada di Banyuwangi.

Memang saat itu ada yang menceritakan bahwa mereka melihat sinar terbang ke gigi empas di pura, kemudian gigi empas itu menyala dan setelah redup itu adalah colek pamor. Ada juga seorang ibu yang bisa melihat alam gaib menceritakan ada segerombolan orang gaib berjalan di daerah Singaraja yang kerjaannya membuat colek pamor. Itulah kisah yang pernah diceritakan. Kalau tidak dilakukan oleh ‘gaib’ mana mungkin ruang suci seseorang yang terkunci juga kena colek pamor.

Ini satu kenyataan bahwa, Ida Bhatara benar-benar melindungi umatnya dari bahaya-bahaya alam yang besar. Untuk itulah Pinisepuh selalu memberi tahu kami bahwa jangan sekali-sekali lalai dengan kewajiban sebagai umat Ciwa Budha. Apalagi sampai meninggalkan Budaya yang nota bene diciptakan untuk menjaga agar Bali tetap sebagai pusat Niskala di dunia.

Ingatlah dengan Bisama Bhatara Gunung Agung:

"Manakala manusia Bali tidak lagi membuat Banten sebagai sarana persembahan kepada Para Dewata, maka Nira, Bhatara Gunung Agung akan kembali ke Mahameru. Sebagai ciri Nira kembali ke Mahameru..., adalah hancurnya Bali."

Lebih kurang seperti ini Bisama Ida Bhatara Gunung Agung. Bisama ini sudah ada sejak ratusan tahun silam dan belum pernah berani ada yang melanggar. Ini menurut penuturan para Sulinggih dan Pinisepuh.

Pura Kerangkeng
Suatu hari saya juga pernah diceritakan dengan keberadaan Pura Kerangkeng di Nusa Penida. Di dalam Pura Kerangkeng adalah tempat-tempat orang yang mempunyai karma buruk dan akan sangat susah untuk dapat terlahir kembali sebagai manusia kalau sudah dijebloskan ke Pura Kerangkeng tersebut. Di sanalah hukum penyiksaan sedang berlangsung.

Pinisepuh menceritakan bagaimana di dalam pura tersebut yang tidak mungkin saya ceritakan di sini. Manusia dari seluruh dunia, dari berbagai bangsa dan ras manusia, berada di sana untuk menjalani hukuman.

Mengapa orang seluruh dunia berada di sana? Tanya saya. Karena Bali adalah pusat Niskala. Ibarat roda pemerintahan, semua alam niskala, diatur dari Bali, kata Pinisepuh. Dan suatu saat nanti, orang seluruh dunia akan memandang Bali dengan berbeda karena saat itu Bali sebagai mercusuar Spiritual di dunia. Semua akan menggali dan belajar dari Bali.

Mengejar harta dan pencerahan
Pinisepuh pernah menceritakan kepada saya bahwa seorang manusia yang punya karma baik setelah meninggal melinggih sebagai Leluhur di Kawitan, lalu Beliau Leluhur tersebut memiliki kemampuan melindungi ‘sentana’ atau anak cucunya dari alam Leluhur. Tingkatan ini saja kalau bisa dicapai dalam kelahiran sekarang sudah sangat baik.

Kita hidup di jaman kali, harus juga sadar diri, hanya dengan waktu satu atau dua jam meditasi sehari ingin mencapai tingkatan sangat tinggi yaitu mencapai keberadaan menyatu dengan Sang Hyang Widi. Moksha. Itu tidak cukup.

Para Yogi yang bertapa puluhan tahun saja belum tentu mencapai moksha pada kehidupannya yang sekarang. Memang karma berbeda untuk setiap manusia. Apakah dalam hidup sekarang ini sudah mengalami pencerahan? Misalnya sebatas melihat energi atau aura? Kalau sudah barangkali itu karma bagus yang harus ditingkatkan lagi.

Pada gambar Orang Suci, di sekitar kepalanya dikitari oleh sinar kuning keemasan. Manusia yang mengalami pencerahan juga akan mempunyai sinar itu kalau dilihat oleh yang telah mengalami pencerahan. Sinar itu tampak di sekitar mata ketiga dan juga di belakang kepala yang bersumber dari yang disebut dengan Pineal atau cupu manik. Kalau kedua sinar ini tampak pada seseorang maka demikianlah orang-orang suci yang mengalami pencerahan tingkat tinggi dan mungkin suatu pertanda akan mencapai Moksha. Besar sinar tergantung dari pencapaian spiritualnya.

Mencapai pencerahan memerlukan keseriusan saat melakoni kegiatan spiritual. Sembahyang adalah salah satu bhakti guna pencapaian restu dari Leluhur. Lakukanlah berbagai meditasi dan yoga. Perbaiki tingkah laku agar Budhi pekerti hidup dalam diri. Kembangkan sikap tulus, ikhlas dan welas asih dalam keseharian. Kata-kata ini tidak cukup untuk menjelaskan tetapi memulai adalah lebih penting daripada hanya tahu teori. Carilah guru yang tepat untuk membimbing.

Dulu sebelum bertemu Pinisepuh kebaktian saya selalu kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, langsung. Tidak salah, tetapi sebelum mencapai Tuhan, restu Leluhur harus di dapat terlebih dulu, kata Pinisepuh. Karena yang terdekat adalah Beliau-beliau. Tetapi manusia sekarang yang dikejar adalah harta. Bagaimana bisa melakukan spiritual yang cepat mendapat pencerahan? Suatu hari Pinisepuh bertanya hal ini kepada saya.

Akhirnya saya menyadari suatu realita kehidupan, bahwa saya hidup di dunia saat ini utamanya adalah mengejar harta lalu spiritual. Mengapa tidak memulai yang sederhana dulu dengan memuja Ida Bhatara Ratu Niang Sakti atau Ida Bhatari Ratu Mas Melanting agar direstui dalam mencari kekayaan? Karena Beliau adalah salah satu dari sekian banyak Ida Bhatara yang menguasai bidang ekonomi.

Kemudian saya dan istri melakoni yang dikatakan Pinisepuh. Mendak Daksina ke ajeng Ida Bhatari Ratu Niang Sakti di Pura Grya Anyar Tanah Kilap untuk warung istri yang kian hari tambah beruntung. Tetapi saya sendiri sangat suka dengan patung Budha Tertawa, hingga membuat usaha Galeri berkonsep Budha yang mana Beliau adalah Ida Ratu Syahbandar yang merupakan juga penguasa kemakmuran dan menjadi favorit saya. Akhirnya saya mendapat petunjuk melalui Pinisepuh dari Ida Bhatari Ratu Mas Magelung untuk melinggihkan pelinggih Ratu Syahbandar.

Karena merasa diperhatikan oleh Ida Bhatari Ratu Mas Magelung, dalam mengejar spiritual saya memohon dan berdo'a kepada Ida. Kemudian juga berkembang karena beberapa do’a terjawab, Ida Bhatari Ratu Niang Sakti dan Ida Mpu Kuturan juga akhirnya menjadi Favorit dalam setiap kebaktian dan meditasi. Berikutnya Ibu Dewi Kwan Im juga merupakan pavorit saya karena suatu alasan sangat penting dalam hidup saya.

Demikianlah saya menjalani keseharian juga menjalani spiritual dengan cara yang menyenangkan yaitu merubah persepsi pencarian saya terhadap Tuhan dengan berbagai penjelasan Pinisepuh yang gamblang. Dapatkan restu Leluhur terlebih dahulu sebelum menuju Tuhan. Leluhur yang masih hidup adalah orang tua. Akhirnya saya diminta untuk meminta maaf kepada orang tua atas kesalahan-kesalahan yang dibuat. Saya melakukannya beberapa bulan lalu.

Kemajuan spiritual saya meningkat tajam setelah bertemu dengan Pinisepuh. Kemajuan saya ukur dengan terbukanya penglihatan mata lahir karena mata batin sudah terbuka duluan, karena pengalaman terakhir saya adalah keterkejutan yang sangat sampai mobil saya rem mendadak ketika melihat ada sebersit cahaya menghadang kami di perempatan pantai Klotok, pada perjalanan pulang dari tangkil di Puri Klungkung. Saya telah melihat kereta kuda kencana melaju secepat sinar di alam niskala datang dari arah pantai Klotok. “Apa Gung?”, tanya saya. Itulah kendaraan di niskala kata Pinisepuh.

Banyak pengalaman lain yang luarbiasa tetapi tidak boleh diceritakan sembarangan. Akhirnya saya menyadari, meningkatkan spiritual akan banyak mengurangi masalah dan salah satunya yaitu masalah kesehatan. Sebab syarat utama mencapai spiritual adalah sehat. Yoga dalam spiritual berfungsi diantaranya untuk meningkatkan kesehatan. Kami dilatih oleh Pinisepuh beberapa gerakan Yoga.

Demikianlah kehidupan Pinisepuh yang membimbing orang-orang dengan sabar dan serius.

Bersambung...
Selain Pinisepuh ada orang-orang sakti lainnya dengan kemampuan mengendalikan alam dipersiapkan untuk kebangkitan Ciwa Budha

Minggu, 27 September 2009

Pinisepuh 7 – Di tes di Nusa

Ida Bhatara melakukan test kepada Pinisepuh

Sebagai manusia terpilih haruslah siap dengan berbagai resiko kehidupan. Menjalani hidup yang penuh dengan pengabdian kepada masyarakat banyak. Mempertaruhkan nyawa demi menolong orang yang sakit mejik. Akan tetapi jauh hari sebelum semua pengetahuan suci perihal Ida Bhatara dipahami, banyak sekali kejadian dan godaan-godaan yang datang silih berganti dialami oleh Pinisepuh. Kata Pinisepuh itulah imunisasi kepada tubuh dan mental agar siap menghadapi segala apa yang akan dialami sebagai seorang pelaku spiritual.

Pada suatu ketika, Pinisepuh mendapat satu petunjuk untuk lunga ngiringan “Ida Bhatara Lingsir’, Petapakan Puri Klungkung tangkil ke Nusa di Pura Dalem Ped pada Piodalan Agung. Pinisepuh datang bersama rombongan Puri serta beberapa murid dari Paguyuban Dharma Giri Utama yang sudah mempunyai mental-mental pemberani menghadapi gaib.

Singkat cerita, rombongan sudah sampai di kawasan Pura. Karena membawa Petapakan, rombongan mendapat tempat duduk di depan. Pinisepuh mengambil tempat duduk dekat dengan para Dasaran dan Sadeg yang jumlahnya ratusan. Menurut taksiran pemedek yang hadir saat itu adalah lebih dari 1000 orang karena areal tempat penuh oleh umat dari berbagai pelosok Nusantara.

Kerauhan masal di Pura
Akhirnya upacara nganteb sudah selesai pada malam tersebut. Tiba-tiba seorang Jero Dasaran yang kemudian diketahui adalah bernama Jero Sekar yang nyungsung Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped kerauhan. Ia menunjuk-nunjuk Pinisepuh. Ngeraos, karena agak jauh Pinisepuh tidak begitu jelas mendengar. Tetapi menurut yang lain itu adalah raos yang memberi tahu bahwa Pinisepuh haruslah selalu ‘seleg’ atau rajin dengan setiap tugas dan petunjuk. Janganlah pernah nantang-nantang Leak karena Leak adalah panjak dari Ida juga. Kira-kira seperti itulah raos Ida memberi nasehat kepada Pinisepuh.

Semua mata memandang Pinisepuh. Beberapa orang tampak memandang Pinisepuh dengan sinis serta berbisik-bisik: “Sebel-sebel kok tangkil ke Pura”, hanya itu yang sempat terdengar oleh Pinisepuh. Dan orang lain yang mendengar tentu merespon sangat negatif. Menyalahkan Pinisepuh yang duduk saja dengan tenang. Kemudian seorang lagi Mangku kerauhan. Mangku ini adalah seorang Mangku Dalem dari Tabanan yang nyungsung Hyang Giri Putri.

Suasana semakin seru saja di Pura. Mangku Dalem yang kerauhan juga memandang ke arah Pinisepuh. Ia berkata: “Cening de ngambul, Ida mula keto, ....” kira-kira seperti itu yang Pinisepuh dengar karena suasana sangat ramai saat itu. Tetapi yang aneh bahwa sebenarnya percakapan ini hanya dimengerti oleh Pinisepuh dan Jero-jero yang kerauhan saja. Sedang bagi yang hadir di sana menangkap seolah-olah Pinisepuh ada salah sama Beliau Ida Bhatara di Nusa.

Pinisepuh memang tidak dikenal luas oleh para Jero Dasaran dan Jero Balian yang hadir. Yang mengetahui Pinisepuh hanya segelintir orang saja pada saat itu dan tentu tahu arah percakapan dari Jero-jero yang kerauhan.

Sebenarnya yang terjadi adalah nasehat-nasehat umum yang diberikan oleh Ida kepada Pinisepuh. Tetapi Ida yang lain semacam ‘ngapul apulin’ atau menenangkan agar Pinisepuh jangan terlalu berpikir lain atas ‘raos’ dari Ida yang lainnya. Ida yang satu menasehati dan Ida yang lainnya membela.

Mata orang-orang masih tertuju kepada Pinisepuh yang sejak Ida kerauhan terus memandang Pinisepuh dan memberi nasehat kepada Pinisepuh. Sebenarnya menurut Pinisepuh, kejadian ini adalah salah satu maksud dari Ida Bhatara bahwa Beliau ingin menunjukkan kepada seluruh yang hadir bahwa inilah Pinisepuh Agung Yudistira, salah satu dari Panjak Ida yang ngayah dengan tulus untuk Leluhur yang melinggih di Bumi Nusantara, demi kebangkitan Ciwa Budha di Nusantara. Ida Bhatara memang tidak mungkin memberi tahu secara vulgar atau terang-terangan siapa sejatinya Pinisepuh karena ada aturannya secara Niskala. Namun, sebenarnya bahwa setiap orang yang mengabdi tulus pastilah derajatnya akan diangkat oleh Ida Bhatara. Dan Pinisepuh merasakan bahwa derajatnya sedang diangkat dihadapan lebih dari seribu orang.

Jero-jero yang kerauhan masih juga memberi petunjuk raos kepada Pinisepuh. Tak berapa lama kemudian, salah satu Jero Sadeg dari Badung juga kerauhan. Jero sadeg ini kerauhan Ida Bhatari Ratu Niang Sakti. Ciri-ciri Ida Bhatari Ratu Niang Sakti kerauhan adalah diawali dengan nyanyian atau kidung yang sangat indah. Selalu ingin memberi bukti kepada umatnya bahwa Beliaulah yang hadir saat itu. Setelah itu kembali Jero yang kerauhan ini memandang Pinisepuh yang duduk dengan tenang. Tentu saja Pinisepuh duduk tenang karena Beliau Ida Bhatari Ratu Niang Sakti yang selalu membimbing dan memberi petunjuk kepada Pinisepuh setiap hari. Ibaratnya, Ida Bhatari Ratu Niang Sakti adalah gurunya Pinisepuh.

Suasana memang semakin heboh. Bisik-bisik menjadi aneh dan menimbulkan pertanyaan di kalangan yang hadir terutama Jero Dasaran dan Jero Sadeg. Sekarang mereka menjadi bingung dan mungkin bertanya dalam hati siapa sebenarnya Pinisepuh Agung Yudistira. Hal ini tentu beralasan karena ada kerauhan yang terjadi di Pura Dalem Ped, seharusnya raos adalah untuk membahas umat dan kejadian skala niskala di Nusa dan Bali, ini malah hanya membahas Pinisepuh, yang saat itu tampak sebagai remaja biasa saja. Namun, sekali lagi Pinisepuh yakin sekali bahwa Ida sedang mengangkat derajatnya di hadapan para Dasaran dan Sadeg yang jumlahnya ratusan tentu kepada umat yang hadir juga.

Di tengah-tengah situasi heboh tersebut, tiba-tiba seorang anak kecil, kira-kira umur lima tahun berdiri. Ia berjalan kedepan menuju Jero-jero yang sedang kerauhan. Tentu saja ini sangat menarik perhatian yang hadir dan suasana menjadi sangat riuh menuding-nuding anak kecil yang sedang berjalan dengan tenangnya ke depan. Sesampai di depan dekat Jero-jero yang kerauhan, Ia tersenyum sangat lugu tanpa merasa salah sama sekali. Tak seorangpun berani berdiri untuk mengambil anak kecil tersebut. Suasana sudah seperti diskenario. Tiba-tiba tangannya yang mungil melambai ke atas seolah sedang menari dan menarik selendang ke udara. Sreeeettt........ Begitu tangannya yang kecil mungil sampai di udara, wow.... kehebohan sangat luar biasa terjadi. Kira-kira dari 1000 orang yang hadir, 800 orang semua kerauhan!

Suasana sangat mencekam. Suara anjing yang meraung ‘ngulun’ terdengar di mana-mana. Orang-orang yang kerauhan ada yang menari-nari. Ada yang bicara-bicara saja. Ada yang duduk menginjak-injak tanah. Atau bermacam-macam tipe kerauhan telah terjadi dan susah untuk diceritakan dan benar-benar sangat menakutkan karena kerauhan ini benar-benar masal. Sedang yang tidak kerauhan berlarian, mungkin semacam menyelamatkan diri. Sungguh kejadian yang heboh dan pertama kali dalam sejarah ada kerauahan masal di Pura Dalem Ped ini.

Jero mangku di jaba pura kerauhan
Pinisepuh cuek dengan situasi kerauhan tersebut dan malah pergi ke ‘jaba’ Pura. Mencari sebuah warung dan duduk di sana. Memesan Mi instan karena suasana cukup dingin dan perut juga lapar. Di sana juga sudah duduk beberapa orang dan seorang pemangku. Mereka tampak tidak tahu apa yang terjadi di ‘Jeroan’ Pura. Mereka ini menunggu giliran untuk mebakti pada gelombang berikutnya.

Mi yang dipesan Pinisepuh sudah siap untuk dinikmati. Tetapi Jero Mangku yang sedang makan di warung tersebut tiba-tiba kerauhan. Orang-orang panik dengan situasi tersebut. Tetapi Pinisepuh cuek dan santai saja menikmati mi yang dipesannya. Kemudian Jero Mangku yang kerauhan tersebut memanggil Pinisepuh yang serta merta memandang Jero Mangku tersebut sembari asik menikmati mi. Kemudian Pinisepuh mendengar raos dari Jero Mangku yang kerauhan tersebut agar Petapakan Ida Bhatara Lingsir juga harus lunga ke Pura Dalem Penida. Dan setelah dijawab, “ya”, Jero Mangku tersebut sadar dari kerauhannya dan tentu saja kaget mendapatkan dirinya berdiri dan jauh dari tempat duduknya barusan menikmati makan serta Ia bertanya kepada rekan-rekannya apa yang terjadi...

Beberapa lama kemudian, suasana di Jeroan sudah reda. Semua sudah muspa dan sudah selesai. Anak-anak Paguyuban mencari Pinisepuh di luar. Sedang rombongan dari Puri tetap di dalam ngemitin Ida Bhatara Lingsir. Sambil menunggu hari esok melanjutkan petunjuk tangkil ke Pura Dalem Penida, Pinisepuh mengajak murid-muridnya ke pelinggih kepuh kembar dan yang melinggih di sana adalah Ida Bhatara Dalem Bungkut.

Kain terbang di kepuh kembar
Suasana di sana sangatlah gelap dan mencekam. Anak-anak walaupun sudah pemberani masih tidak berani jauh-jauh dari Pinisepuh. Apalagi saat ini adalah Piodalan Agung. Tentu semua dasaran, sadeg dan balian yang mempelajari aliran hitam juga banyak hadir di Pulau ini. Memohon berkat kepada Ida Ratu Ayu Mas Maketel sebagai semacam tangan kanan dari Ida Bhatari Durga Dewi. Tentu para pelaku pengiwa juga akan hadir di Pulau ini. Mungkin kalau diibaratkan sebagai cerita silat, semua perguruan dari berbagai aliran sedang menuju ke Pulau atau Nusa ini. Para murid yang baru belajar sampai kepada pendekar papan atas pastilah juga sudah hadir di Nusa ini. Tentulah situasi sangat gawat dari sisi gaibnya. Mungkin saja ada kejadian coba mencoba dan tes mengetes antar pendekar. Sangat mungkin seperti itu.

Setelah sampai di kepuh kembar, Pinisepuh dan murid-muridnya duduk di suatu tempat. Tiba-tiba dari depan muncul selembar kain putih yang cukup panjang terbang. Yang menakutkan kain tersebut terbang dan menyambar-nyambar rombongan kecil ini. Semua menjadi panik kecuali Pinisepuh.

Rupa-rupanya seperti dalam cerita silat bahwa ada pendekar yang sedang unjuk gigi dan menantang Pinisepuh. Pinisepuh berdiri dan memandang kain putih yang terbang menyambar-nyambar tersebut. Kemudian Pinusepuh berteriak dengan lantang:

“Ne amah, pilihin nenenan murid wake...” Pinisepuh menunjuk murid-muridnya dan tentu saja semua anak-anak menjadi takut. Sementara kain tersebut masih terus terbang dan menyambar-nyambar rombongan.

“Amen sajan wanen, amah ne murid wake....”, sambil menunjuk salah seorang murid. Tentu saja murid yang ditunjuk tersebut mohon kepada Pinsepuh dengan kata; jangan... jangan... Gung. Jangan Gung... dengan penuh ketakutan. Sementara itu kain tersebut masih saja terbang dan menyambar-nyambar walau tidak terlalu dekat tetapi benar-benar membuat bulu kuduk berdiri dan keringat dingin keluar. Sudah tentu jantung berdebar-debar dengan keras takut tidak karuan!

Dalam ilmu hitam, pencapaian yang sangat tinggi adalah apabila bisa berubah menjadi kain ini. Dan ternyata hari ini, Pinisepuh beserta murid-muridnya melihat dan mengalami sendiri fakta bahwa mereka sedang diganggu oleh ilmu hitam tingkat tinggi. Semua murid memandang Pinisepuh, apakah guru mereka mampu mengatasi masalah ini.

Kemudian Pinisepuh diam sejenak dan terus memandang kain putih tersebut yang sekarang berposisi terbang tapi berdiam dan tidak menyambar-nyambar lagi. Akhirnya Pinisepuh menuding kain putih tersebut dengan telunjuk tangan kanan. Kain putih tersebut kemudian bergetar dan terbang berbalik seperti melarikan diri. Kabur dari hadapan Pinisepuh Agung Yudistira. Semua anak-anak berdekat-dekatan di sekitar Pinisepuh. Tidak ada yang berani berkomentar tentang kejadian yang sangat menakutkan barusan. Pinisepuh juga tidak berkata apa-apa tentang kejadian tadi. Kemudian mereka diajak sembahyang di pelinggih Ida Bhatara Dalem Bungkut memohon keselamatan selama berada di Nusa.

Namun sebenarnya kejadian tersebut tidak pernah diceritakan lagi kepada anak-anak Paguyuban. Akhirnya belakangan saya tahu bahwa Pinisepuh sedang di tes oleh Ida. Sebenarnya Kain Terbang itu adalah ‘Kekereb Jagat’ Ida Bhatara Dalem Bungkut. Sebagai contoh, Kekereb adalah kain yang menjulur dari rong pelinggih yang tinggi misalnya dari rong Padamasana terurai ke bawah hingga menyentuh tanah. Orang yang bisa menjelma menjadi kekereb jagat adalah tentu orang yang sangat sakti. Pinisepuh sudah mengungguli keilmuan itu, dan Pinisepuh mengakui dengan segala kerendahan hatinya bahwa kemampuan itu merupakan pemberian, dipinjamkan kepadanya oleh Ida Bhatara. Pengalaman tadi itu merupakan suatu tes bagi Pinisepuh apakah Pinisepuh memang benar-benar sudah bisa menggunakan dan mengendalikan ilmu tersebut.

Bersambung...
Siapa di balik Misteri Colek Pamor yang menghebohkan Bali beberapa tahun silam

Rabu, 23 September 2009

Pinisepuh 6 – Menggembleng Murid

Perjalanan Pinisepuh sehubungan niskala sangat banyak sekali kalau diceritakan. Dari yang sederhana sampai yang susah untuk dicerna oleh akal pikiran. Pada masa lalu, Pinisepuh juga pernah sebagai team Majalah Bali Aga untuk menelusuri lokasi gaib di suatu daerah. Waktu itu mungkin umurnya masih 17 tahunan karena masih SMA. Tugasnya adalah memberi pengetahuan siapa dan apa yang melinggih di suatu tempat. Terkadang membuat photo penampakkan dengan kamera yang sudah ditransfer energi oleh Pinisepuh. Tentu sebatas yang diijinkan oleh alam gaib.

Pernah dalam acara khusus yaitu meliput acara Merehnya Jero Mangku Teja menjadi Leak, Pinisepuh yang bertugas untuk melindungi kru Majalah Bali Aga agar selamat. Karena pada saat mereh, energi akan sangat dahsyat dan bisa membuat orang yang menyaksikan mengalami kematian. Memang kenyataannya, pada saat kejadian sedang mereh jadi Leak, lensa kamera kru pada pecah sehingga tidak bisa mengabadikan peristiwa tersebut. Para kru menjerit-jerit terutama yang wanita, mereka sangat ketakutan. Ada kamera yang bertahan dan mengambil gambar-gambar tersebut akan tetapi tidak tampak kejadian merehnya. Tetapi yang tampak adalah Jero Mangku Teja yang asli atau mentahnya. Inilah salah satu kegiatan Pinisepuh di masa lalu.

Terkadang untuk memberi pengetahuan dan pengalaman kepada murid-murid yang sudah dianggap patut mendapat bimbingan khusus, Pinisepuh membantu membuka sedikit penglihatan mata ketiga pada suatu tempat tertentu. Akan tetapi murid yang sombong dan mengaku berani pernah diajak ke kuburan, di tinggal dalam sebuah pagar gaib dan diwanti-wanti untuk tidak melewati batas pagar tersebut. Kemudian mata ketiga dari murid tersebut dibuka untuk kurun waktu tertentu sehingga apapun yang ada di kuburan tersebut dapat tampak oleh murid yang sombong ini. Tentu saja yang terjadi adalah rasa ketakutan yang sangat hebat dan luarbiasa. Menjerit-jerit memalukan dan tidak sesuai dengan ucapannya yang sombong sok berani selama ini.

Ini semacam pelajaran bagi murid yang lain bahwa pencerahan itu memerlukan moral yang tinggi salah satunya adalah tidak berlaku sombong dan juga keberanian yang super. Karena yang akan dilihat dan dihadapi sangat bervariasi kalau sudah berurusan dengan hal-hal yang berbau gaib.

Minta diajari kesaktian
Juga pernah suatu ketika seorang murid ibaratnya ngemis-ngemis untuk diajari kesaktian. Pinisepuh memberi satu syarat kepada murid tersebut yaitu, galilah lobang sedalam satu meter dan selebar satu meter keliling di Sanggah Merajan. Murid tersebut tanpa ba bi bu lagi langsung melaksanakan niatnya menggali lobang tersebut dan setelah selesai melapor kepada Pinisepuh. Pinisepuh bertanya kepada murid tersebut, untuk apa lobang tersebut. Itu kan atas suruhan Pinisepuh kata murid tersebut. Tetapi kenapa kamu tidak tanya dulu untuk apa lobang tersebut?

Pinisepuh juga menjelaskan bahwa yang mendapat pencerahan walau sebatas kesaktian dari Ida Bhatara haruslah juga bukan orang yang terlalu ‘Oon”. Karena berbahaya kalau dikuasai oleh orang yang tidak cukup pintar. Tetapi Ida Bhatara juga mencari orang yang tidak perlu terlalu pintar tetapi orang yang tulus dan welas asih, kata Pinisepuh.

Mahluk gaib pelindung pusaka galak-galak
Begitulah pengalaman dalam perjalanan Pinisepuh mengajari murid-murid Paguyuban. Banyak hal yang terjadi. Sampai suatu saat saya juga diajak ke satu tempat di wilayah Sanur. Saya diwanti-wanti jangan mencoba melihat dengan mata batin karena mahluk gaib di sini adalah mahluk ganas dan galak-galak. Kami masuk ke dalam hutan Bakau yang rimbun. Memang sangat menyeramkan suasananya. Sampai di suatu tempat saya mulai merasakan panas dari berbagai sudut tubuh. Tubuh saya sudah sangat sensitif seperti sensor. Dari depan dari belakang dan semua arah rasanya ada mahluk. Kuping kiri dan kuping kanan terasa sangat panas. Nafas rasanya sesak dan jantung melemah serta tenaga bagai dikuras. Lemas tak berdaya. Karena sudah sering mengalami hal begini, dilatih oleh Pinisepuh, saya berusaha menekan rasa takut. Karena memang tujuan mahluk ini untuk membuat manusia ketakutan agar pergi dari kawasan tersebut.

Saya bertanya kepada Pinisepuh kenapa ada tempat dengan mahluk gaib yang galak dan ada yang tidak. Menurut Pinisepuh itu karena mahluk tersebut sedang melindungi atau menjaga sesuatu di daerah tersebut. Mungkin yang dilindungi adalah semacam Pusaka daerah tersebut.

Mahluk gaib tertentu mempunyai kemampuan untuk menutup jalan skala kalau memang diperlukan sehingga manusia yang tidak mempunyai bekal ilmu dan hanya mengandalkan penglihatan mata batin saja sangat berbahaya berada dikawasan seperti itu apalagi mencoba untuk melihat mereka. Mereka tidak suka ada manusia yang mengetahui keberadaan mereka di suatu tempat. Bisa-bisa mereka menutup jalan skala atau penampakan alam nyata. Dengan ditutupnya jalan skala oleh mahluk gaib maka yang kelihatan adalah hanya alam mereka saja. Maka manusia tersebut tidak dapat pulang ke alam nyata kalau tidak mempunyai kemampuan mengendalikan alam gaib. Itu satu alasan kenapa Pinisepuh terkadang tidak mengijinkan saya melihat dengan mata batin karena mahluk tersebut sebenarnya tidak ingin keberadaannya diketahui manusia.

Pernah suatu ketika, diceritakan oleh Pak Ngurah salah satu Anggota Paguyuban bahwa Pinisepuh mengajak beberapa muridnya untuk menjalani Hari Raya Nyepi di salah satu Goa di pantai Balangan. Pak Ngurah pada sore hari mengalami kejadian bahwa Ia tidak bisa menemukan tangga yang dipakai untuk turun dari atas ke arah Pantai. Tadinya Ia melihat bahwa tangga tersebut memang di sana tetapi beberapa waktu kemudian menghilang. Situasinya seperti tidak berbeda jauh dari alam nyatanya. Beberapa masih tampak sama dengan alam nyata dan sebagian yang penting untuk manusia hilang atau tidak tampak. Pikiran Pak Ngurah menjadi kacau dan takut. Takutnya kira-kira sama dengan yang saya alami yaitu jantung melemah dan tenaga seperti disedot. Tetapi beruntung Pinisepuh berada disampingnya dan memberi tahu bahwa satu mahluk gaib berusaha menutupi tempat tersebut. Akhirnya dengan memohon bahwa tujuan mereka di sana adalah untuk menjalani Hari Raya Nyepi saja, maka suasana kembali normal.

Bagi murid Paguyuban yang sudah terbuka sedikit-sedikit penglihtannya perlu untuk dihadapkan pada pengalaman rasa ketakutan seperti itu tetapi harus mendapat bimbingan dari Pinisepuh. Pengalaman tersebut ibaratnya hanya memberi semacam imunisasi rasa takut kepada tubuh sehingga suatu saat tubuh mampu mengelola dan mengolah energi yang berasal dari mahluk gaib dan menjadi bekal untuk bertahan dari mahluk yang jahat baik yang berasal dari alam sekitar juga yang berasal dari niat buruk seseorang. Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan karena meningkatkan sensitifitas tubuh terhadap mahluk gaib yang galak atau mungkin jahat.

Mungkin Anda termasuk beruntung mengalami proses pencerahan yang sederhana. Atau sudah anugrah dari lahir. Tetapi bagi yang mengejar pencerahan dengan praktek-praktek spiritual akan melewati berbagai rintangan yang mau tidak mau harus dilewati. Dan bagi yang tidak mempunyai pembimbing, biasanya mentok sampai tingkat tertentu. Sama halnya dengan saya dulu yang sangat sulit melewati masa gangguan penglihatan batin. Bagaimana tidak?, kalau yang hadir dalam penglihatan batin itu adalah yang menyeramkan. Dengan bimbingan Pinisepuh saya melewati tingkatan ini dan terus melaju. Itulah pentingnya seorang guru dalam mencapai tingkatan spiritual.

Pada tingkatan melawan rasa takut biasanya seseorang mundur melakukan kegiatan spiritual. Berhenti meditasi seperti yang pernah terjadi dengan saya. Namun setelah tingkatan rasa takut dilewati dan mata batin sudah terbuka, maka meditasi menjadi hampa. Dengan kata lain, karena spiritual sudah meningkat maka meditasi tidak lagi merasakan sensasi. Sensasi biasanya terjadi di cakra Mata ke Tiga yaitu mata ketiga terasa bergerak-gerak terkadang ada gerakan seperti berputar. Atau cakra Mahkota juga terasa berputar-putar atau angin seperti meniup-niup. Badan terasa dingin. Setiap orang merasakan sensasi berbeda tergantung dari kepekaan seseorang. Seperti kata Pinisepuh, setelah sensasi itu hilang penekun spiritual merasa bingung dengan kemajuan meditasi yang dilakukan. Pada saat inilah, diperlukan seorang pembimbing yang mengerti hakekat spiritual sesungguhnya.

Membuktikan kemajuan meditasi
Saya suatu hari bertanya kepada Pinsepuh bagaimana membuktikan kemajuan spiritual yang dialami seseorang. Apakah ada metodenya? Pinisepuh mengatakan sulit untuk membuktikan karena ini sifatnya sangat rahasia bagi orang bersangkutan. Kalaupun diberitahu mungkin seseorang tersebut sulit menerima penjelasan karena sepihak. Akhirnya Pinisepuh mempunyai akal bahwa, pada suatu sesi meditasi, salah seorang teman dibuka penglihatan mata ke Tiga-nya. Teman ini kemudian disuruh untuk melihat sinar semua teman yang ikut meditasi. Ia melihat sinar pada Mata Ketiga teman-teman. Besar sinar sangat beragam dari yang hanya mempunyai sinar sekecil nyala ujung dupa sampai yang sudah sebesar lingkaran cd.

Penjelasan teman ini akhirnya dihubung-hubungkan dengan kemajuan masing-masing. Apakah sudah melihat energi? Apakah sudah melewati masa-masa takut sebelum mata batin terbuka. Apakah disamping terbuka mata batin juga sudah bisa berkomunikasi dengan gaib. Ada juga yang mulai ke tahap melihat dengan mata lahir.

Menurut Pinisepuh, hal-hal kemajuan tidak perlu dibahas dan dibuktikan karena seiring dengan latihan dan meditasi yang benar kemajuan akan didapat. Spiritual memerlukan praktek yang terus menerus jangan pernah menunda. Lakukan rutin setiap hari dengan serius dan tulus, maka pencerahan akan menanti sebagai hadiah. Pencerahan berhubungan dengan banyak hal dan meditasi bukanlah satu-satunya metode. carilah pembimbing spiritual yang mengerti agar mendapat penjelasan yang benar dan bimbingan yang tepat. Lebih bagus lagi adalah seorang guru yang juga telah mengalami Pencerahan.

Dengan Pencerahan manusia akan mengalami hidup lebih sehat. Tetapi sebelum mengalami Pencerahan maka orang harus sehat terlebih dahulu. Maka meditasi juga salah satu awal yang baik untuk menyehatkan diri.

Bersambung....
Pinisepuh diganggu di Nusa Penida.... di sarangnya dunia mistis!

Minggu, 20 September 2009

Pinisepuh 5 – Menarik Mirah Delima

Menarik Mirah Delima Dari Alam Gaib di UNHI

Pinisepuh adalah seorang mahasiswa di UNHI. Dalam keseharian terkadang Pinisepuh juga ingin melakukan kegiatan-kegiatan Budaya seperti mengupayakan pentas Drama Calon Arang di UNHI. Adalah sebenarnya suatu kegiatan yang sangat berani, mengingat selama kita tahu, Drama Calon Arang erat berkaitan dengan dunia undang-mengundang Leak. Ibaratnya pentas Drama Calon Arang merupakan arena pertarungan antara peyelenggara dengan Leak yang diundang.

Satu hal yang menjadi perhatian bahwa dari pihak penyelenggara Drama Calon Arang yang diandalkan sebagai pelindung adalah Pinisepuh. Pada kenyataannya pentas pagelaran Drama tersebut sukses. Tidak ada korban yang jatuh seperti kekhawatiran teman-temannya saat itu. Dan tentu ini membuktikan bahwa Pinisepuh juga memahami hal-hal mistis yang berbau aliran kiri dan cara memberikan perlindungan kepada pregina atau penari kalau ada hal-hal berbau mistis seperti itu.

Bukan tujuan mencari sensasi tetapi lebih kepada melestarikan budaya yang sudah ada. Karena dalam pandangan Pinisepuh, Bali terkenal karena Budaya. Memang mempertahankan Budaya adalah salah satu misi yang selalu diucapkan Pinisepuh kepada murid-muridnya.

Mirah Delima di UNHI
Pada suatu kesempatan, Pinisepuh mengutarakan suatu petunjuk kepada segenap pengurus Universitas bahwa pererai suci yang berada di lingkungan kampus menginginkan sebuah permata Mirah Delima untuk dapat lebih sempurna sebagai simbol niskala kejayaan kampus UNHI.

Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat tidak mungkin dilakukan karena siapapun tahu bahwa harga dari Mirah Delima adalah milyaran. Yang pernah saya dengar adalah 2,5 milyar. Itupun kalau benar-benar ada yang asli. Dan kalau mencari barang seperti ini tentu sangat susah kemana mencarinya karena di dunia barang antik-pun barang seperti ini sangat susah untuk ditemukan.

Tetapi Pinisepuh mengatakan bahwa untuk mencari barang tersebut tidak usah jauh-jauh karena Pusaka Mirah Delima berada pada lingkungan kampus UNHI. Pihak pemilik dan pengelola kampus hanya tinggal memberi ijin kepada Pinisepuh untuk mengupayakan menarik Pusaka tersebut. Tetapi dengan syarat bahwa Pusaka tersebut nantinya tidak boleh dijual karena sangat membahayakan. Penempatan Pusaka Mirah Delima ini harus dipasang pada pererai yaitu di antara ke dua alis. Atau pada posisi mata ke tiga dari pererai yang menyimbolkan maha tahu atau lebih kepada ilmu pengetahuan yang sujati. Sebagai simbol bahwa UNHI mengajarkan ilmu yang sujati. Demikian barangkali makna dari keberadaan Pusaka dan pererai suci tersebut nantinya.

Keberadaan Pusaka Mirah Delima di lingkungan kampus UNHI adalah pada alam Niskala. Pinisepuh sudah mengetahui lokasi dari Mirah Delima tersebut serta sudah pula berkomunikasi dengan penjaga dari Pusaka tersebut. Beberapa syarat juga diajukan oleh penjaga dari Pusaka Mirah tersebut diantaranya seperti Pinisepuh sudah utarakan yaitu jangan dijual dan juga mesti ditempatkan pada mata ke tiga pererai suci. Syarat lainnya adalah sarana Yadnya yang harus dipenuhi agar Pusaka bisa keluar dari Niskala ke Skala. Pinisepuh sudah mendapat semua petunjuk Yadnya yang diperlukan. Akhirnya pihak kampus setuju dengan maksud dari Pinisepuh Agung Yudistira.

Hari baik sudah ditentukan oleh Pinisepuh. Lokasi tempat menarik Pusaka dari Niskala ke Skala sudah dipagari skala dan niskala sejak beberapa hari sebelumnya. Murid-murid unggulan Paguyuban Dharma Giri Utama yang ikut membantu sudah dihubungi. Panitia dari drama Calon Arang juga ikut. Mereka dianjurkan untuk puasa mutih pada hari H untuk kelancaran proses penarikan Pusaka. Sarana yang lain sudah disiapkan oleh Pinisepuh dan tinggal menunggu hari H. Segenap komponen kampus yang mendengar perihal ini sangat penasaran dengan apa yang akan diakukan oleh Pinisepuh. Mahasiswa yang tidak berkepentingan tidak ada yang diberi tahu.

Akhirnya hari H sudah tiba. Semua sarana sudah siap. Yadnya sudah digelar dan dilaksanakan. Murid-murid dan panitia yang mendampingi acara sudah juga bersiap menerima perintah tugas dari Pinisepuh.

Kemudian Pinisepuh memerintahkan salah seorang murid untuk menyalakan dupa dengan jumlah tertentu. Setiap pojok dari lokasi yang sudah dipagari secara gaib dari jauh hari, ditancapi dupa-dupa yang menyala. Yang tidak terlibat secara lansung hanya bisa menyaksikan dari luar areal yang sudah dipagari saja.

Kemudian murid-murid dan panitia duduk melingkar di pusat areal upacara. Di tengah areal kemudian di gelar kain putih dengan ukuran kira-kira 40x40 centimeter. Berbagai macam kembang ditaburkan di atas kain tersebut. Setiap ujung kain ditancapkan dupa dengan jumlah tertentu. Yang terakhir adalah Pusaka uang kepeng yang dirahasiakan terikat pada benang tridatu (merah, putih dan hitam), ujung benang yang satunya diikatkan pada dupa yang tidak dinyalakan dengan jarak tidak terlalu panjang, kemudian ujung dupa ditancapkan di tanah agak miring sehingga uang kepeng tampak menggantung dan berayun-ayun di atas kain putih, seperti pada posisi orang memancing di kolam. Uang kepeng dipegangi agar tidak bergoyang atau berputar. Setelah uang kepeng diam dan tidak bergerak, Pinisepuh menyuruh semua untuk duduk tenang dan mengambil sikap meditasi. Semua membawa dupa yang dinyalakan.

Segenap yang hadir duduk dengan tenang. Pinisepuh mulai melakukan meditasi dan mengucapkan mantra-mantra dengan suara mendesis. Anggota Paguyuban dan panitia disuruh untuk memperhatikan dengan sikap tenang. Uang kepeng mulai bergoyang-goyang dengan sendirinya. Tidak lama kemudian ujung-ujung kain putih bergerak-gerak naik turun serta seluruh kain tampak bergetar. Uang kepeng mulai berputar dengan cukup cepat di atas kain putih.

Pinisepuh bermeditasi semakin dalam dengan segenap mantranya. Uang kepeng putarannya melambat akan tetapi kain di tengah areal sudah terbang di atas tanah kira-kira setinggi 10 centimeter. Kain tersebut ujung-ujungnya bergerak dan juga seluruh kain bergerak-gerak seperti irama ombak laut dari berbagai arah. Suasana menjadi mencekam dan sebenarnya menciptakan perasaan takut bagi anggota Paguyuban dan panitia yang berada dalam areal pagar gaib. Bunga-bunga yang berada di tengah kain banyak yang sudah berjatuhan ke tanah sementara kain putih masih mengambang di udara.

Angin di sekitar tempat penarikan Pusaka Mirah Delima sangat dingin dan membawa suasana yang sangat mencekam. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 00 tetapi Pinisepuh belum memberi tanda-tanda kapan dan di mana sebenarnya Mirah Delima akan muncul. Uang kepeng kembali bergoyang dengan cepat. Pinisepuh memerintahkan untuk menyalakan dupa lagi kepada anggota Paguyuban. Pada saat dupa ditancapkan ke tanah, tiba-tiba kain tersebut jatuh ke tanah karena ada sesuatu jatuh di atasnya dan membuat kain tersebut tidak bisa terbang lagi. Diberati oleh sebuah benda. Salah seorang anggota Paguyuban yang kebetulan melihat , mengatakan bahwa benda tersebut memang tampak seperti jatuh dari langit.

Pinisepuh berhenti melakukan meditasi. Tetapi tampak mulutnya seperti komat-kamit berbicara dengan sesuatu yang tidak kelihatan. Uang kepeng diambil dan ditaruh pada tempatnya. Kemudian kain tersebut dilipat serta membungkus benda yang muncul tersebut. Pembersihan dan pencabutan pagar gaib pada lokasi penarikan pusaka dilakukan dengan upacara yang semestinya. Setelah itu Pinisepuh dan yang lainnya ke tempat suci melakukan persembahyangan yang semestinya sampai selesai. Semua yang hadir dalam prosesi tidak dapat menyembunyikan rasa penasaran yang sangat tinggi serta pandangan mata, semua menuju pada Pinisepuh.

Akhirnya, kain pembungkus benda Pusaka itu dibuka dihadapan semua yang hadir. Isinya adalah sebuah benda mirip cangklong tembakau jaman dulu. Pinisepuh melihat-lihat benda tersebut dan akhirnya menemukan sebuah biji berwarna merah di dalam cangklong tersebut. Tidak bisa dikeluarkan begitu saja dengan tangan. Pinisepuh mengorek-ngorek biji tersebut dengan tangkai lidi hingga jatuh ke kain di bawahnya. Setelah dipegang ternyata biji tersebut adalah lembek seperti jeli atau agar-agar. Tetapi kalau dijatuhkan mengeluarkan bunyi ‘tuk’ seperti benda logam yang jatuh.

Kemudian Pinisepuh memerintahkan seseorang untuk mengambil air kemasan dalam gelas. Setelah air tiba, dikeluarkan seluruhnya dari kotak, ditata sedemikian rupa agar berdekatan letaknya. Pinisepuh mengambil salah satu gelas dan merobek plastik tutupnya lalu memasukkan biji merah tersebut ke dalam gelas. Beberapa saat kemudian air dalam gelas menjadi merah dan diikuti oleh gelas-gelas yang lainnya. Biji diambil dari gelas tetapi air masih tetap merah. Pinisepuh sedikit tersenyum barangkali memberi tanda baik. Biji dimasukkan kembali untuk beberapa lama. Pinisepuh memberitahu pihak kampus UNHI yang tampak bersuka cita, bahwa akan ada semacam tes untuk meyakinkan bahwa biji ini benar-benar adalah Mirah Delima asli serta dengan kualitas yang sangat tinggi.

Sebelum mengambil biji dari dalam gelas Pinisepuh memerintahkan seseorang untuk mencari silet. Pinisepuh mengambil biji dari dalam air yang masih merah. Pinisepuh memerintahkan anggota Paguyuban dan yang lain kalau berminat untuk meminum air merah tersebut. Dalam sekejap air habis diminum. Pinisepuh kemudian mencoba memotong rambut anggota Paguyuban yang meminum air dari hasil rendaman dan ternyata rambutnya tidak bisa dipotong. Demikian juga dengan anggota Paguyuban dan yang lain semua mencoba memotong rambutnya tetapi tidak ada yang berhasil memotong. Kemudian Pinisepuh mencoba melukai dengan silet pada tangan salah seorang anggota Paguyuban tetapi ia menjadi kebal. Akhirnya semua yang minum air tersebut menjadi kebal. Sorak sorai dari yang hadir menyibak suasana mencekam beberapa jam yang lalu. Pinisepuh mengatakan bahwa yang meminum air tersebut akan kebal dari senjata tajam selama 21 hari. Memang kenyataannya di hari ke 22 rambut bisa dipotong dengan gunting.

Tes berikutnya yang akan dilakukan untuk mengetahui Mirah Delima tersebut benar-benar berkualitas adalah dengan memanggilnya pulang dari rumahnya, yaitu cangklong. Seseorang dipanggil oleh Pinisepuh dan diberi Mirah tersebut, kemudian Mirah dimasukkan ke dalam saku orang tadi lalu disuruh untuk keluar dari areal kampus sampai ke jalan raya. Setelah lewat hampir 30 menit, Pinisepuh membisikkan sesuatu ke mulut cangklong. Tidak lama kemudian Mirah Delima kembali ke rumahnya. Tiba-tiba berada dalam canklong. Suara gembira dan tepuk tangan mewarnai pagi di kampus UNHI pada saat tersebut.

Semua yang hadir bergembira atas keberhasilan Pinisepuh menarik Pusaka Mirah Delima yang ada di Kampus UNHI, Denpasar. Mirah Delima tersebut sekarang terpasang di pererai sakral UNHI. Secara Niskala, penunggu atau yang menjaga Pusaka Mirah Delima tersebut masih menjaga di sana agar Mirah Delima tidak diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Bersambung...
...mahluk gaib tertentu mempunyai kemampuan untuk menutup jalan skala... bagi yg baru terbuka penglihatan mata ketiga hati-hati...

Sabtu, 19 September 2009

Pinisepuh 4 – Pengalaman Magis

Saya kenal dengan Pinisepuh belum terlalu lama tetapi kesan yang saya dapat sebagai pencari kebenaran niskala, menempatkan Pinisepuh sebagai salah satu pelaku spiritual dengan kemampuan tinggi di Bali. Seperti telah saya tulis bahwa Pinisepuh adalah kaki tangan Awatara, menurut kami anggota Paguyuban Dharma Giri Utama. Sebagai seorang manusia biasa tentulah penilaian adalah dasar untuk memutuskan. Bukti dan fakta adalah ukuran yang sangat diperlukan dalam mengambil keputusan. Di sisi ego terkadang memerlukan atraksi dan bukti untuk mengakui seseorang sebagai yang patut ditempatkan sebagai guru penuntun. Terkadang saya dan teman-teman di Paguyuban, masih memerlukan bukti-bukti untuk mempercayai seseorang yang katanya wikan atau waskita. Saya akan menceritakan pengalaman orang-orang tentang Pinisepuh dan juga pengalaman saya bersama Pinisepuh, tentu yang sudah mendapat ijin dari Pinisepuh. Seperti saya katakan, banyak hal tidak bisa diungkapkan ke dunia skala karena terbentur ‘perjanjian suci’. Saya termasuk beruntung karena mendapat restu untuk mendengar dan beberapa mengalami cerita-cerita yang jauh dari pemikiran manusia biasa. Pengalaman-pengalaman tersebut membuat saya yakin bahwa Pinisepuh memang kaki tangan Awatara.

Pratima muncul beberapa hari setelah Pinisepuh mengatakan hal tersebut...

Kemunculan Pratima Ganesha Kala
Saya mempunyai teman namanya Gung Aji Mangku dari Negara, Batuan, Gianyar. Beliau bercerita bahwa suatu hari di Pura Merajan Gung Aji muncul sinar terang dari angkasa dan ada banyak orang yang menyaksikan kejadian tersebut. Sinar tersebut tidak langsung menyentuh tanah tetapi tepat berhenti didepan rong atau cangkem atau mulut Pelinggih Rong Tiga kemudian sinarnya membias ke segala penjuru arah. Kejadian ini disaksikan oleh anggota keluarga Gung Aji. Dalam satu kesempatan Gung Aji bertanya kepada saya, pertanda apakah sinar tersebut? Untuk mengetahui ini saya mengantarkan Gung Aji ke jeroan Pinisepuh lengkap dengan banten yang diperlukan.

Setelah segala ritual sudah selesai, Pinisepuh berkata kepada Gung Aji Mangku:

“Sinar tersebut ingin memberitahu bahwa Beliau Para Leluhur memang ada dan melinggih di Merajan. Tetapi saya ingin bertanya apakah ada paica dari Dalem, dan sekarang di mana paica tersebut?”

“Ah tidak ada paica di Jero apalagi paica Dalem”, kata Gung Aji.

“Pokoknya ada, dan bawa ke sini kalau sudah ketemu.”

Setelah kembali dari tempat Pinisepuh, Gung Aji mencari-cari dan akhirnya memang menemukan Keris yang diperoleh dari membeli tetapi memang penjual bilang itu adalah keris paica Dalem. Juga ada alat untuk mengambil Tirta, semacam sendok tirta yang terbuat dari bahan perak tetapi saat itu tidak bisa diambil karena ditaruh di sangku tempat tirta dan tirtanya membeku seperti dodol.

Beberapa hari kemudian saya kembali mengantar Gung Aji ke jeroan Pinisepuh. Menunjukkan keris yang ditemukan. Ternyata keris itu memang benar seperti apa yang dimaksud oleh Pinisepuh. Kemudian Pinisepuh berkata:

“Sebentar lagi pasangan dari keris paica Dalem tersebut akan muncul dan datang ke jeroan Gung Aji. Silahkan amati kejadian-kejadian khusus barangkali membawa petunjuk tentang paica yang akan datang tersebut”.

Masa sih paica bisa datang sendiri?, pikir kami saat itu penuh dengan tanda tanya. Tetapi akhirnya memang dalam dua minggu paica tersebut datang dibawa oleh seseorang yang mengaku panjak dari Bangli. Cerita orang tersebut, sejak memiliki Pratima tersebut selama sepuluh tahun hidupnya tidak karuan. Keluarga sakit-sakitan, pekerjaan sering gagal dan akhirnya hutang sana sini untuk biaya sakit dan biaya hidup. Sampai mendapat petunjuk untuk membawa paica tersebut ke jeroan Gung Aji Mangku.

Kembali kami mengunjungi Pinisepuh dengan membawa paica tersebut. Sesampai di jeroan, Pinisepuh tertawa kecil bahwa itulah paica yang dimaksud.

Paica ini adalah sebuah Pratima dan namanya adalah Ganesha Kala. Di muka perwujudannya adalah Ganesha dan di belakang adalah Kala. Sepanjang Pinisepuh mengetahui bahwa pratima seperti ini baru ada satu yang muncul yaitu sekarang ada di Puri Ibu Majapahit yaitu di Puri Gading Jimbaran, adalah Puri tempat Brahma Raja Hyang Suryo beristirahat kalau ke Bali. Dan sekarang Gung Aji Mangku mendapat satu lagi. Ini berarti baru ada dua di Bali. Kegunaan dari Pratima ini adalah untuk mengusir penyakit niskala atau non medis dan juga untuk meruwat atau buang sial. Bahkan tirta asuannya bisa untuk memagari rumah agar tidak mudah dimasuki oleh sakit-sakit kiriman atau sakit non medis. Pinisepuh meminta kepada Gung Aji Mangku bahwa kedua paica tersebut ditinggalkan dulu di jeroan Pinisepuh untuk di Pasupati.

Kami kembali ke Jeroan Gung Aji Mangku. Kemudian Gung Aji Mangku masuk ke dalam ruang suci dan mendapati bahwa tirta yang tadinya membeku seperti dodol, sekarang sudah cair seperti sediakala. Suatu keanehan sudah terjadi!

Keampuhan Ganesha Kala
Beberapa hari kemudian, salah satu kakak ipar bertanya, apakah saya ada mengetahui seorang Balian atau yang bisa mengobati sakit non medis karena Balian langganannya sedang tidak bisa... Akhirnya kembali saya mengantarkan kakak ini ke jeroan Pinisepuh. Sampai di sana ternyata kakak ini memang sakit dan sudah sangat parah karena kena ‘cetik ceroncong polo’. Keluhannya seperti migrain atau sakit kepala sebelah dan sering kumat. Kalau tidak diobati dengan serius sakit ini bisa membawa kematian. Itu kata Pinisepuh.

Setelah sembahyang, Pinisepuh mengeluarkan keris dan pratima kepunyaan Gung Aji Mangku, memohon agar sakit kakak ini bisa disembuhkan. Dengan tirta dari asuan pratima Ganesha Kala dan keris tersebut sebagai media yang disentuhkan ke ubun-ubun kakak ipar, tak berapa lama kemudian kakak ini tidak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama. Kemudian Pinisepuh mengambil tirta dan menyiratkannya ke seluruh tubuh kakak. Tidak lama setelah itu kakak bangun dan tentu kaget karena tidak menyadari kalau baru saja ia tidak sadarkan diri.

Sebelum pulang, Pinisepuh berkata kepada kakak ipar. Mudah-mudahan sembuh ya, nanti akan ada paica yang datang yang berguna untuk jaga diri. Dalam waktu dua minggu memang paica berbentuk batu perhiasan datang dan sekarang telah dipakai sebagai cincin. Sakit yang sama dan pernah diderita jarang datang mengganggu. Sakit tersebut tidak mau disembuhkan total oleh Pinisepuh karena masih ada rahasia keluarga yang tidak boleh diungkap karena ini semacam karma dari masing-masing yang harus dijalani dulu. Sakit akan sembuh sendiri sejalan dengan tingkatan pengabdian spiritual. Sejak itu kakak ipar ini disarankan untuk lebih sering melukat di mana saja untuk membersihkan diri skala niskala. Lebih rajin meningkatkan diri pada spiritual.


Ada orang ngaku-ngaku keturunan Mpu Gandring
Pada suatu hari di Puri Ibu Majapahit datanglah dua orang pemuda dari Karangasem yang melihat-lihat Pusaka dari Majapahit yang dipajang dan dipamerkan untuk umum. Salah seorang dari pemuda tersebut sangat antusias dengan salah satu keris yaitu keris Mpu Gandring. Dari lagaknya ia adalah seorang yang tampak paham sekali dengan barang Pusaka. Orang yang sangat paham sekali dengan Keris Pusaka Mpu Gandring karena membicrakan bentuk dan rupa dari Keris Mpu Gandring.

Menurutnya keris hasil karya dari Mpu Gandring adalah keris yang bentuknya sempurna karena dikerjakan oleh seorang Mpu yang khusus mengerjakan keris sepanjang hidupnya. Mungkin dalam pandangan pemuda tersebut, Mpu Gandring menciptakan keris untuk para Raja masa keris seperti ini dipajang di Puri Ibu dan disebut-sebut sebagai keris Mpu Gandring.

Pemuda tersebut akhirnya mengaku bahwa Dia adalah salah satu keturunan dari Mpu Gandring di Bali dan mengatakan bahwa Pusaka Keris Mpu Gandring yang dipajang di sini adalah palsu. Masak barang palsu dipajang di sini, di Puri Ibu Majapahit. Pemuda yang mengaku keturunan dari Mpu Gandring tersebut mengatakan ciri-ciri keris Mpu Gandring harusnya pekerjaannya sangat halus dan indah tidak seperti Pusaka yang dipajang di sini jelek dan bentuknya biasa saja. Bahkan tidak ada Yoni-nya.

Pemuda tersebut berbicara keras-keras seolah mencari Perhatian. Pada saat itu di sana ada Hyang Suryo, Pinisepuh, pengempon Puri Ibu Majapahit dan beberapa anggota Paguyuban Dharma Giri Utama yang memperhatikan tingkah laku sang pemuda. Sebenarnya pemuda tersebut sangat kelewatan berbicara kurang halus seperti begitu. Jiwa muda Pinisepuh tidak suka mendengar lagak bicara yang menurutnya tidak sopan di tempat seperti di Puri. Apalagi di sana ada Hyang Suryo, Brahma Raja Majapahit.

Pinisepuh mendatangi kedua Pemuda yang tampak semakin sombong tersebut. Menceritakan perihal dirinya yang keturunan langsung dari Mpu Gandring kepada Pinisepuh yang saat itu Agung Yudistira adalah seorang pemuda yang dalam pandangan awam adalah orang biasa dan sederhana. Tentu saja pemuda tersebut semakin angkuh saja tampaknya. Tetapi akhirnya Pinisepuh berkata:

“Apa benar Anda ini adalah keturunan langsung dari Beliau Ida Mpu Gandring?”.

“Tadi kan saya sudah ceritakan siapa saya. Dan saya katakan Keris Mpu Gandring ini palsu,” kata pemuda tersebut.

Kemudian Pinisepuh mengambil dua keris. Yang satu adalah Keris Pusaka Mpu Gandring dan diberikan kepada pemuda tersebut. Sedangkan keris yang satunya dipegang oleh Pinisepuh dan berkata kepada pemuda sombong tersebut:

“Kalau Anda benar keturunan langsung dari Ida Mpu, maka harus mempunyai kemampuan Beliau juga. Salah satu kemampuan Beliau adalah menguasai logam dengan baik sehingga menciptakan keris tidak dengan api tetapi cukup seperti ini...” Pinisepuh membengkok-bengkokkan keris yang dipegangnya. Melihat besar dan tebalnya saja tidak mungkin melakukan itu dengan tangan kosong. Semua yang hadir menyaksikan kemarahan Pinisepuh. Kemudian keris yang sudah dibengkok-bengkokkan tersebut dikembalikan kembali utuh seperti sediakala.

“Sekarang silahkan Anda lakukan dengan keris tersebut...” Pinisepuh mempersilahkan kepada pemuda tersebut yang telah memegang Keris Mpu Gandring. Tetapi pemuda itu hanyalah diam dan merasa sangat malu. Hyang Suryo berkata, bahwa sebenarnya tidak usah seperti itu mereka cumalah anak-anak yang cari sensasi dan tidak membahayakan Pusaka yang ada. Biar nanti pada saatnya mereka mengerti sendiri apa sujatinya Pusaka Majapahit. Tetapi dalam penilaian saya, Pinisepuh tidaklah salah karena jaman sekarang barangkali harus ada sedikit atraksi agar orang-orang percaya.

Seperti sudah dijelaskan bahwa Pinisepuh adalah orang terpilih, Beliau terkadang diberi kuasa untuk memanfaatkan ilmu yang dimiliki Leluhurnya bilamana merasa perlu asal tidak melanggar ‘perjanjian suci’.


Paica Meru Tumpang Selikur
Salah satu dari anggota Paguyuban menceritakan kepada saya bahwa sebelum bertemu dengan Pinisepuh kehidupannya sangatlah kacau. Kesehatannya sangat buruk dan Rumah Sakit seperti rumah keduanya. Disamping kesehatan yang buruk, teman ini juga merasa tidak disukai oleh saudara-saudara iparnya. Kalau pulang kampung selalu dimusuhi dan setelah kembali ke Denpasar maka sakitlah yang Dia bawa dari kampung.

Suatu hari Dia dikenalkan oleh salah satu saudaranya yang lain kepada Pinisepuh. Alangkah kasihannya Pinisepuh dengan teman ini karena ternyata ia sakit-sakitan lantaran kena dikerjai oleh seseorang yang barangkali tidak suka dengannya. Akhirnya teman ini diobati dan sembuh kemudian tekun sekali mengikuti saran-saran Pinisepuh, hingga pada suatu hari mendapat petunjuk harus tangkil ke Pura Ulun Danu di Soongan, Kintamani. Di Pura Ulun Danu, melalui Pinisepuh bahwa teman ini akan mendapatkan Paica suatu hari nanti dan akan muncul di suatu tempat di rumahnya.

Dengan perasaan yang penuh dengan rasa penasaran, teman ini selalu mencari-cari dimana kiranya Paica tersebut akan muncul dan hingga pada suatu hari, teman ini mendapati sesuatu di atas canang di pelangkirannya. Setelah diperhatikan dengan baik ternyata Paica tersebut menyerupai bentuk Meru dengan tumpang 21 atau selikur. Kemudian menurut Pinisepuh, bahwa Paica tersebut merupakan anugrah yang sangat hebat. Dalam dunia Balian siapa yang tidak mengenal dengan istilah Balian Batur yang sangat sakti. Maka Paica Pratima Meru tumpang selikur adalah pelindung yang sangat hebat untuk menangkal mejik atau ilmu hitam.

Seorang saudara mengaku bisa...

Pada suatu hari, sebelum pulang kampung teman ini memohon Tirta dari asuan Paica. Sesampainya di kampung Dia ditemui oleh seorang keluarga perempuan yang serta merta sangat hormat kepada teman ini dan mengaku bahwa ia bisa mejik dan lidahnya sudah dirajah... demikian seterusnya pengakuan dari saudara-saudara yang bisa lainnya tersebut. Bahkan di waktu-waktu berikutnya, teman ini hampir tidak pernah lagi mengalami gangguan kesehatan.


Mantra sakti
Pinisepuh sering mengajak beberapa nggota Paguyuban untuk bersembahyang ke suatu pura di Bali. Terkadang hanya mengisi acara saja biar ada kegiatan. Tetapi lebih sering adalah merupakan suatu petunjuk.

Sebenarnya kegiatan ke pura tersebut diperuntukkan lebih kepada anggota Paguyuban dan bukan untuk Pinisepuh. Juga sebenarnya Pinisepuh waktu di pura hanyalah duduk-duduk dan bercakap-cakap dengan penghuni Niskala pura dan Para Leluhur yang melinggih di sana. Saya menafsirkannya seperti begitu karena setiap kali habis mengunjungi sebuah pura sudah menjadi kebiasaan kami selalu bertanya: “Gung, ada apa tadi di sana?”.

Pernah suatu hari kami ke pura Besakih malam hari dan bersembahyang di areal pelinggih Ida Bhatari Ratu Mas Magelung dan Ida Ratu Syahbandar. Setelah ditanya, apakah Beliau Ida melinggih, dijawab dengan tidak. Kalau tidak apakah kebaktian kita diketahui? Tentu saja karena Beliau maha tahu dan juga sudah ada ancangan atau semacam petugas Beliau yang menggantikan kalau Ida sedang me-Yoga.

Pernah pada hari purnama, Pinisepuh memilih beberapa orang anggota Paguyuban untuk diajak tangkil ke pura Majapahit di GWK. Saat itu saya adalah anggota baru di Paguyuban. Kami bersembahyang sebagaimana seharusnya. Dan pada saat malam sudah pada puncaknya yaitu pada jam 00, Pinisepuh duduk dengan serius di Ajeng pelinggih. Semua yang hadir diminta untuk mengambil sikap sembahyang atau meditasi. Tak lama kemudian Pinisepuh mengucapkan mantra-mantra yang aneh dan tidak pernah saya dengar sebelumnya. Pada pertengahan mantra hampir semua yang hadir mengalami kerauhan. Dapat dihitung dengan jari yang tidak megalami kerauhan.

... yang menderita sakit berteriak ...

Demikianlah fenomena mantra yang diucapkan oleh Pinisepuh. Dalam kerauhan tersebut ada beberapa jenis prilaku. Yang pertama ada yang menggelepar-gelepar, ada yang menari-nari, ada yang duduk tetapi cuma tangan yang bergerak-gerak membentuk sikap mudra sambil mulut mengeluarkan suara Omm..... Yang paling aneh adalah yang menangis meraung-raung, menjerit dan berguling-guling di lantai pura serta berteriak sakiiiit... sakiiiit....

Anggota Paguyuban yang sadar diminta untuk mengawasi yang kerauhan. Setelah beberapa saat, Pinisepuh dan Bikuni menyiratkan Tirta untuk menyadarkan. Tetapi yang berteriak sakit, untuk sementara dibiarkan karena Bikuni dan Pinisepuh akan melukat orang sakit ini untuk dikeluarkan sakitnya.

Yang terakhir, salah satu anggota Paguyuban mempunyai masalah yang sangat berat. Mempunyai sakit bebainan dan diceritakan bahwa yang mengirim katanya adalah saudara ipar dan yang menyakiti masih nenek dari suaminya. Nenek tersebut sekarang berada dalam tubuh teman yang sakit ini dan ia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Menurut pengakuan nenek tersebut, sebenarnya ia sudah tidak betah tinggal di tubuh teman ini karena sering mebakti ke pura-pura hingga nenek tersebut merasa panas. Tetapi tidak bisa keluar dan sudah seperti lengket di tubuh teman yang sakit ini.

Pertempuran yang sengit terjadi antara anggota Paguyuban yang sudah senior dengan nenek tersebut. Nenek tersebut malah makin menantang dan mengatakan bahwa dirinya adalah leak inan sakti dari Negara, ayo lawan... hihihi ayo lawan nira... hihihi.... jeritnya membuat bergidik yang berada di pura. Beberapa anggota Paguyuban memegangi nenek tersebut. Nenek tersebut tampak lemah, dan dengan maksud agar cepat keluar dari tubuh teman ini, anggota Paguyuban membopong ke tempat pelukatan.

Tetapi begitu dilukat dan Tirta mengenai kepala, kembali teman ini menjerit: “Ayo lawan nira... inan leak nenenan tusing taen ada ngalahang.... hihihihi..... “. (ayo lawan saya, leak ini belum ada yang bisa mengalahkan) ia merota-ronta, tangannya menuding-nuding anggota Paguyuban.

Suasana benar-benar sangat mencekam saat itu karena di kejauhan terdengar suara anjing yang meraung ‘ngulun’ suara tertawa nenek ini bergema di antara bukit padas GWK. Kejadian ini berulang beberapa kali. Setiap dilukat menjerit lagi. Anggota Paguyuban seperti sudah kehilangan akal dengan ini sampai akhirnya ada juga yang kerauhan suaranya seperti raksasa “grehh....heheheh... “ bergetar. “Pesuang iban nyi... pesu... heheheh greheheh” seraya mencekik leher nenek tersebut.

Tetapi akhirnya, Pinisepuh berteriak dengan lantang:

“Manusa sakti, Nira Dalem Sidakarya, kenken lakar pesu apa tusing uli ditu?” (Manusia sakti, Saya adalah Dalem Sidakarya, bagaimana mau keluar apa tidak dari sana?)

“Tulungin, tulungin tiang, sebenerne dot sajaan pesu uling pidan tapi ten mersidayang.” (Tolong, tolong saya, sebenarnya ingin sekali keluar tapi tidak bisa). Nenek itu tidak berani menatap Pinisepuh yang sudah kerasukan Ida Dalem Sidakarya.

Di sudut lain, Bikuni juga mengalami kerauhan dan mengeluarkan suara anak-anak. “Enak ya, makanan di kampung, enak ya makanan di kampung. Kalau pulang lagi makan semua makanan, enak...” Kira-kira seperti itu kata-kata yang diucapkan Bikuni. Seperti memberi tahu bahwa sakit teman ini dikirim dari makanan.

“Cakupang tangane, ngacep ring Ida Bhatara!” (Cakupkan tangan dan nyembah ke Ida Bhatara). Kata Pinisepuh yang sudah dirasuki Ida Dalem Sidakarya.

Akhirnya nenek mengambil sikap menyembah, memohon: “Pakulun Ida Bhatara, ampurayang titiyang.... tiyang jagi mepamit....” (Mohon ampun Ida Bhatara, maafkanlah saya, saya mau pamit). Selesai berkata begitu, maka teman ini jatuh lunglai tak sadarkan diri lebih dari setengah jam.

Sementara Pinisepuh dan Bikuni sadar dengan sendirinya. Saat dibopong ke tempat melukat kembali kami was-was jangan-jangan menjerit lagi. Bikuni mengambil tirta dan menyiramkannya ke kepala teman ini. Aman tidak terjadi apa-apa dan malah teman ini bertanya: “Nak engken nenenan?” (apa-apaan ini), merasa dikerubuti dan dipegangi rame-rame teman ini merasa aneh dan ternyata dari tadi Dia tidak sadarkan diri sama sekali.

Dalam perjalanan pulang saya bertanya kepada Pinisepuh perihal sakit tadi di pura. Memang sakit seperti teman itu akan sangat sulit kalau diobati oleh manusia sakti biasa karena nenek tersebut orang sakti dan juga sudah meninggal serta sakitnya masih berada pada tubuh seseorang.

Bersambung...
Pinisepuh menarik Pusaka Mirah Delima dari alam Niskala di UNHI

Rabu, 16 September 2009

Pinisepuh 3 - Keris berloncatan

Perjalanan Pratima dan Pusaka Majapahit ke Bali

SKB mentri telah menutup kegiatan ritual di Pusat Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Ini berarti umat Ciwa Budha tidak bisa menghormati Leluhur mereka di Pusat Majapahit. Oleh karena ini, Brahma Raja Hyang Suryo sudah memikirkan tindakan selanjutnya guna melestarikan Budaya Leluhur yaitu dengan memindahkan Pratima dan Pusaka ke Bali, karena Bali adalah pusat Leluhur serta dalam pandangan Niskala, Bali adalah pusat Niskala Dunia.

Atas dasar perkenan dari Leluhur, kemudian Hyang Suryo melaksanakan petunjuk memindahkan Pratima dan Pusaka Majapahit tersebut ke Bali. Pemindahan Pratima dan Pusaka Majapahit ke Bali dilakukan dengan dua cara: yang pertama lewat darat dan yang kedua lewat udara. Karena Pinisepuh adalah salah satu dari umat yang mendapat titah dari para Leluhur maka mendapat tugas untuk ikut dalam prosesi pemindahan Pratima Leluhur dan Pusaka Majapahit ke Bali.

Hyang Suryo dan Pinisepuh yang membawa Pratima serta Pusaka berikut lewat darat:
  1. Pratima Ibu Tribuwana Tungga Dewi
  2. Pratima Hyang Wisesa atau Prabu Jayasabha
  3. Pratima Gajah Mada
  4. Pratima Raden Wijaya atau Prabu Jayabaya
  5. Pratima Ibu Dewi Gayatri
  6. Pratima Ibu Dewi tangan seribu yang berkaki ikan sebagai simbol dari Ibu Dewi Gangga.
  7. Keris Mpu Gandring
  8. Keris Gajah Mada
Tidak ada halangan dalam perjalanan dari Mojokerto ke Banyuwangi. Setelah sampai di ketapang, atas petunjuk, Beliau para Leluhur Pratima dan Pusaka tidak boleh disebrangkan dengan menggunakan kapal laut. Akhirnya Hyang Suryo dan Pinisepuh menyebrang dengan Perahu dari Ketapang ke Gilimanuk Bali.

Keris Mpu Gandring dan Keris Gajah Mada dibawa oleh Pinisepuh. Sedangkan Pratima dibawa oleh Beliau Hyang Suryo. Yang sering menyebrang dari Bali ke Jawa tentu tahu, bahwa, Selat Bali adalah selat berarus deras. Ombak yang kecil adalah ombak yang lumayan besar bagi sebuah perahu kecil. Akan tetapi air laut bagai air danau saat tersebut karena menurut Pinisepuh, salah satu keris diacungkan ke angkasa untuk menenangkan ombak sehingga ombak menjadi sangat tenang.

Sama halnya dengan Pratima dan Pusaka yang lewat udara yang terdiri dari 50 tombak, 30 Pedang diantaranya Pedang Arya Damar, Pedang Ganesha, 25 Keris beserta bermacam-macam Pratima lainnya, sampai di Denpasar tanpa masalah sedikitpun. Kemudian semua Pratima dan Pusaka yang melalui udara atau naik pesawat setelah sampai di Denpasar, dibawa ke Gilimanuk untuk dipersatukan bersama Pratima dan Pusaka yang lewat darat.

Pratima ke Negara
Dari Gilimanuk rombongan pembawa Pratima dan Pusaka menuju ke Pura Majapahit Negara. Di Pura Majapahit Negara, Pinisepuh mendapat petunjuk dari Ratu Gede Dalem Majapahit untuk memberikan keris Sapu Jagat ke Pura Majapahit Negara. Sekarang Keris Sapu jagat menjadi Pajenengan dan disungsung oleh segenap lapisan masyarakat Negara.

Pratima ke Buleleng
Dari Negara, rombongan kemudian menuju Pura Majapahit Sukasada, Buleleng. Hyang Suryo mendapat petunjuk untuk menaruh Pratima Ganesha, Keris Ganesha dan Pratima Budha. Karena selama ini diketahui dalam pelaksanaan upcara di Pura tersebut hanya menggunakan kober dan umbul-umbul saja untuk mengenang dan memuja Leluhur.

Mengapa Pratima Ganesha, Keris Ganesha dan Pratima Budha ini harus diberikan ke Pura Majapahit, Sukasada, karena berkenaan dengan lambang Kabupaten Buleleng yaitu Singa Ambara Raja, di mana Singa Ambara Raja adalah kendaraan dari Sakyamuni atau Sang Budha. Juga karena ajaran yang berkembang di Buleleng pada masa-masa lalu lebih kepada Budha. Sebagai bukti bahwa di Buleleng tidak ada Petapakan Barong sebagai ciri khas dari ajaran Ciwa. Serta bukti lainnya adalah dengan ditemukannya Tapak Kaki Buda di Buleleng.

Pratima Ke Pura Jagatnatha Denpasar
Dari Buleleng, Pratima dan Pusaka menuju ke Pura Jagatnatha Denpasar. Setelah sampai di Pura Jagatnatha rombongan disambut oleh World Hindu Youth Organisation (WHYO) yang dipimpin oleh Dr Shri Arya Vedakarna, Juga dari Puri, termasuk Ida Cokorde Jambe Pemucutan yaitu Raja Denpasar, banyak Sulinggih juga Barongsai dari Konco Dwipayana Tanah Kilap.

Kemudian Pratima dan Pusaka nyejer di Pura Jagatnatha. Pada saat nyejer tersebut terjadi keanehan, yaitu, Pratima Ganesha Kala (depan adalah rupa Ganesha dan bagian belakang adalah rupa Kala) didatangi oleh Keris dan Tombak yang muncul sendiri dari alam niskala. Hyang Suryo mendapat petunjuk bahwa keris dan tombak tersebut adalah pasangan dari Ganesha Kala yang berguna untuk melakukan peruwatan. Membersihkan dan melukat manusia maupun jagat.

Dari sekian umat yang hadir ada seorang wanita bernama Ibu Eka yang mengalami kerauhan dan mendapat petunjuk untuk ngaturang Pakelem di Sanur. Hyang Suryo setuju untuk ngaturang Pakelem akan tetapi harus naik Dokar ke Sanur.

Keanehan yang terjadi saat upacara pakelem
Setelah segala keperluan Yadnya siap, rombongan berangkat ke Sanur. Pinisepuh berada di salah satu Delman. Entah petunjuk dari mana tiba-tiba sebuah keris yang dipegangnya ditarik dari sarungnya dan dhunuskan ke udara. Saat itu juga secara serentak semua rombongan yang mebawa keris mencabut keris dari sarungnya dan menghunuskannya ke udara. Termasuk Hyang Suryo. Yang tidak membawa keris dupa pun jadi. Pokoknya semua berpose seperti menghunuskan keris ke udara. Kaki kuda bagian depan semua naik ke udara dan membuat heboh suasana. Kejadian ini terjadi beberapa menit seperti kerauhan bersama tetapi hanya mengacung-acungkan keris saja sampai akhirnya harus dihentikan oleh Hyang Suryo. Setelah suasana kembali normal, perjalanan ke Sanur dilanjutkan.

Sesampai di Sanur, sampan sudah siap membawa banten pakelem ke tengah laut. Pratima Ganesha yang akan dipersembahkan sudah pula siap. Tetapi setelah di tengah laut Ibu Eka kembali mengalami kerauhan dan berkata jangan Pratima Ganesha yang dipersembahkan untuk pakelem. Karena tidak ada petunjuk lain maka akhirnya hanya banten saja yang di persembahkan.

Upacara penyambutan Pratima dan Pusaka di Pura Jagarnatha sudah berjalan baik dan sukses. Pratima Ganesha yang sedianya dihaturkan untuk Pakelem akhirnya dilinggihkan di puncak candi atau angkul-angkul di Puri Ibu Majapahit, di Puri Gading Jimbaran.

Setelah Pratima dan Pusaka tiba di Puri Ibu Majapahit, semua dilinggihkan dan ditempatkan di tempat semestinya. Tak lama kemudian diadakan Piodalan di Puri Ibu Majapahit, Puri Gading Jimbaran.

Keris berloncatan dan bergetar


Pinisepuh di depan Ruko Purigading Jimbaran

Saat Piodalan di Puri Ibu Majapahit, Pratima Ibu Dewi Kwan Im dan Pedang Naga yang melinggih di Jeroan Pinisepuh dipendak atau lunga ke Puri Ibu Majapahit. Sesampainya Pratima dan Pedang Naga di Puri Ibu Majapahit, terjadi keanehan, yaitu semua keris kecil sampai sedang yang berada di tempat penyimpanan Pusaka berloncat-loncatan setinggi lebih kurang 20 centimeter. Sehingga Pak Ketut salah satu juru sapuh di Puri Ibu Majapahit harus mengikat keris-keris kecil tersebut agar tidak berloncatan. Sedang keris dan pedang yang berukuran besar semua bergetar menimbulkan suara ribut. Akhirnya upacara besar yang dihadiri Sulinggih dan Raja Denpasar berjalan sukses.

Pratima yang disakralkan
Pratima dari Majapahit Trowulan beberapa disakralkan dan tidak boleh ditunjukkan ke masyarakat luas dan disimpan di tempat yang sangat rahasia oleh Brahma Raja Hyang Suryo.

Sedang Pratima Ibu Tribuwana Tungga Dewi dan Hyang Wisesa atau Prabu Jayasabha dilinggihkan di Jeroan Pinisepuh. Akan tetapi saat saya ingin melihat Pratima tersebut Pinisepuh tidak dapat menunjukkan Pratima Beliau karena sangat sakral. Bahkan, Istri Beliau juga tidak tahu di bagian rumah yang mana Pratima tersebut disimpan. Pada akhirnya Pinisepuh memberitahu bahwa saat ini Pratima dilinggihkan di Niskala atau di alam gaib dan sewaktu-waktu kalau perlu petunjuk dan berkomunikasi baru diwujudkan ke skala atau ke dunia nyata. Sebenarnya ada beberapa Pratima yang di-Niskala-kan oleh Pinisepuh tetapi biarpun cuma nama, Pinisepuh sangat merahasiakan. Pada saatnya nanti akan diberitahu, demikian katanya.

Bersambung........
Pengalaman magis: Keris Mpu Gandring dibengkokkan dengan tangan... Pinisepuh juga mendapat Penugrahan kemampuan Mpu Gandring.

Selasa, 15 September 2009

Pinisepuh 2 – Kaki Tangan Awatara

Dalam perjalanan mencari pembimbing spiritual, banyak sekali mengunjungi para Penekun. Beliau-beliau adalah orang-orang hebat dan juga sangat menyenangkan. Terkadang saya juga menemukan bahwa Beliau para Penekun ngiring Sesuhunan tertentu atau Ida Bhatara. Kebanyakan yang mereka iring adalah Tabik Kulun, Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped atau Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling yang melinggih di Pura Dalem Ped, Nusa Penida. Jarang sekali saya menemukan bahwa seorang Dasaran ngiring sesuhunan lebih dari satu Ida Bhatara. Tetapi Pinisepuh adalah ‘ngiringan’ banyak sekali Ida Bhatara. Mengapa? Karena Pinisepuh adalah seorang keturunan Raja yang terpilih untuk mengemban suatu tugas di Bumi Nusantara bersama-sama dengan Brahma Raja Hyang Suryo.

Raja-raja jaman Majapahit adalah Awatara dari para Dewa. Agung Yudistira adalah salah satu keturunan dari Beliau-beliau dan telah terpilih untuk mengemban suatu tugas dan misi kebangkitan Ciwa Budha. Pinisepuh berkomunikasi dan bisa melihat Beliau. Apakah Pinisepuh adalah salah satu dari kaki tangan Awatara yang ada di Bumi Indonesia?

Pinisepuh sebenarnya tidak ingin menjadi orang yang terkenal atau dikagumi. Tetapi saya sebagai umat, yang bertemu Beliau karena sakit niskala menahun, dan sembuh, ingin juga kewikanan Beliau diketahui umum karena banyaknya masalah kesehatan dan niskala yang sangat rumit di Bali.

Saya, maaf, merayu Beliau untuk mau diekpos ke dunia luar. Akhirnya Beliau setuju bahwa saya menulis semacam biographi singkat untuk Pinisepuh dengan harapan masyarakat Bali pada khususnya memahami bahwa di Bali ada manusia wikan salah satunya Pinisepuh yang barangkali setara dengan kemampuan Dalai Lama di Tibet yang mampu berkomunikasi dengan Dewata dan meneropong. Kenapa aset sedemikian berharga ini tidak dilibatkan dalam urusan skala dan niskala di Bali dalam skup lebih luas dan bukan segelintir individu? Selama ini teman dekat saja yang minta tolong kepada Pinisepuh karena diibaratkan dokter, Pinisepuh tidak buka Praktek.

Adalah hal yang sangat menarik untuk menceritakan siapa sesungguhnya Pinisepuh. Kisah Beliau akan saya ceritakan sebatas yang boleh diceritakan.


Kisah pertemuan dengan Brahma Raja Hyang Suryo
Pada suatu hari Ida Bhatari Ratu Niang Sakti memberi petunjuk kepada Pinisepuh untuk tangkil ke Pura Majapahit di Imam Bonjol, Denpasar. Setelah tangkil ke Pura Majapahit, di sana Pinisepuh mendapat petunjuk untuk tangkil ke Pura Luhur Sandat yang masih di kawasan Imam Bonjol di mana di Pura tersebut ada petapakan Tapel Barong milik dari Prabu Jayasabha atau Ida Hyang Wisesa.


Pinisepuh dan Hyang Suryo

Di Pura tersebutlah Pinisepuh bertemu dengan Brahma Raja Hyang Suryo. Sebelumnya secara gaib, Ida Bhatari Ratu Niang Sakti sudah menceritakan siapa sejatinya Beliau Hyang Suryo. Setelah tiba di pura, Pinisepuh didekati oleh Hyang Suryo, seperti sudah saling mengenal. Mereka ngobrol dan mengisahkan tentang Majapahit sampai jam 12.30 malam. Sampai diujung pertemuan pertama Hyang Suryo berpesan kepada Pinisepuh bahwa nanti pada Purnama Kapat 2004 akan muncul Pratima-pratima satu persatu yang datang dari Beliau para Leluhur dan harus diempon oleh Pinisepuh Agung Yudistira di Jeroan.


Sejarah singkat Leluhur Pinisepuh
Mpu Bradah -> mempunyai anak Mpu Bahula -> menurunkan Mpu Tantular (pencipta Pancasila) -> menurunkan Mpu Soma Kepakisan -> menurunkan Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan -> menurunkan Satria-satria Dalem dan salah satunya adalah Tegeh Kori.

Karena melakukan kesalahan Tegeh Kori dibuang dari Puri yang kemudian dipungut oleh Arya Kenceng (Raja Tabanan) dan menjadi anak angkat Sang Prabu. Saking sayangnya dengan ayah angkatnya Arya Kenceng, Tegeh Kori sering memakai nama Arya Kenceng Tegeh Kori.

Sebelum Tegeh Kori dibuang, Ayahandanya berpesan, kelak keturunan dari Tegeh Kori boleh memakai gelar Dalem yaitu Dalem Benculuk. Melihat ini berarti Pinisepuh mempunyai darah Brahmana dari Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan dan darah satria dari Arya Kenceng. Dalam arti didikan ayahanda angkatnya yang seorang Arya.

Kewikanan dari Kedua Leluhur sepertinya mengalir ke dalam diri Pinisepuh. Tidak bisa saya ceritakan pengalaman-pengalaman Beliau di sini karena tidak sembarang orang boleh tahu karena juga terbentur ‘perjanjian suci’.

Kemunculan Pratima
Pratima adalah manifestasi Beliau Ida Bhatara. Bentuk Pratima adalah patung kecil, yang sebenarnya adalah sebuah potret 3 dimensi Beliau. Atau wujud Beliau berupa patung yang terbuat dari macam-macam bahan. Bisa batu dan terkadang juga keramik.

Satu Pratima terkadang juga dihuni oleh beberapa Roh Leluhur. Pengertian ini baru saya dapatkan waktu napak tilas ke Puri Majapahit di Trowulan. Di saat kembali dari Trowulan saya merasakan bahwa Pratima yang kami bawa ‘lunga’ waktu kembali tidak dihuni oleh Satu Roh Beliau. Dengan demikian Pratima bisa diartikan juga sebagai sebuah kendaraan yang bisa dimuati beberapa orang. Pinisepuh mengatakan bahwa bisa memang seperti itu.

Pada suatu hari saya mengajukan pertanyaan bodoh. “Gung, kok pelinggih itu kecil apa Ida Bhatara rumahnya di sana?” Pinisepuh ketawa. “Bli, ibaratnya pelinggih itu tempat duduk Pejabat. Kalau Bli menghadap pejabat ia duduk di sana. Juga kalau Bli maturan ibaratnya Beliau datang dari kahyangan dan duduk di pelinggih tersebut.” Menurut Pinisepuh, Pratima juga hampir seperti itu cuma Pratima berbentuk patung perwujudan dari Beliau Ida Bhatara, dan terkadang, Beliau yang lain bisa ikut, atau numpang di Pratima tertentu kalau belum memiliki Pratima sendiri untuk bisa ‘lunga’ pada saat di-pendak ke suatu Pura.

Akhirnya, saat-saat yang dinanti penuh antusias dan penasaran, sesuai dengan petunjuk langsung yang diberikan oleh Brahma Raja Hyang Suryo, bahwa pada Purnama kapat tahun 2004 Pratima-pratima, katanya akan segera mulai berdatangan. Pertanyaan Pinisepuh waktu itu, karena belum pernah tahu, bagaimana cara Pratima tersebut datang ke Jeroan?

Pratima Ida Bhatari Ratu Mas Magelung
Ini adalah Pratima yang pertama datang. Pratima Ida Bhatari Ratu Mas Magelung diantarkan sendiri olah Brahma Raja Hyang Suryo secara niskala atau gaib bersama seorang biksu yang juga gaib.

Adalah pengalaman yang sangat mengesankan karena Hyang Suryo adalah manusia yang masih hidup di dunia tetapi mengapa bisa datang dalam bentuk gaib. Tetapi bagi Agung Yudistira, ini semacam pertanda bahwa Sesuhunan-nya, Hyang Suryo ingin menunjukkan bahwa Beliau adalah bukanlah manusia kebanyakan. Beliau adalah seorang titisan Dewata juga seperti Raja-raja Majapahit lainnya. Pernah ditanyakan kepada Beliau namun jawabnya sangat sederhana, hanya sebuah senyuman arif menyejukkan.

Ida Bhatari Ratu Mas Magelung, di Besakih sering disebut Ida Bhatari Ratu Ayu Mas Magelung. Perwujudan Beliau sangatlah banyak. Kalau di Batur Beliau adalah Dewi Ulun Dhanu atau juga sering disebut Dewi Dhanu. Dalam Budha Beliau adalah Ibu Dewi Kwan Im yang welas asih dan maha penyayang, Beliau mempunyai 33 perwujudan yang akan diceritakan dalam kesempatan lain.


Pratima Ibu Dewi Yulan
Suatu hari Pinisepuh bertemu dengan pak Iwan di pura Majapahit Iman Bonjol dan seorang Pemangku yang nyunsung Ibu Dewi Kwan Im. Atas petunjuk Ida Bhatari Ratu Mas Magelung, Pinisepuh diperintahkan untuk mengambil Pratima Ibu Dewi Yulan dari rumah pak Iwan. Begitu diutarakan kepada pak Iwan, diijinkan begitu saja walau itu sudah disungsung turun temurun oleh keluarganya. Pak Iwan dari dinasti Li keturunan dari Dara Jingga, Eyangnya dulu merantau ke Buleleng Bali, dan juga Eyangnya masih ada hubungan dengan Hyang Suryo.

Pratima Ida Bhatara Mpu Kuturan
Pinisepuh mendapat petunjuk untuk mendak Ibu Dewi Yulan ke Pura Silayukti. Pratima dilinggihkan di sebuah ‘plangkiran’ dan sesampai di Pura Silayukti Pratima dilinggihkan. Tetapi pada saat mau pulang, di plangkiran ada 2 Pratima yaitu Pratima Ibu Dewi Yulan dan Pratima Ida Bhatara Mpu Kuturan yang baru muncul di Pura Perhyangan Beliau Ida Mpu Kuturan sendiri dan sejak saat itu Pinisepuh berkomunikasi dengan Beliau.

Tapel Sidakarya
Pada suatu hari, seseorang bernama Wayan Suta yang sedang sakit niskala datang minta tolong kepada Pinisepuh dan akhirnya memang sembuh. Dalam prosesi pengobatan itu Wayan Suta bertanya kepada Pinisepuh: “Agung, senang dengan tapel?” Pinisepuh menjawab “Ya tentu saja suka”. “Ya suatu saat nanti saya akan matur”, kata Wayan Suta.

Beberapa bulan kemudian, Wayan Suta ada upacara potong gigi dan mengundang Pinisepuh yang akhirnya datang juga ke tempat upacara. Pada saat upacara tersebut Pinisepuh bertanya perihal tapel yang dulu sempat dikatakan oleh Wayan Suta, dan serta merta Pinisepuh diajak masuk ke kamar suci Wayan Suta.

Ada beberapa tapel di sana dan Pinisepuh memilih satu topeng yang bagus. Akan tetapi tidak diijinkan karena tapel tersebut masih sering dipakai untuk menari. Kemudian tangan Pinisepuh menggapai tapel yang sudah agak tua. Tetapi Pak Wayan Suta sangat kaget, sebab yang dipilih adalah Tapel Sidakarya yang tidak boleh dimiliki oleh sembarangan orang.

Kemudian Wayan Suta menceritakan perihal bagaimana asal muasal tapel tersebut.

Tapel tersebut dulunya disungsung oleh Ratu Peranda di Grya Babakan. Tetapi tapel ini hilang dari Grya sudah beberapa tahun. Suatu hari Wayan Suta tangkil ke Grya dan melihat tapel di bawah pelangkiran dan kemudian ditunjukkan kepada Ratu Peranda yang kemudian kaget bahwa tapel tersebut adalah tapel yang hilang dulu. Karena sudah petunjuk bahwa tapel tersebut harus diberikan kepada yang menemukan, maka tapel memang diberikan ke Wayan Suta.

Wayan Suta membersihkan tapel tersebut tetapi pada saat membersihkan jari-jarinya terkena sesuatu dan luka. Setetes darah jatuh ke muka tapel. Ratu Peranda kemudian memberitahu Wayan Suta bahwa Ida memang sudah berkemauan atau mapikayun seperti itu. Wayan Suta kemudian diperintahkan untuk meneteskan darah tersebut sebanyak 11 kali sesuai petunjuk Ida. Tapel kemudian dicuci dengan air kembang serta beberapa hari kemudian dipasupati kembali oleh Ratu Peranda.

Sebelum membawa pulang Wayan Suta diberitahu kesakralan Tapel Sidakarya. Salah satunya adalah hanya pergina atau penari yang boleh memiliki tapel tersebut. Setiba di rumah, adik pak Wayan Suta sedang sakit dan menggigil. Iseng-iseng Wayan Suta ‘nunas asuan’ dari tapel Sidakarya dan ternyata sembuh. Tetapi adiknya beberapa hari kemudian sakit aneh dan setelah ditunaskan raos ternyata karena keberadaan tapel tersebut di rumah. Selain itu, Wayan Suta mendapat petunjuk raos bahwa harus ada upacara dan membuat kamar suci untuk menempatkan tapel tersebut.

Setelah beberapa tahun kemudian ternyata pak Wayan Suta menjadi seoarng pergina atau penari Topeng Sidakarya!.

Setelah mendengar cerita dari Wayan Suta, Pinisepuh tidak mengurungkan niatnya untuk meminta tapel Sidakarya tersebut. Akhirnya tapel Sidakrya dibawa ke Jeroan Pinisepuh. Sebelumnya sudah diwanti-wanti agar hati-hati merawat tapel karena sangat disakralkan. Tetapi karena Agung tidak mengenal siapa itu Dalem Sidakarya, tapel tersebut diperlakukan sebagai topeng pajangan dan ditaruh seperti meletakkan tapel sovenir dari Sukawati. Namun pada suatu hari Pinisepuh didatangi sosok yang mengaku Dalem Sidakarya dengan berkata:”...Nira Ratu Dalem...”. Tapi Pinisepuh tidak memperhatikan itu.

Pada suatu hari datanglah seorang saudara dari Singaraja dan minta tolong untuk diobati. Tetapi kemudian ia kerauhan dan memberitahu Pinisepuh bahwa tapel tersebut adalah Tapel Sidakarya dan nanti kalau odalan di Pura Tenget Pedungan, Tapel harus ‘lunga’ kesana. Pada saat itu Pinisepuh bilang, bahwa kalau memang benar ini adalah Ida Bhatara, tolong kalau odalan nanti biar banyak yang datang menolong karena dimana nyari biaya kalau harus dikerjakan sendiri.

Kenyataannya waktu odalan banyak sekali orang yang datang dan mau menolong membuat bermacam-macam banten, dan Beliau lunga ke Pura Tenget. Akhirnya tapel sudah melinggih di tempatnya, serta Jero Pemangku sudah mulai memantra. Suara bajra berdentingan. Tiba-tiba angin menjadi keras. Awan mendung. Dari atas langit secara niskala Pinisepuh melihat putaran angin pekat seperti tornado datang. Ujung angin yang berpusar tersebut menyentuh Tapel Sidakarya. Saat bersamaan ujung angin puting beliung itu menyentuh Tapel, Jero mangku membanting bajra yang tengah dipegang ‘ngeleneng’ dan Jero Mangku kerauhan. Lampu mati tiba-tiba. Langit mendung besuara gemuruh. Bunga api petir di angkasa tampak mencekam ditambah dengan suara prepet prepetnya. Suara anjing meraung-raung ngulun. Jero mangku dalam kerauhannya berkata: “Kenapa baru sekarang ke sini...”, setelah Jero Mangku berbicara begitu pemedek hampir semua kerauhan.

Dalam kerauhan tersebut, Jero Mangku bilang bahwa tapel harus lunga juga ke Pura Dalem Sidakarya. Setelah selesai odalan di Pura Tenget, tapel kembali ke Jeroan. Beberapa hari kemudian Jero Mangku dan beberapa pengempon pura datang ke Jeroan. Pinisepuh akhirnya mengatakan bahwa sebaiknya Tapel Sidakarya ditempatkan di Pura saja. Semua setuju dan lalu Pinisepuh menyerahkan secara simbolis tapel kepada Jero Mangku. Tetapi kemudian Jero Mangku kerauahan dan berkata: “Nira sing nyak ditu melinggih. Nira nak kayun dini melinggih. Kadong sing baange ape. Kadong aturine canang dogen.” (Saya tidak mau tinggal di sana. Saya ingin tinggal di sini. Biarpun tidak mendapat persembahan, biarpun cuma mendapat persembahan canang). Akhirnya Tapel sampai sekarang berada dan melinggih di Jeroan Pinisepuh.

Kemudian suatu hari dalam piodalan tapel berkesempatan tangkil ke Dalem Sidakarya. Setelah ditanya oleh Jero Mangku Dalem dari mana asal Pinisepuh yang dijawab dari Jero Agung Pengastulan, maka terjadilah cerita yang panjang. Diantaranya bahwa Pura Dalem Sidakarya dulu waktu dalam pembangunan Leluhur Tegeh Kori yang ikut membangun. Itulah barangkali alasan mengapa tapel Sidakarya ingin tetap dilinggihkan di Jeroan. Karena Leluhur dahulu saling berhubungan.

Pratima Ibu Dewi Kwan Im dan Dewa Bumi
Pratima Ibu Dewi Kwan Im muncul dengan sendirinya di Jeroan akan tetapi jauh hari sebelum kemunculan Pratima Beliau, Pinisepuh sudah diberi petunjuk. Karena diberi petunjuk, Pinisepuh menyiapkan tempat untuk menyambut kedatangan Beliau.

Akhirnya Ibu Dewi Kwan Im datang dan muncul di tempat yang telah disediakan. Kedatangannya disertai dengan Pedang Naga yang kemudian diketahui adalah milik dari Dewa Bumi. Dan beberapa bulan kemudian Beliau Dewa Bumi juga muncul di Jeroan juga di tempat yang sudah disediakan.

Ratu Syahbandar
Ibu Dewi Kwan Im memberi petunjuk kepada Pinisepuh bahwa kalau ada odalan di Pura Dalem Pengembak Sanur agar dipendak Kim Sin Ibu Dewi Kwan Im atau Pratima Beliau ke Pura.

Pada bagian ini saya sudah menjadi angota Paguyuban. Saya ikut dalam prosesi mendak Ibu Dewi Kwan Im ke Pura Dalem Pengembak dan mendak Beliau Ibu Dewi ke Pelinggih Ratu Tuan di Pura Dalem Pengembak.

Besoknya setelah odalan di Pura Dalem Pengembak, Ratu Syahbandar muncul sendiri di Jeroan. Demikianlah untuk pertama kali saya menyaksikan sendiri kemunculan Pratima yang seolah-olah datang tiba-tiba.

Pratima Prabu Airlangga dan Cerita Pura Majapahit di Areal Wisata Garuda Wisnu Kencana (GWK)
Pinisepuh sebagai kaki tangan Awatara yang dianugrahi penglihatan dan kemampuan berkomunikasi dengan Beliau Ida Bhatara, juga menerima beban tugas yang salah satu tugas Pinisepuh adalah mewujudkan cita-cita Ciwa Budha dan Budaya agar lestari. Akhirnya Pinisepuh mewujudkan pura Majapahit di GWK, yaitu ceritanya sebagai berikut:

Pada suatu waktu, Hyang Suryo mendak Pratima Prabu Airlangga ke salah satu Ruko di GWK. Saat itu Hyang Suryo mendapat ijin untuk menempati salah satu Ruko di GWK. Pinisepuh saat tersebut juga berada di ruko GWK dan mendapat petunjuk untuk melakukan meditasi di belakang ruko di tempat pura Majapahit sekarang.

Pinisepuh bermeditasi bersama 3 orang lainnya di padang ilalang belakang ruko atas petunjuk Ibu Dewi Kwan Im. Pada saat meditasi tersebut Hyang Suryo dan orang lainnya yang berada di ruko menyaksikan ada api yang menyala sebesar drum minyak tanah. Pada saat yang sama Pinisepuh mendapat perintah untuk membuka mata dari Ibu Dewi Kwan Im dan begitu membuka mata, di hadapannya, yaitu di tempat api menyala menurut kesaksian dari teman-teman di ruko ada Pratima Prabu Airlangga muncul. Ukurannya lebih kecil dari yang dipendak Hyang Suryo di ruko. Pratima ini kemudian dibawa dan dilinggihkan di Jeroan sampai dengan sekarang.

Di tempat kemunculan Pratima Prabu Airlangga tersebutlah sekarang didirikan candi pemujaan ke Majapahit. Juga menjadi Pura Ciwa Budha yang dipimpin Bikuni dan seorang Pemangku.

Pratima Ganesha
Pratima Ganesha muncul secara gaib di Jeroan Pinisepuh. Pada saat bersamaan dengan kemunculan Pratima Ganesha, Hyang Suryo mendapat petunjuk untuk nedunkan Pratima dan Pusaka Majapahit Trowulan ke Bali karena pada saat tersebut Puri Ibu Majapahit Bali di Puri Gading Jimbaran sudah hampir selesai dikerjakan.

Perlu diketahui, bahwa Pusat Majapahit Trowulan ditutup oleh SKB Mentri dan umat Hindu atau Ciwa Budha tidak diperkenankan melakukan kegiatan ritual dalam bentuk apapun di sana. Ini membuat umat Ciwa Budha terpukul karena tidak boleh bersembahyang memuja Leluhur di sana. Akhirnya Hyang Suryo memindahkan semua Pratima dan Pusaka penting ke Bali dengan membangun Puri Ibu Majapahit di Jimbaran.

Bersambung ....... Pinisepuh 3 - Keris-keris berloncatan setinggi +/- 20 cm dengan sendirinya...