Minggu, 02 Agustus 2020

SPIRITUAL - Ramalan Bali Sampai Dengan Desember 2020

Om Swastiastu,
Kita sudah di 100 tahun terakhir Kaliyuga. Artinya kita dalam proses eliminasi kehidupan. Cara bertahan hanya dengan mendekatkan diri kepada seluruh aspek semesta Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Santih, rahayu rahajeng jiwa-jiwa yang tenang.

Sabtu, 01 Februari 2014

TANTRA



Prana atau Chi
Adalah sinar putih terang keunguan pada ubun-ubun manusia yang disebut sinar Antahkarana. Warnanya indah gemerlapan tidak terlukiskan kata-kata. Ia masuk menembus wadag dan berujung pada tulang ekor , di bawah tulang ekor adalah letak dari chakra Muladhara atau chakra dasar.  Keadaan selanjutnya, api suci hidup pada inti dari chakra Muladhara. Api tersebut adalah api Brahma Chakra. Peristiwa ini terjadi pada saat pertama kali jantung manusia berdenyut di dalam kandungan sang ibu atau goa garbha.

Penciptaan manusia di awali dari penyatuan Lingga dan Yoni. Para wikan menamakannya 'Yoga Sutra' untuk memberi arti sakral dari persetubuhan. Bukan hanya terjadi dari proses Kama yang berkeinginan mutlak. Harus dibekali pengetahuan yang benar dari sastra yang disebut Moksha. Sebab kekuatan dari yoga sutra akan menciptakan keadaan penambahan materi baru di bumi yang disebut Artha. Hendaknya ada unsur dari kasih sayang yang disebut Dharma.

Selanjutnya, yoga sutra hendaknya didasari dari perkataan yang baik dari pikiran yang baik agar mendapatkan suatu keadaan perbuatan yang suci dan penuh kebaikan.  Untuk menciptakan suputra yang akan membawa amanah Sang Pencipta agar terjadi evolusi yang berkembang dan meningkat di alam semesta.

Guna Satwam, Rajas dan Tamas mengikat sang Roh di dalam tubuh manusia yang tercipta karena dimaterialkan oleh sifat sejati dari ilmu Tantra. Tubuh yang mengandung empat puluh kadar tubuh, yang paling mulia adalah logam mulia dan batu mulia. Dalam bentuk murni dari batu mulia adalah Mustika Dewa. Dalam sejarah manusia hanya Aswatama yang diceritakan mendapat Restu Mustika Dewa sebab pada jaman Beliau sedang terjadi suatu sejarah Awatara Krisnha yang turun ke bumi sehingga pandangan para sastrawan menulisnya sebagai bentuk sastra dalam Weda.

Apah, Teja, Bayu, Pertiwi dan Akasa adalah Air, Api, Angin, Tanah dan Eter adalah unsur pembentuk tubuh manusia yang disebut Panca Mahabhuta atau lima elemen spiritual. Roh terikat dengan Panca Mahabutha karena ketiga sifat dasar Triguna. Setelah materi terbentuk sebagai wujud, unsur dari empat puluh kadar tubuh yang sebenarnya adalah sifat kimia yang ditemukan manusia yang mana sebenarnya dalam peradaban bangsa Cina telah dikelompokkan sebagai lima elemen yaitu tanah, air, api, kayu dan logam yang saya sebut sebagai lima elemen bumi. Sesungguhnya elemen api yang tidak bisa diciptakan dalam proses alam sebab api adalah dasar dari semua keadaan dan keberadaan. Demikianlah Dewa Brahma yang menguasai proses penciptaan memulainya dari unsur api. Dewa Wisnu memberinya zat cair dan Dewa Siwa memberinya ruang. Ruanglah yang tidak terbatas dan tidak  mampu ditembus oleh batas pandangan manusia yang belum sempurna. Munculah sastra yang disebut Kandha Pat Bhuta yang sebenarnya artinya adalah kandha=arah, pat=empat, dan bhuta=tidak diketahui ujungnya dan harus ditembus oleh manusia dengan cara meningkatkan kesadaran dari unsur pencipataan baik lima elemen spiritual dan lima elemen bumi.

Penopang pergerakan dari semua yang berwujud dan tak berwujud adalah prana, untuk manusia melalui sinar Antahkarana prana masuk ke dalam tubuh. Selanjutnya dalam berkembang, prana menjadi lima guna sesuai dengan berkembangnya Tantra. Para Leluhur dan Guru memberitahu akan maksud dari adanya prana di alam semesta. Siapa Leluhur? yaitu Ibu dan Bapak dan semua Roh dan berbagai Arupa yang tak lagi berwujud dan terbentuk serta yang terkait dengan keberadaan Bapak dan Ibu. Sesungguhnya inilah rangkain DNA yang diketahui oleh manusia jaman Milenium ini. Rahasianya terbungkus dan hidup oleh prana, orbs salah satu bentuk prana yang berhasil diabadikan kamera modern.

Siapa Guru? Siapapun dan apapun yang memberi pengalaman penting dalam proses mengetahui dan maha mengetahui adalah guru. Tetapi Guru Mahakoala adalah Guru sejati yang tertinggi dalam menjabarkan suatu bentuk kesetiaan. Pada jaman munculnya Awatara adalah muncul para Guru Mahakoala dan satu diantara para Guru adalah Awatara.

Apa Awatara? Bukan apa Avatar tetapi siapa Avatar atau Awatara?. Beliau adalah wujud manusia dengan membawa kekuatan restu maha tinggi dan sekaligus membawa suatu kekuatan kutukan. Adalah turunnya Dewa menjadi manusia dengan sengaja ke bumi karena suatu misi dalam suatu komunitas bahkan trah dan ras dari suatu manusia. Untuk menangani dan menjaga klimaks dari suatu penghancuran entitas di bumi oleh dirinya sendiri.

Kekuatan yang dibawanya adalah semua kekuatan para Dewa. Dewa yang mana? Dalam pendalaman arti kata yang dimengerti manusia, masih membedakan kekuatan alam semesta hanya dari nama Dewa. Bukan Brahma, Wisnu atau Siwa, sebab penamaan adalah suatu pandangan sempit dalam pengertian kekuatan. Awatara bisa sebagai Dewa yang mana saja, karena semua kekuatan para dewa dibawanya lahir. Kutukan yang dibawa adalah;  menderita sebagai manusia biasa sebab semua kesengsaraan didengarnya dan di alaminya. Bukankah Awatara Krisnha wafat karena panah dari seorang pemburu?. Awatara tidak pernah merasa nyaman sebab semua frekwensi masuk ke dalam keberadaannya sebagai wujud material. Manusia lain mengenalnya sebagai manusia biasa dan hanya orang yang mempunyai budi dan roh tua mendapat kesempatan dekat dan setia sebagai abdinya dalam berbagai keadaan. Suka, duka, lara, pati dialami Awatara.

Beliau mengelabui manusia licik, curang, serakah, tidak berbudi dalam pandangan materi dan alam duniawi. Para Bhatara Kawitan sesungguhnya berlomba-lomba menitipkan keturunanNya agar mendekati Awatara dengan maksud agar para keturunan dari trah dan DNA mengalami perbaikan evolusi. Sebab evolusi manusia adalah tujuan utama dari kehidupan manusia. Pada jaman Kali adalah sistem kesemestaan akan mencapai putaran penyetaraan atau sifat dinamisme Mandala Swastika akan menjadi konsepsi Yin dan Yang yaitu keseimbangan dari proses evolusi.

Turunnya Awatara mengawasi keseimbangan prana di alam bumi dengan kuantitas dan kualitas tertinggi. Yang sudah tidak bisa dipertahankan kembali pada proses penyetaraan rendah, mengalami kehancuran dari berbagai cara yang telah dipilihnya. Mati dengan perbuatannya. Sedang yang mampu menyerap prana akan mendapat restu dari sang Awatara.  Meningkat dalam berbagai aspek kesadaran. Api sebagai dasar proses penciptaan menjadi besar di chakra Muladhara dan prana yang masuk dari sinar Antahkarana diolah di chakra pusar atau chakra Manipura yang berunsur air. Kekuatan api Brahma Chakra semakin besar dan sinarnya meluncur ke atas menuju ubun-ubun adalah letak dari chakra mahkota atau Sahasrara. Hiduplah kekuatan dari Bhur Bwah dan Swah di dalam diri. Swah adalah kekuatan dari Eter yang wujud sesungguhnya semua dari Panca Mahabhuta.

Filsafat Untuk Mencapai Moksha dan Konsep Penciptaan Kembali. Penciptaan berarti:
  1. Bertumbuh dengan ikatan dan aturan.
  2. Menjaga semuanya teratur dan melindungi semua ciptaan dari ketidakteraturan adalah bisa dilakukan dengan menjaganya.
  3. Membagi Dunia makro dan menjadikannya dengan bentuk mikro adalah samhara (penghancuran).
  4. Dan menjaganya hingga penciptaan yang berikutnya adalah Thirodhana Sankalpa (mengalami kemunduran, atau Kembali). Keempat proses ini saling berhubungan.
  5. Yang paling akhir dan paling Utama adalah  Anugrah (berkah suci, restu) yang membebaskan persembahan mukti (pembebasan).

Hanya Dewa Siwa yang mampu memberikan anugrah atau berkah. Kebebasan untuk mencapai mukti (pembebasan, moksha) semuanya terlahir dari bumi.

Hanya dengan Air semuanya bisa tumbuh.
Hanya melalui Cahaya dan kehangatan mereka akan pergi.
Hanya dengan Udara dan ke dalam udara mereka akan hilang.
Hanya pada Pertiwi kehidupan itu tampak nyata.
Hanya Akasa yang nyata yang berarti ia dengan wujud Dewa Siwa.

Untuk menjalankan kelima fungsi dan konsep ini, Dewa Siwa memiliki Lima wajah.
Sementara Dewa Brahma dan wisnu menciptakan dan menjaga. Penghancuran dan penarikan Kembali penciptaan dilakukan oleh dewa Rudra dan maheswara. Di Bali Dewa Rudra manifestasinya adalah Ratu Gede Mas Mecaling yang dikenal sebagai Ratu Gede Dalem Ped.

Jadi Dewa Siwa mampu melakukan tugas semua itu, kelima fungsi itu.

Tapi karena Dewa Siwa adalah wujud Tuhan itu sendiri, maka Dewa Siwa adalah yang disebut Acintya; tak bertugas, tak terpikirkan dan tak terbayangkan karena wujudnya Rudra, Maheswara dan Iswara. Wujud yang sama itu disebut (Vesya), tempat duduk yang sama (asana), kendaraan yang sama (wahana). Jadi itulah sifat maya Dewa Siwa dan keAgunganNya.

Pinisepuh: Kamis, 21/06/12

Kesaktian dan Sidhi Tertinggi
Adalah sifat Kiwa yang mewakili sinar biru yang muncul dari chakra yang baru muncul pada saat api Brahma chakra hidup di chakra Muladhara. Adalah sifat Tengen yang mewakili sinar merah dari titik chakra yang bersumber dari kelopak bunga sisi kanan dari chakra Muladhara. Kekuatan Kiwa adalah disebut dengan Shakti yang muncul karena olah tubuh dengan yoga dan meditasi. Sedang kekuatan Tengen adalah Sidhi yang dicapai dari laku budhi tinggi yang mumpuni. Shakti adalah kekuatan murni yang ada di dalam tubuh sedangkan Tengen adalah restu dan berkah dari para Dewa. Sifat dua kekuatan ini adalah dualisme, karena sifat dari unsur manusia yang masih membawa sifat Triguna.  Kesadaran tertinggi akan tercapai dari dua kekuatan tersebut manakala manusia mampu mengikatnya dengan sabuk prana yang dalam 'Kaweruh Siwa Budha', disebut sebagai Dodot. Mengikat semua unsur kimia yang ada di alam semesta agar berperan sesuai dengan sifatnya. Saling melengkapi dan tumbuh pada tempatnya.

Yoga adalah perbuatan yang baik sedang meditsi adalah pikiran yang baik, kata-kata yang baik adalah tidak menjadi halangan kalau sudah berbuat baik dan berpikir baik dengan melakukan meditasi. Dalam meditasilah sesungguhnya manusia menjalankan titah Trikaya Parisudha.  Dalam meditasi sempurna, sinar dari chakra Dasar menuju ke alam Akasa sedangkan sinar Antahkarana yang membawa prana menuju chakra Muladhara. Kekuatan Akasa dan Pertiwi akan bertemu di chakra Anahata. Dalam pencapaian penyatuan yang sempurna, pertemuan setara dari dua sinar ini memurnikan sifat dari semua unsur kimia yang dinamakan kadar tubuh. Pada saat kejadian itu, atau manusia yang mencapai keadaan itu akan menyadari bahwa sang atman adalah Brahman pada manusia. Ia telah mencapai Karuna Budhi yaitu perpaduan kekuatan Shakti dan Shidi. Penyatuan dua kekuatan ini disebut Dharma. Inilah yang disebut sebagai Wisesa. Wisesa ini terjadinya di alam Bwah pada tubuh manusia.

Hakekat tertinggi dari pencapaian yang harus dicapai manusia adalah Dharma. Hanya orang yang telah mengerti hakekat Dharma yang akan mencapai kebebesan, mukti atau moksha. Sesungguhnya Trihita Karana adalah dasar dari semua pencapaian. Ingatlah, Atman pada manusia adalah Brahman. Menghormati setiap yang memiliki pengertian; sabda, bayu dan idep adalah mutlak.

ILMU TANTRA
Saya telah menceritakan sebagian kecil dan penting dari suatu penciptaan dan pencapaian evolusi.  Mantram penghormatan kepada Sang Penguasa Sastra, salah satu baitnya mengatakan:

OM KAWYAM WYA KARAYA TARKAM
WEDA SASTRA PURANAKAM
KALPA SIDHINI TANTRANI
TWAT PRASADAT SAMARABET

Hyang Saraswati yang menggubah berbagai ilmu filsafat, baik dari Weda atau Purana. Namun kekuatan dari waktu yang sudah pasti hanya bisa ditembus dengan ilmu Tantra agar bisa menemukan jalan pulang atau 'Sangkan Paraning Dumadi'. Hanya ilmu Tantra yang sempurna bisa menemukan kandha pat butha. Demikianlah sekurang-kurang yang bisa digali dari pengertian yang bodoh.

Pengetahuan tertinggi dari semua Weda adalah Tantra. Tetapi keberadaan ilmu Tantra ini sangat rahasia hanya manusia dengan budhi tinggi yang telah mengalami, mampu menceritakan. Itupun sebatas dari hal yang boleh diceritakan, oleh karenanya ilmu Moksha tidak akan pernah ada di dunia sebagai sebuah sastra utuh sebab terputus manakala manusia yang telah mencapainya menjadi paham bahwa semua itu akan terus menjadi rahasia sampai batas budhi pekerti tertinggi bisa tercapai. Saat itu terjadi adalah di jaman Kali atau Kali Yuga.

Baiklah, saya akan mengupas suatu proses lahir sampai mencapai moksha. Pinisepuh dan juga Leluhur  yaitu Hyang Mpu Kuturan, menganugrahkan Intsari dari Ilmu Tantra sebagai suatu pengertian.

Adalah saya dititipkan oleh Bhatara Kawitan Pasek Gelgel untuk mengabdi kepada Pinisepuh yang bergelar Bhatara Raja Wilatikta XIV yang juga Trah Majapahit dari garis Hyang Wisesa atau Ida Prabu Jayasabha. Selanjutnya Bhatara Raja mengajarkan saya berkomunikasi dengan para Dewa. Sesungguhnya, saya tidaklah pernah diajari sesuatu oleh Bhatara Raja yang saya hormati sebagai Maha Guru, hanya dengan sebuah senyuman dan pandangan mata tajam dan  hanya dengan sebuah sentuhan di titik rahasia, kemampuan itu telah diturunkan. 'Eki, Gea, Evi, Edys', Bhatara Raja berkata tanpa suara. Saya mendengarnya dengan sangat jelas. Demikianlah Ilmu Tantra, tidak diajarkan tetapi diturunkan. Selanjutnya saya dititahkan untuk belajar sastra dari Hyang Mpu Kuturan di Perhyangan Ida di Silayukti. Anugrah yang saya peroleh adalah Ilmu Sangkan Paraning Dumadi atau jalan menuju pulang, yang saya tahu kemudian adalah Ilmu rahasia untuk mencapai Moksha.

Manusia lahir dengan sinar Antahkarana yang hanya sebesar rambut dibelah seratus untuk roh yang baru. Roh tua yang telah beberapa kali reinkarnasi dan telah menjalankan dharma Leluhur bisa mencapai sebesar jari kelingking yang bersangkutan, bahkan ada yang lebih. Semakin besar sinar Antahkarana, semakin besarlah prana yang masuk ke dalam tubuh manusia. Prana ini kemudian diolah di Tantien yaitu tiga jari dibawah pusar. Prana berguna untuk menopang seluruh proses kehidupan. Salah satunya mengolah makanan dan minuman menjadi nutrisi untuk kehidupan manusia. Kalau masih ada sisa prana, maka akan dipergunakan untuk menjaga seluruh organ tubuh. Kalau semua sel dan seluruh bagian tubuh fisik sehat, kalau masih ada sisa prana maka prana tersebut terpakai untuk membersihkan organ non fisik yaitu; tiga nadi utama. Kiwa, Tengen dan Wisesa atau Ida, Pinggala dan Sushumna.

Hyang Mpu Kuturan kemudian menganugrahkan Ilmu nafas Brahma Chakra dan kemudian Meditasi Karuna Budhi dianugrahkan oleh Ibu Dewi Kwan Im. Bhatara Raja kemudian menambahkan berbagai yoga untuk mempercepat perkembangan organ spiritual. Dengan setia menuruti titah Bhatara Raja dan juga atas restu Bhatara Kawitan, karena olah nafas Brahma Chakra dan meditasi Karuna Budhi, chakra Muladhara telah berkembang sempurna. Bhatara Raja kemudian menganugrahkan kebangkitan Kundalini fase I yang disebut Tirtha Amrtha. Pencapaian yang sempurna dari fase ini adalah menikmati berbagai kemakmuran. Sedang yang belum sempurna, kebangkitan Kundalini fase I akan membantu menyempurnakan organ phisik agar mencapai kesehatan dan perkembangan organ spiritual. Selanjutnya, beberapa bulan kemudian dengan bhakti yang dianggap setia, Bhatara Raja menganugrahkan kebangkitan fase II Kundalini yang disebut Bhuwana Langgeng yaitu manusia yang telah mencapai keadaan ini akan terbebas dari kematian karena bencana alam. Pada fase II Ular Suci Kundalini telah berbentuk, sementara pada kebangkitan fase I hanyalah berupa kabut asap putih. Hyang Mpu Kuturan kemudian mengamanahkan untuk membangun Perhyangan dari Sang Hyang Purohita karena saya telah mewarisi berbagai sastra penting untuk manusia di masa yang akan datang. Kemudian diamanahkan untuk melakukan Puja Mantra dengan beberapa Sulinggih di Purohita Pura dengan nama Puja Bhuwana Langgeng. Sang Hyang Purohita tak lain adalah Hyang Sabdapalon yang mana adalah Hyang Sadasiwa. Dalam pengertian tingkatan Para Dewa, Hyang Sabdapalon adalah Kakak dari Hyang Pasupati yang bestana di Gunung Semeru, Lumajang. Hyang Sabdapalon adalah Hyang Semar.

Hyang Semar berkata; bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur kamurkan mardik, yang artinya, merdekanya jiwa dan sukma. Jadi umat manusia dituntun oleh Beliau agar terlepas dari segala penderitaan dan mencapai moksha, mukthi atau kebebasan. Semar sebagai pralambang ngelmu gaib atau simbulnya alam gaib. Kasampurnaning pati. Beliau tidak akan pernah mati karena Beliau sudah mencapai kesempurnaan. Kemudian saya membuat bhisama Purohita, yang isinya; siapapun manusia yang ingin mencapai pencerahan, kebebasan, mukthi dalam olah spiritual tinggi hendaklah mohon restu kepada Sang Hyang Purohita. Pada masa jaman Majapahit Hyang Sabdapalon dikenal juga sebagai Sabdo Palon Noyo Genggong. Sabdo artinya:  pamuwus/pawisik, Palon : pikukuh kandang (penguat negara), Noyo : gebyar wajah (ulat) dan Genggong : langgeng tidak berubah. Bagi para pemimpin negara harus ingat yang namanya Sabdo Palon Noyo Genggong agar lahir batin bisa di empon oleh beliau agar negara ini maju gemah limpah loh jinawi. Beliau sudah distanakan di Purohita Pura sebagai Sang Hyang Purohita. Purohita maknanya adalah orang suci, pencerahan, Dewanya para Dewa, demikianlah Sabdo Palon Noyo Genggong, Hyang Sadasiwa yang menempati antara alis manusia, Trinetra atau mata ketiga, telah bangkit dari tidur selama limaratus tahun karena runtuhnya Kerajaan Majapahit. Memenuhi janjinya.

Selanjutnya Bhatara Raja memberi restu untuk mengajari murid dan membantu kebangkitan spiritual para abdi yang telah menunjukkan kesetiaan kepada Bhatara Raja dan para Dewa. Dengan bhakti yang serius dan tulus, serta taat menjalankan perintah Beliau saya mendapat anugrah kebangkitan Kundalini Fase III yang disebut Tri Netra yaitu semakin tajamnya penglihatan mata bathin dan mata phisik. Proses dari fase III adalah yang paling lama dan rumit dan harus mendapat restu dari para Dewa terutama Ida Bhatari Durga, penguasa kekuatan Kiwa. Pada fase ini, kekuatan dari unsur api telah dipahami yang ditunjukkan dengan kemampuan merubah molekul air mejadi minyak yang bisa menjadi api. Fase selanjutnya adalah membentuk kembali nadi wisesa. Pada saat inilah Bhatara Raja membakar nadi wisesa atau sushumna dan menciptakan nadi baru. Sebelum ini dapat dilaksanakan, harus mendapat ijin dari Bhatara Kawitan sebab proses ini adalah proses menghapus karma masa lampau dan selanjutnya telah mampu melebur karma dengan proses restu dari Bhatara Raja. Tidak lagi menanggung beban karma dari perbuatan masa lalu. Shakti dan Sidhi mendekati nyata. Dalam suatu yadnya mecaru di jeroan Bhatara Raja dan hanya dengan sarana sedrhana beserta  kelengkapannya; kelapa hijau, beras hitam, merah, putih dan kuning serta telur merah dan putih, seusai melakukan puja mantra dan puja caru, Bhatara Raja kemudian menguraikan sarana caru dan mengambil batu mirah dari sisa caru. Inilah kekuatan mantra yang dibarengi dengan Ilmu Tantra. Khusus untuk Tantra dalam mantra, Hyang Mpu Bharadah yang memberi anugrah. Hyang Mpu Bharadah adalah ahlinya Ilmu Tantra. Suatu masa yang akan datang, saya berusaha menulisnya hingga menjadi pakem Pinandita dan Brahmana agar bagaimana mantra itu menjadi Sidhi dan Sahakti dan berguna dalam berbagai puja kepada para Dewa oleh manusia.

Semua hal yang dialami dalam setiap proses anugrah peningkatan adalah suatu proses kimia dalam tubuh. Bhatara Raja melakukan pemurnian dari semua unsur tubuh yang tak lain adalah unsur kimia yang disebut empat puluh kadar tubuh. Di Timur adalah Kayu, di Barat adalah Logam, di Selatan adalah Api, di Utara adalah Air. Ini yang disebut dengan Kanda Pat atau arahnya ada empat. Yang bersifat panas adalah Tengen dan bersifat dingin adalah kiwa. Di pusat adalah panca warna, disanalah wisesa yang memutar kehidupan manusia pada kesadaran yang di bawah, di tengah dan di atas. Terkendali gerakannya manakla semua chakra berkembang. Bagaimana mengembangkan chakra? Demikianlah pertanyaan para murid. Jawabannya adalah menjalankan Tiga Dasar Dharma. Pahami Etika, Filsafat dan Ritual. Hyang Mpu Kuturan telah menganugrahkan bagan evolusi manusia yang sederhana seperti berikut:

 

Spirit adalah Jiwa, Ritual adalah lakon. Ritual didasari oleh Trikaya Parisudha. Trikaya Parisudha didasari oleh Catur Yoga. Filsafat adalah Ilmu dunia materi didasari oleh Catur Purusha Artha. Yang tertinggi dari yang tiga adalah Trihita Karana yang didasari oleh Tri Guna. Susah mencapai kebaikan kalau tidak mennyadari Atman dalam diri manusia adalah Brahman. Inilah ajaran tertinggi yang diajarkan oleh Hyang Mpu Kuturan dan Bhatara Raja agar bisa mencapai Mukthi, pembebasan dari terbelenggu Kanda Pat Butha. Manusia hendaknya menjalankan Tiga Dasar Dharma. Andaikan mampu menjalankannya, dialah ujung dari arah itu sendiri. Dialah pusat dari yang di tengah. Yang paling rendah dari yang di bawah namun yang tertinggi dari yang di atas. Inilah dasar dari Ilmu Tantra yang sangat rahasia. Dengan pemahaman dan lakon yang jelas, kimia tubuh berjalan baik. Komputer  dan software lancar dan semua plugin bekerja baik. Manusia diibaratkan komputer. Semakin tinggi speknya, semakin banyak software dan plugin bisa dijalankan. Saya mencari padanan sederhana, bahwa software adalah Tantra. Manusia adalah komputer yang menerima berbagai kemampuan software. Siapkanlah tubuh agar siap menerima software tercanggih yang ada. Unsur kimia tubuh yang sempurnalah media penerimaan Ilmu Tantra. Konsep ini yang akan mendasari lahirnya keyakinan baru yang disebut Agama Budhi. Pedoman tentang mengembangkan kasih sayang, Dharma. Budhi adalah kasih sayang. Kesaktian yang tertinggi yang pernah dicapai pada jaman Budha Gautama.

Sedemikian banyaknya tulisan dalam Weda, manusia masa kini hanya terpaku pada Ritual, baiklah marilah melihat masa lalu mengenai 4 Yuga, mengapa orang sedemikian bangga dengan ritual pada jaman ini.

  1. Satya yuga, adalah masa kesadaran umat manusia akan Dharma (kebenaran, kebajikan, kejujuran) sangat tinggi. Budaya manusia sangat luhur. Zaman ini disebut juga ‘zaman keemasan’.
  2. Treta yuga merupakan zaman kerohanian. Agama menjadi dasar hidup. Tetapi orang-orang mulai berbuat dosa dan penjahat-penjahat mulai bermunculan.
  3. Dwapara yuga, manusia mulai bertindak rasional. Penjahat-penjahat dan orang-orang berdosa bertambah. Kelicikan dan kebohongan mulai tampak. Yang diutamakan pada zaman ini adalah pelaksanaan ritual. Asalkan mampu melaksanakan upacara, maka seseorang akan dihormati.
  4. Kali yuga, merupakan zaman kehancuran. Banyak manusia mulai melupakan Tuhan. Banyak moral manusia yang rusak parah. Hukum dan jabatan mampu dibeli dengan uang.
Sesuai dengan karakter pada masing-masing zaman, terdapat hal-hal yang diutamakan, yakni:
  1. Dhyana; bermeditasi, mengheningkan pikiran pada Satya yuga.
  2. Jnyana; belajar, memiliki pengetahuan pada Treta yuga.
  3. Yajnya; mengadakan ritual pada Dwapara yuga. Pada zaman ini, pelaksanaan ritual yang diutamakan.
  4. Dana; memiliki uang, memberi kekayaan, pada Kali yuga. Pada zaman ini, uang dan kekayaan yang paling diuatamakan.

Sekarang sudah di Kali Yuga, akan mudah jatuh dan bangkit. Yang kaya akan cepat miskin dan yang miskin akan cepat kaya. Yang bermoral runtuh dan penjahat menjadi orang yang disucikan. Di antara itu masih ada yang setia dengan amanah Leluhur dan membaktikan dirinya kepada evolusi manusia dan alam semesta. Demikianlah jaman Kali!

Tingkatan spiritual manusia berbeda untuk setiap diri. Dharma baktikan diri kepada para Dewa dan jangan berkianat kepada Leluhur. Ingat, Atman pada manusia adalah Brahman!

Penulis: JM Pasek Mukti Murwo Kuncoro

Senin, 08 April 2013

BAJRA WINARAH PITU - Dhang Hyang Sidhi Mantra



Taksunya hampir dilupakan pinandita

Seorang pertapa bersila tekun di kaki gunung Toh Langkir. Dihadapannya tujuh bajra berjejer mulai dari ukuran kecil hingga besar. Sebagian wujud pegangannya berukirkan para Dewa. Sang pertapa masih menunggu kesunyian bahtin. Bayangan putra satu-satunya yang telah menjadi seonggok abu mengusiknya.

Sesekali tampak perutnya mengembang, menyerap prana disekitarnya. Udara sisa dihembuskan melalui mulut dengan halus. Beberapa lama kemudian kembang kempis perutnya semakin halus, bagai nafas bayi yang baru lahir. Prana disekitar tempatnya bersila mulai deras mengelilingi tubuh sang pertapa. Sesekali ada petir halus memancarkan sinarnya di udara, ekor petir seukuran rambut dibelah sepuluh terkadang menyentuh tujuh bajra tersebut. Kurang terang dalam pengertian, halilintar yang menyambar bajra ataukah bajra menyemburkan halilintar.

Sang pertapa yang tak lain adalah Mpu Sendok sedang berduka. Putranya hangus disembur api naga Basuki yang marah karena ekornya dipotong Manik Angkeran. Hari ini Mpu Sendok melakoni adi lampah, ngojah para Dewa sejagat dan Leluhur. Intisari lautan Weda, warisan sastra Leluhur diselami selama hidup akan dikerahkan. Teguh bhaktinya kepada para Dewa, Leluhur serta kesetiaannya kepada Siwa Budha akan diuji. Naga Basuki telah berjanji, kalau ekornya dapat menyambung kembali, Manik Angkeran yang telah menjadi abu akan berwujud kembali seperti sediakala.

Udara Toh Langkir lebih dingin dari biasanya dikarnakan uleng manah, jnana, kekuatan pikiran sidhi lan shakti sang pendeta anunggal. Kekuatan kiwa dan tengen menyatu. Tiga pusat kehidupannya; bhur, bhuwah dan swah bersinar terang, memusat di ulu hati, pada chakra anahata, jantung. Intisari ajaran Siwa Budha telah menyatu di bathin sang Pendeta. Dalam relungnya, Beliau memahami hanya kekuatan budhi, karuna budhi, kasing sayang yang bisa melampaui keinginan. Bahkan para Dewa tidak bisa menghalangi keinginan manusia yang telah mencapai budhi pekerti tinggi.

Udara sekarang campur bawur. Kadang panas kadang dingin, membawa sifat kiwa tengen yang silih ganti. Nafas yang terhenti menciptakan panas karena prana tubuh diolah sempurna. Penarikan prana ke dalam tubuh mencipta dingin. Beliau seorang Mpu yang mumpuni, bathinnya kuat di dalam ajaran Siwa Budha.

Kali ini Sang Rudra ada di dalam hati, tepatnya bathin, Siwa wujud lain yang melakukan penarikan dan penghancuran penciptaan. Beliau akan memohon pelepasan dan penundaan proses penghancuran.

Tangan sang pendeta kemudian membentuk mudra padma di depan ulu hati. Puja mantra dengan kekuatan tantra telah mengalun lembut penuh kesedihan. Sinar ungu muda, terkadang merah muda, warna warni indah yang tak kasat mata menyelimuti tubuh sang pendeta. Petir halus semakin banyak biasnya pada tujuh bajra dihadapannya, sungguh pemandangan membuat takjub, sebab kemudian, bajra terangkat bagai dimainkan sinar petir, dikendalikan kekuatan bathin sang pendeta. Tujuh bajra mulai berdenting halus nadanya yang kukira adalah gambang, tembang lagunya para Dewa.

Isi alam semesta tergugah, Bhatara turun kabeh, Mulai dari Dewa Agung sampai Paratman berdatangan dari berbagai penjuru semesta, terusik dengan teguh bhakti dan puja mantra sang pendeta. Bumi bergetar tiada bencana. Hujang angin petir membawa kedamaian. Rumput tumbuh mendahului musim. Semua kehidupan merasakan kebahagiaan. Bunga bermekaran mengharumkan gunung Toh Langkir, menggugah para Dewa. Widiadara dan widiadari menari, mengiringi turunnya para Dewa. Ada Sang Pembayun Agung, penguasa Toh Langkir bersama Sang Bhanaspati Raja penjaga gumi Bali. Demikan pula Raja Dewa, Sang Bhatara Indra.

Satwa liar se-Bali bagai mendapat komando, tiada perbedaan mereka berlomba mencapai Toh Langkir. Instingnya menuntun tujuan dan harus mencapai berkah restu dari sang pendeta. Sesampai di Toh Langkir, serentak semua satwa liar yang mencapai pusat sinar ingin melakukan pengorbanan diri. Instingnya mengatakan, berkorban demi bhakti orang suci adalah berkah kehidupan.

Berbagai fenomena alam terjadi, ibarat pementasan agung. Sang Pendeta menjadi pusat perhatian. Tidak jelas berapa lama, terdengar kabar bahwa ekor naga Basuki telah tersambung. Puja dan denting bajra masih berjalan sebab Manik Angkeran belumlah dilihat wujudnya oleh Sang Pendeta.

Sesuai janjinya, sang naga kemudian mendatangi abu Manik Angkeran dan ditetesi dengan air liur kehidupan, selanjutnya dari kedua mata sang naga memancar sinar putih keunguan, kekuatan kasih sayang. Tak lama, Manik Angkeran telah berwujud kembali, kemudian sungkem dan mohon pengampunan kepada naga Basuki. Naga Basuki mengampuni lalu berkata: “Duhai manusia, engkau boleh memohon berkah kemakmuran kepadaku, tunjukkan teguh bhaktimu kepada para Dewa dan Leluhur, maka emas, perak, intan berlian pada tubuhku ini akan kutaburkan dalam kehidupanmu”. Demikianlah selanjutnya, manusia sering memohon restu kepada naga Basuki di Goa Raja, Besakih.

Tak diceritakan bahagianya sang pendeta. Kemudian, Mpu Sendok yang telah menunjukkan teguh bhaktinya dalam ajaran Siwa Budha mendapat gelar abhiseka Dhang Hyang Sidhimantra. Tujuh Bajra kemudian disebut ‘bajra winarah pitu’. Bajra artinya petir, halilintar dan winarah artinya terjadi. Bajra winarah pitu kemudian raib, menuju alam sunia, niskala, ditempatkan di alam niskala oleh Dhang Hyang Sidhimantra.

Pada suatu masa di jaman ini, saya mendapat wisik mengenai bajra tersebut dari sesuhunan: “Pada saat yang tepat, di tempat yang tepat, bajra dan kekuatan dari bajra winarah pitu akan muncul dengan sendirinya. Yang tiga hanya turun taksu, kekuatannya saja, sebab telah rapuh keadaanya. Yang tiga muncul sekalian wujudnya. Yang satu diambil dari bumi oleh manusia Dewa Titisan. Tujuh soroh pandita akan mendapat berkah memakai bajra winarah pitu. Manakala dibunyikan bersama, hujan petir terjadi”.

Hari bersejarah tersebut diperingati setiap seratus tahun sekali dengan sebutan Pujawali Bhatara Turun Kabeh Eka Dasa Rudra. Demikianlah, pada jaman selanjutnya dibuktikan, yakni berbagai satwa liar mendatangi gunung Agung yaitu gunung Toh Langkir pada saat gelaran Pujawali Bhatara Turun Kabeh. Bagaikan hal yang disepakati antara manusia dan satwa alam jagat Bali. Beruntunglah manusia yang sempat menyaksikan gelaran agung seratus tahunan tersebut.

* * *

Kemudian saya ceritakan suatu kejadian yang berhubungan dengan ‘bajra winarah pitu’. Jauh sebelum mendapat cerita di atas saya membeli tiga bajra. Ukurannya besar sampai sedang, diletakkan di ruang suci Puri Agung Dharma Giri Utama, memohonkan taksu kepada Bhatara Raja. Beberapa hari kemudian, disebelah tiga bajra baru tersebut telah muncul dengan sendirinya tiga bajra kuno. Hal tersebut dilaporkan oleh pengayah puri yang sudah sering mendapati kemunculan pratima di meja ruang suci. Karena saking seringnya keanehan terjadi di Puri, hal-hal seperti demikian tidaklah menjadi suatu kehebohan.

Tiga bajra yang saya beli sebenarnya ingin dipakai dalam gelaran sakral ‘Puja Bhuwana Langgeng’ pada tanggal 28 Oktober 2012. Gelaran ini atas petunjuk dari Hyang Bhatara Agung Mpu Kuturan dan Bhatara Raja. Untuk memohonkan restu jagat Bali agar terhindar dari mara bahaya. Sekaligus sebagai amanah yang harus saya lakukan karena telah mendapat penugrahan oleh Bhatara Raja dan Hyang Maha Guru Bhatara Agung Mpu Kuturan yaitu anugrah kebangkitan Kundalini fase kedua yang disebut ‘bhuwana langgeng’. Fase kundalini kedua adalah anugrah agar selamat dari bencana alam.

Bhatara Raja kemudian mengatakan, karena persiapan puja bhuwana langgeng hampir selesai, wisik Ida Dhang Hyang Sidhimantra terjadi. Tiga bajra yang dibeli bagai diatur yaitu untuk menerima taksu dari tiga bajra yang sudah rapuh di alam niskala. Tidak mungkin untuk diwujudkan aslinya ke skala sebab hancur kalau diangkat. Biarlah tiga yang asli aman ditempatnya. Berarti enam dari tujuh bajra sudah muncul di Puri Agung Dharma Giri Utama. Yang satu akan muncul di Purohita Pura, Desa Unggahan, Seririt, Buleleng yaitu tempat puja bhuwana langgeng akan digelar, demikian sabda Bhatara Raja.

Singkat cerita, pagi hari, tanggal 27 Oktober 2012, Bhatara Raja mengatakan bahwa satu bajra yang ditunggu sudah datang di Purohita Pura. Pada sandyakala akan diambil dari suatu tempat di areal pura.

Akhirnya waktu yang ditunggu sudah tiba. Saya telah selesai dengan ritual. Kemudian saya diamanahkan menghunuskan pusaka keris untuk menuntun bajra yang masih di niskala ke lokasi pengambilan bajra yang paling berkekuatan dari yang tujuh. Bhatara Raja berjalan ke lokasi telaga kecil dekat payogan. Ritual mewujudkan bajra niskala ke skala disaksikan oleh Prebekel dan beberapa masyarakat Desa Unggahan.

Bhatara Raja menapakkan tangannya ke tanah di dekat telaga, mengunci bajra agar tidak bergerak ke mana-mana di alam niskala. Bhatara Raja kemudian menuju telaga dan menjulurkan tangannya ke dalam air. Lelangit kain putih di atas Beliau bergetar dahsyat. Tangannya bergetar bagai ada perlawanan dari dalam tanah. Tiba-tiba pemegang lelangit kain putih, jero Ayu, jero Menuh berteriak diikuti Gusti Ngurah Ketut Gede. Kaki jero Ayu masuk ke dalam telaga bagai disedot. Akhirnya, Bhatara Raja menarik tangannya dengan kekuatan dahsyat, bajra yang ketujuh sudah ada dalam genggaman. Yang menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut sunyi senyap terkesima dengan kejadian aneh dan sakral tersebut.

Bersamaan dengan bajra berhasil ditarik keluar, jero Menuh berteriak dengan keras seraya berkata: “Suksma, terimakasih Pinisepuh, nira bebas... nira bebas... nira lakar ngayah dini, akan mengabdikan diri di sini...”. Selanjutnya, bajra dibersihkan dari lumpur.

Mengambil Bajra Niskala
 Baiklah sekarang saya ceritakan mengenai telaga kecil. Mulanya adalah pohon kelapa setinggi tujuh meteran, batangnya kecil, doyong seperti hendak rubuh. Karena mengganggu dan bahaya maka ditebang. Setelah ditebang, bermaksud membuang akarnya, digalilah pinggirannya. Sudah beberapa pohon ditebang di areal pura dan tidak ada kendala. Tetapi akar pohon kelapa ini sangatlah susah untuk dicabut. Bahkan sisa pohon setinggi limapuluh sentimeter yang sedianya dirapikan, tidak bisa dipotong dengan gergaji besar dan kampak. Dari pinggir akar pohon, muncul air dan membentuk telaga berdiameter satu meter. Tanahnya adalah paras dan keras tetapi Bhatara Raja bisa memasukkan tangannya melebihi dalamnya telaga.

Akhirnya ‘bajra winarah pitu’ sudah lengkap diwujudkan ke skala oleh Bhatara Raja. Telaga tempat munculnya bajra yang ketujuh kemudian disucikan. Pada bulan Januari 2013 Bhatara Raja mengamanahkan kepada saya untuk memberi nama kepada telaga tersebut.  Saya memberi nama “Telaga Bajra Murti”. Bhatara Raja mengatakan bahwa, tirtha dari ‘telaga bajra murti’ adalah bertuah dan bisa dimohon untuk mensucikan bajra dalam proses pasupati bajra anyar agar mendapat berkah tuah, kekuatan manakala dipakai dalam pemujaan. Atau untuk nyiramang, mensucikan bajra pada hari tumpek landep agar restu ‘sidhi’ Dhang Hyang Sidhimantra dapat turun kepada pinandita yang menggunakan bajra dalam pemujaan para Dewa.

Pada saat gelaran ‘puja bhuwana langgeng’, sesuai dengan wisik agar dipakai tujuh soroh, maka dihubungilah beberapa ratu peranda. Namun sayang, tak satupun ratu peranda Kemenuh yang dihubungi bersedia ikut dalam gelaran puja sakral tersebut. Kami memaklumi keadaan yang sudah rahasia umum yang tak perlu diceritakan di sini. Akhirnya Bhatara Raja menitahkan agar bajra dilinggihkan di surya tutuan dan dimohon taksunya saja agar merestui lima peranda yang bersedia melakukan puja Surya Sewana pada tanggal 28 Oktober 2013.

Di luar dugaan, rupanya khabar media dibaca ratu peranda dan sulinggih Bali. Selanjutnya dari pagi hingga jam dua siang, tigapuluh tiga sulinggih dan puluhan pemangku berdatangan dan ikut melakukan puja mantra bersama mengitari satu kunda Agni Hotra secara bersama-sama.

Sesuai dengan tuah bajra, walau di lokasi gelaran puja tidak ada hujan dengan petir, akan tetapi di beberapa kabupaten dilaporkan ada angin, hujan, petir dan suara gemuruhnya. Sampai dengan bulan Januari 2013, hujan petir masih berlangsung. Bahkan Jakarta terendam banjir yang melumpuhkan Ibu Kota selama sepekan.

Rabu, 17 Agustus 2011

Bhatara Bhatari Yang Disungsung

Pinisepuh adalah Guru Suci/Wikan yang mendapat pencerahan dari lahir yang telah dijelaskan dalam kisah Pinisepuh.

Kemudian mengangkat saya sebagai salah satu murid utama. Hal ini bermula pada tahun 2009, setelah saya disembuhkan oleh Pinisepuh yang akhirnya nyungsung Ida Bhatara Lingsir Pasek Gelgel. Melalui bimbingan Pinisepuh, saya dititipkan untuk belajar sastra kepada sesuhunan yang saya sebut sekarang sebagai Hyang Maha Guru Bhatara Agung Mpu Kuturan.

Pada tahun 2009, sebelum mewinten sebagai pemangku, saya sudah mendapat amanah untuk melakukan Surya Sewana setiap pagi, di mana dalam aturan sastra hanya Sulinggih yang sudah medwijati yang boleh melakukan Surya Sewana.

Pada suatu Purnama, tahun 2009 mendapat restu dari Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati atau Sang Hyang Paramaciwa melalui Pinisepuh dan mendapat paica pusaka Genetri yang tedun dari angkasa disaksikan Jero Sandat istri saya dan Ibu Marna yaitu salah satu pengayah di Puri.

Pada suatu malam dalam meditasi, menyaksikan sinar kuning emas dengan mata bhatin, sangat menarik dan akhirnya secara tidak sengaja telah masuk/tersedot ke dalam sinar tersebut. Setelah beberapa saat, Ida Bhatarai Ratu Niang Sakti menarik tangan saya keluar dari pusaran sinar tersebut seraya berkata: "Belum saatnya cening masuk ke sini". Kurang lebih demikian sabda Ida Bhatari.

Beberapa hari kemudian, Pinisepuh datang secara gaib dalam meditasi mengantarkan Ida Bhatari Durga dengan perwujudannya yang sangat seram. Tetapi Ida kemudian bersabda, diantaranya yang masih ingat: "... mulai sekarang ke pura manapun cening tangkil jangan takut, Nira melindungi...", besok saat bangun pagi, di cermin tampak wajah saya bersinar kuning tipis.

Setelah mendapat restu dari Ida di atas, banyak Ida Bhatara yang akhirnya juga merestui. Yang saya anggap merestui yaitu karena Ida sudah pernah 'ngeraosin'/bersabda atau beberapa kali ngeraosin'. Saat ini Sesuhunan yang saya sungsung adalah:

  1. Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati/Hyang Paramasiwa (mepaica Genetri)
  2. Ida Bhatari Durga
  3. Ida Sang Hyang Sabdapalon/Hyang Sadasiwa
  4. Ida Mpu Kuturan (nedunang Amanah untuk menulis Ilmu Sangkan Paraning Dumadi/Rahasia Leluhur mencapai Moksha, buku sedang ditulis)
  5. Ida Mpu Bharadah
  6. Ida Mpu Gnijaya
  7. Ida Dalem Sidakarya
  8. Ida Bhatara Lingsir Kawitan Pasek Gelgel
  9. Ida Ratu Gede Dalem Ped
  10. Sang Ayu Mas Ajeg Bumi (Sakti dari Ratu Gede Dalem Ped)
  11. Ida Dalem Sida Karya
  12. Ida Bhatari Ratu Niang Suwabawa (Dewa Ayu Mas Melanting)
  13. Ratu Peranda Sakti Wau Rauh
  14. Ida Bhatara Indra
  15. Ida Bhatari Ratu Mas Magelung/Ibu Indraswari (Sakti dari Hyang Wisesa/Jayasabha)
  16. Ibu Dewi Yulan Manifestasi dari Ida Bhatari Ratu Mas Magelung
  17. Ibu Dewi Maheswari/Sakti dari Ida Prabu Jayabaya
  18. Ibu Dewi Kwan Im (mepaica Uang Kepeng Simbol Feng Shui)
  19. Ida Ratu Subandar (mepaica Tongkat Rejeki)
  20. Ida Dewa Bumi (Nedunang Amanah untuk menulis Ilmu Kaweruh Astha Bumi yaitu pengetahuan 8 arah yang membuat masnusia hidupnya gemah limpah loh jinawi, menunggu waktu untuk menulis).
  21. Ida Dewa Kwankong
  22. Ida Dewa Ganesha
  23. Ida Naga Basuki
  24. Ibu Dewi Rohini (Goa Lawah)
  25. Ida Bhatari Hyang Giriputri
  26. Ida Bhatari Ratu Niang Ayu (Okan Ida Ratu Niang Sakti ring Pura Dalem Pengembak Sanur)
  27. Ida Ratu Bagus Ketut (Dewa Rare Angon)
Sebenarnya di hampir setiap pura yang dikunjungi mendapat restu dengan selalu memberi pesan, agar selalu menuntun umat agar rajin ngaturang bakti, memuja para Leluhur atau manifestasi-manifestasi Tuhan/Siwa.

Pada tahap-tahap awal, tidak mempercayai bahwa sudah mendapat anugrah mampu mendengar pawisik Ida di bhatin hingga diberi kesempatan untuk menjadi semacam Balian di Puri selama enam bulan pada tahun 2010. Setiap yang tangkil, membawa pejati dan setelah dilukat, orang yang sakit mendapat petunjuk yang tertentu, dan yang masih lekat dalam ingatan adalah:

Seorang Ibu dari Tabanan datang dan mengeluh bahwa sudah lama sakit dan sudah ke dokter atau ke balian, tetapi sakitnya tidak kunjung sembuh. Setelah melukat, salah satu Ida Bhatara, karena belum bisa melihat, belum tahu Ida mana yang ngeraosin, dan ternyata Ibu tersebut sakit dikarenakan pernah keguguran tetapi tidak melakukan upacara tertentu. Karena tidak PD, ia kalau benar begitu pikir saya waktu itu, akhirnya saya bertanya: "Ibu sudah punya anak?" Ibu itu menjawab sudah. "Waktu punya anak lancar?". Anak pertama saya keguguran pada umur tujuh bulan dan tidak ada upacara apa-apa, katanya. Ibu tersebut akhirnya sembuh.

Satu lagi yang berkesan dalam ingatan, seorang bapak datang menyeret-nyeret kakinya dan tampak sakit sekali. Setelah pelukatan, mendapat raos: "Ning, Nira Ratu Niang, Ia ngelinggihang Nira tapi sing seken...", masih dengan keraguan saya bertanya: "Pak punya warung ya?", "Ndak...", jawabnya. waduh!! malu saya. Pada umumnya yang ngelinggihang Ida Bhatari Ratu Niang Sakti adalah yang punya warung atau usaha. Bapak ini pensiunan! "Katanya Bapak pernah ngelinggihang Ratu Niang Sakti tapi tidak diperlakukan dengan benar.", harap-harap cemas akhirnya Ia menjawab: "Oh iya dulu saya punya warung betutu, tapi tutup, sekarang dikontrakkan kepada londry." Akhirnya, saya jujur katakan, saya ini pemangku baru dan tidak ngerti hal banten lalu disarankan untuk bertanya ke Grya Anyar Tanah Kilap, Perhyangan Ida. Untuk saat sekarang ngaku agem/janji saja dulu mau urus, kata saya waktu itu.

Besoknya, saking gembiranya, Bapak tersebut datang sama keluarganya dan sudah berjalan dengan normal seraya tersenyum. Saat ini, karena sudah sembuh, satu keluarga menjadi pengayah di Puri.

Banyak pengalaman seperti di atas pada saat-saat latihan komunikasi. Setelah dianggap lulus oleh Pinisepuh, saya tidak lagi boleh melakukan kegiatan sebagai balian dan meneropong. Dalam amanah Pinisepuh mengatakan bahwa pada Jaman Kali, manusia harus menghindari tenung sebab akan mengganggu alam semesta.






Meditasi Brahma Chakra

Blog Spiritual ini dikelola oleh
PURI AGUNG DHARMA GIRI UTAMA
Jl. Tegal Harum No. 14, Biaung Chandra Asri, Denpasar Bali

Di bawah naungan Pinisepuh/Guru Suci, keturunan Majapahit dari Trah Prabu Jayasabha

Kami mengajarkan Meditasi anugrah dari Hyang Maha Guru Bhatara Agung Mpu Kuturan yang disebut Meditasi Brahma Chakra, bagian dari Ilmu Sangkan Paraning Dumadi (Rahasia Leluhur Mencapai Moksha).

Bukunya sedang ditulis oleh Jero Mangku Pasek Mukti Murwo Kuncoro, di mana atas Restu Hyang Maha Guru, Mangku Mukti telah menerima anugrah Kesidhian Dewata untuk dapat berkomunikasi dengan Hyang Maha Guru Bhatara Agung Mpu Kuturan dan menjalankan amanah-Nya.

Bagi masyarakat luas yang ingin meningkatkan diri sebagai Spiritualis sejati silahkan berkunjung ke Puri Agung Dharma Giri Utama.


Bagian awal dari Ilmu Sangkan Paraning Dumadi telah dipraktekkan dan para murid telah banyak terbuka inti daripada chakra Sahasrara (mahkota). Terbukanya inti chakra Sahasrara akan membesarkan jalur sinar suci Antahkarana. Jalur sinar suci Antahkarana terletak di nadi Utama Shusumna. Shusumna adalah jalur Ibu Dewi Kundalini pada saat kebangkitannya.

Sebenarnya inisiasi yang dilakukan dengan iklan oleh praktisi meditasi agar HEBOH yang berembel-embel membangkitkan Kundalini adalah inisiasi inti chakra Sahasrara. Sebab dalam aturan niskala hanya yang pencerahan sempurna yang mampu melakukan pembangkitan Kundalini. Inipun kalau nadi Shusumna sudah besar. Dan yang sudah bangkit Kundalini-nya/pencerahan sempurna tidak akan melakukan pembangkitan Kundalini orang lain secara sembarangan sebab harus ada kebijaksanaan khusus. Orang dengan pencerahan sempurna sudah mewarisi kebijaksanaan para Dewata Agung. Paham dengan karma manusia dan sedang menunggu saat yang tepat untuk moksha.

Sebenarnya Kundalini akan bangkit dengan sendirinya apabila semua jalur dan chakra sudah siap.

Bersama Ilmu Sangkan Paraning Dumadi telah pula diturunkan simbol Surya Sudhanalaya sebagai penyerap Prana yang besar dan pelindung dari gangguan black magic serta mahluk gaib negatif yang dipakai sehari-hari. Sebab praktisi/spiritualis yang telah meningkat memancarkan energi sehingga kerap mendapat gangguan dari praktisi black magic, mungkin melakukan semacam tes. Sedang gangguan mahluk gaib biasanya karena mereka terganggu dengan energi yang dipancarkan atau bahkan ingin mendapat pertolongan dari pelaku spiritual untuk tujuan peningkatan tertentu dari mahluk tersebut.

Untuk membesarkan inti chakra Sahasrara, dalam Ilmu Sangkan Paraning Dumadi dilakukan dengan restu Guru/inisiasi dan latihan meditasi Brahma Chakra pembangkitan jalur Antahkarana. Guru yang sudah mampu merestui adalah yang sudah mendapat amanah dari Dewata. Dalam hal ini dari Hyang Maha Guru Bhatara Agung Mpu Kuturan.

Simbol Surya Sudhanalaya bisa dibeli di Puri Agung Dharma Giri Utama.

Selasa, 02 Februari 2010

Canang Sari Jelih

Om Swastyastu,

Entah di mana nama ‘Canang Sari Jelih’ kami peroleh, sehingga istilah atau penamaan ini kami pakai sehari-hari. Kalau ada yang kebetulan memahami penamaan ini mohon urung pendapat.

Sebelum saya ceritakan mengenai Canang Sari Jelih, adalah satu dua orang yang mengusulkan hal-hal yang berhubungan Kepemangkuan, misalnya:

  1. Bagaimana meningkatkan pemahaman Weda kepada Jero Pemangku.
  2. Apakah Jero Mangku sudah mempunyai Askes?
  3. Ada yang menyarankan agar Jero Pemangku mendapat pelatihan ulang agar bisa melantunkan Tri Sandya dengan hafal dan benar.
  4. Juga ada pula yang mengusulkan agar di Pura ada tempat untuk ‘curhat’.

Banyak saran yang masuk dan semuanya tentu bertujuan meningkatkan banyak hal yang memang sebenarnya positif. Forum ini hanyalah bisa menyikapi saja dan sejujurnya tidak ada actions yang bisa dilakukan secara massal dan serempak. Tetapi setidaknya kita sudah tahu hal-hal demikian banyak yang setuju yang penting dengan tujuan meningkatkan kemampuan Jero Mangku baik dalam tugas maupun kesejahteraannya. Walau masih berupa wacana bagi kita di forum ini.

Sekedar berbagi kepada kawan-kawan umat sedharma apa yang sudah Paguyuban Dharma Giri Utama sebagai team HD lakukan selama ini dan tentu banyak umat sedharma juga yang sudah melakukannya. Dalam persembahyangan ke pura mana saja, kita selalu menghaturkan sedikit rupiah pada banten yang disebut sesari. Berapapun sesari tersebut tentulah sangat berarti bagi pura tersebut. Sesari ini kemudian diambil oleh pengayah pura untuk dikumpulkan. Di luar sesari juga telah disiapkan ‘genah dana punia’. Semua rupiah tersebut tentulah sangat berguna untuk biaya perawatan pura tersebut.

Apakah dari kita pernah bertanya: “Berapa besar nantinya Jero Pemangku akan menikmati rupiah tersebut?”. Melihat pengabdiannya yang sungguh berat, terkadang kami sering membicarakan ini di lingkungan Paguyuban. Sungguh asik dan menyenangkan kita datang, duduk sembahyang, nunas tirta lalu pulang dan bergembira karena sudah tangkil di pura. Sementara Jero Mangku, dengan pakaiannya yang kadang sudah kumal karena usia, kembali duduk menghantarkan yadnya pemedek lain. Betapa miris hati kami menyaksikan hal demikian.

Karena Paguyuban sangat sering mengunjungi pura, nurani kami terenyuh menyaksikan kondisi demikian sehingga saat ini kami menghaturkan Canang Sari Jelih ke hadapan Jero Pemangku yang memuput yadnya saat kebaktian tersebut. Canang Sari Jelih ini kami sertakan juga sejumlah kecil rupiah dengan harapan bahwa sesari tersebut adalah hak pribadi dari Jero Pemangku. Entah ini dibenarkan atau sudah ada aturannya, sejujurnya kami tidak mengetahui. Namun atas dasar kasih sayang kami begitu saja melakukannya. Mudah-mudahan kami mengetuk hati umat sedharma sekalian untuk memulai melakukan Haturan Canang Sari Jelih dan tidak menjadikan hal-hal seperti ini jadi polemik dan masalah di masa-masa yang akan datang. Sekecil apapun rupiah yang kita haturkan tentulah menjadi sangat berguna bagi Beliau para pengabdi Tuhan seperti Jero Pemangku.

Silahkan umat sedharma urung pendapat, tambah dan kurangi.

Suksma
Om Shanti Shanti Shanti Om....
MS