Jumat, 18 Desember 2009

Kalki Awatara

Hikmah dari cerita Sang Budha Gautama agar manusia menyadari hakekat kehidupan

Budha adalah perwujudan Awatara Wisnu yang kesembilan dan di antara perwujudan awatara Wisnu awatara Budha adalah yang sempurna di mana umat manusia diajarkan tentang dharma dan kebahagiaan yang mutlak.

Di jaman kerajaan Kapilavastu dengan rajanya Suddhodana dan ratunya Mahamaya. Di mana sang ratu kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan yang mereka beri nama Siddhartha, akan tetapi sungguhlah sayang tujuh hari kemudian, sang ratu Mahamaya meninggal dunia.

Seorang Rsi bijaksana/penasehat raja pada saat itu yang bernama Kala Devala memberi tahu sang raja bahwa ketika pangeran Siddhartha beranjak dewasa ia akan melihat hal-hal yang akan membuatnya sedih dan pergi menuju hutan. Mendengar hal itu raja tidak memperbolehkan Siddhartha untuk pergi melewati gerbang istana.

Siddhartha merupakan anak pintar, berbahagia dan juga amat penyayang serta lembut. Pada suatu hari Siddhartha dan sepupunya Devadatta sedang berjalan-jalan. Devadatta tiba-tiba melihat seekor angsa dan memanahnya sehingga angsa tersebut terjatuh. Siddhartha amat terkejut melihat burung yang terluka tersebut, Devadatta bersikeras untuk memiliki burung angsa tersebut karena ia yang memanahnya. Akan tetapi Siddharta mengatakan itu adalah miliknya. Akhirnya mereka pergi ke Rsi Kala Devala sang penasehat raja di mana kemudian Rsi itu mengatakan angsa tersebut menjadi milik orang yang menyelamatkannya bukan orang yang berusaha membunuhnya.

Siddhartha tumbuh dewasa dan menjadi seorang pria muda. Raja Suddhodana menikahkannya dengan seorang putri cantik yang bernama Yashodhara. Raja berharap agar Siddhartha tidak akan pernah meninggalkan istana. Tapi Siddhartha tidak merasa bahagia di dalam istana. Ia memerintahkan pelayannya yang setia Channa untuk menemaninya berjalan-jalan keluar istana. Dalam perjalanannya Siddhartha melihat orang yang sudah tua yang bungkuk dimana Siddhartha tidak pernah melihatnya di dalam istana. Melihat orang yang sedang sakit keras dan melihat orang meninggal. Siddartha menyadari bahwa ayahnya mengungkungnya di dalam istana, untuk melindunginya agar ia tidak melihat hal-hal semacam itu.

Siddartha keluar lagi dan kali ini ia melihat seorang pria dengan kepala gundul. Ia bertanya pada pelayannya dan pelayannya berkata itu adalah seorang bijak yang meninggalkan segalanya serta pergi ke hutan untuk mencari kebahagiaan.

Pada suatu kesempatan Siddharta berpikir untuk meninggalkan Istana dan mencari kebahagiaan. Akhirnya pada suatu malam, ketika istri dan anaknya Rahula sedang tertidur, Siddartha bersama pelayannya yang setia Channa dengan diam-diam pergi meninggalkan istana. Mereka menyeberangi sungai Anoma, disana Siddartha melepaskan jubah kerajaanya dan memberikannya kepada Channa untuk mengembalikannya ke istana. Kemudian Siddartha menggunakan jubah oranye serta memotong rambut panjangnya. Siddartha pergi menemui satu guru ke guru yang lain menanyakan; Apakah Anda tahu jalan untuk mencapai kebahagian?

Tapi tidak ada seorang pun bisa memberitahunya. Akhirnya ia duduk di bawah pohon Bodhi dan berusaha menemukan jawabannya sendiri. Beberapa hari kemudian ia menjadi seorang yang bijak dan orang-orang menyebutnya Gautama Budha. Budha mencintai seluruh binatang dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang.

Pada suatu hari Dewa Siwa menguji Sang Budha karena Siwa tahu Awatara ini yang akan membawa umat dunia untuk mencari jalan kebahagian karena mempunyai jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk.

Dewa Siwa mengirim binatang buas yaitu gajah liar dan harimau liar nan ganas. Tetapi yang terjadi pada binatang-binatang tersebut setelah melihat cahaya kasih sayang yang dipancarkan oleh Sang Budha binatang-binatang tersebut langsung tunduk hormat dan bersimpuh di bawah kaki Sang Budha. Akhirnya Sang Budha mempunyai pengikut yang sangat banyak dan pengikutnya tinggal di dalam sebuah grup yang di sebut Sangha.

Sang Budha mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dengan merasa puas akan apa yang dimilikinya dan menunjukkan kasih sayang pada semua mahluk. Pada akhirnya di sebuah tempat yang bernama Kusinara, Sang Budha berbaring di bawah pohon Sala dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Maka sesuai petunjuk dari Sakyamuni yang diperoleh oleh Ida Mpu Kuturan, Sang Budha Gautama akan bereinkarnasi kembali karena di jaman Kali Sang Budha akan berkhotbah kembali sebagai Awatara yang terakhir agar dunia ini bisa tentram dan damai. Dengan alasan tersebut Sang Budha tidak moksha atau kembali ke Nirwana di jaman itu karena Sang Budha akan bereinkarnasi kembali dengan Awataranya yang terakhir yaitu Kalki Awatara.

Sumber: Komunikasi Pinisepuh dengan Ida Bhatara Mpu Kuturan

Rabu, 09 Desember 2009

Sejarah Ciwa Budha di Nusantara

Awal mula perpaduan agama Ciwa Budha tidak lepas dari sejarah kerajaan Mataram kuno yang terdiri dari dua dinasti, yakni kerajaan Sanjaya dan kerajaan Syailendara . Kerajaan Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Raja Sanjaya. Beberapa saat kemudian, kerajaan Syailendra yang bercorak Budha Mahayana didirikan oleh Raja Bhanu. Kedua raja ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa Raja Balitung.

Raja Syailendara

Raja Syailendra berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kamboja). Pada awal era Mataram kuno, raja Syailendra cukup dominan dibanding Raja Sanjaya. Pada masa pemerintahan Raja Indra, Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Beliau juga melakukan perkawinan politik: Puteranya yang bernama Samaratungga, dinikahkan dengan putri raja Sriwijaya yaitu Dewi Tara. Kemudian Raja Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenlan (Kamboja) dan sempat berkuasa disana selama beberapa tahun. Peninggalan terbesar Raja Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada pemerintahan Raja Samaratungga.

Raja Sanjaya
Kerajaan Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya/Rakeyan Jamri/Prabu Harisdama, cicit Wretikandayun, Raja kerajaan Galuh pertama. Pada saat menjadi penguasa kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Ibu dari Sanjaya adalah Sahana, cucu Maharani Sima dari Kalingga di Jepara.

Ayahanda dari Sanjaya adalah Bratasena/Sena/Sanna, raja Galuh ketiga. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putra bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua. Sena dilengserkan dari tahta kerajaan Galuh oleh Purbasora.

Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, Pusat kerajaan Sunda dan meminta pertolongan kepada raja Tarusbawa. Ironis sekali, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan kerajaan Galuh dari Tarumanegara, sehingga kerajaan Tarumanegara terpecah menjadi dua kerajaan yaitu Sunda dan kerajaan Galuh.

Sanjaya yang merupakan penerus kerajaan Galuh yang sah, menyerang kerajaan Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu Sanjaya menjadi raja di kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh, sehingga bekas kerajaan Tarumanegara dapat disatukan lagi dalam satu kerajaan yaitu kerajaan Sunda Galuh.

Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian menjadi penguasa Kalingga utara yang disebut Mataram, dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda Galuh dan Kalingga/Mataram (Hindu). Dalam masa itu dan masa-masa selanjutnya telah terbentuk semacam ikatan politik (seperti saat Majapahit mempersatukan Nusantara).

Kekuasaan di Jawa Barat kemudian diserahkan kepada putera Sanjaya dari Tejakencana, putri raja Tarusbawa dari kerajaan Sunda yaitu Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Sedangkan penerus Sanjaya di kerajaan Mataram adalah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga selatan/Bumi Sambara. Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban/Tamperan adalah saudara seayah tapi lain ibu.

Pemimpin Mataram selanjutnya adalah, Rakai Panunggalan, Rakai Warak dan Rakai Garung. Rakai Garung mempunyai anak yaitu Rakai Pikatan. Rakai Pikatan yaitu menjadi pangeran kerajaan Sanjaya, menikah dengan putri raja Samaratungga yaitu Pramodhawardhani. Sejak itu pengaruh kerajaan Sanjaya yang bercorak Hindu mulai menggantikan menjadi agama Budha dan menjadikan penyatuaan Ciwa Budha. Rakai Pikatan bahkan menyerang raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara) dari kerajaan Syailendari dan berakhir ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya. Karena Balaputradewa tidak menyetujui konsep tentang pemahaman Ciwa Budha tersebut.

Kemudian raja Tulodong adalah yang mendirikan Candi Prambanan. Merupakan komplek candi Hindu terbesar di Asia Ttenggara. Pada masa ini ditulis sastra Ramayana dalam bahasa kawi.
Pada Jaman pemerintahan raja Kertanagara, raja Singasari terakhir, penyatuan Ciwa dan Budha karena toleransinya yang sangat besar dan juga alasan yang bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Kubilai Khan. untuk mempertemukan kedua agama itu, Kertanagara membuat Candi Ciwa Budha yaitu candi Ciwa di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.

Pembaruan Ciwa Budha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja Majapahit yaitu Kertarajasa yang didharmakan di candi Sumberjati (Simping Blitar) sebagai wujud Ciwa (Ciwawimbha) dan di Antahpura sebagai Budha. Hal ini memperlihatkan suatu kepercayaan dimana kenyataan tertinggi dalam agama Ciwa maupun Budha tidak berbeda.

Agama Ciwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Ciwa Siddhanta yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa kerajaan Mataram. Ajaran agama ini sangat dipengaruhi oleh Saiwa Upanisad, Wedanta dan Samkya. Kenyataan tertinggi agama ini disebut Parama Ciwa yang disamakan dengan suku kata suci OM. Dalam pakem berikutnya dikenalkan pengertian sebagai berikut oleh Ida Mpu Kuturan:
  • Parama Ciwa yang bersifat tak terwujud ( niskala)
  • Sada Ciwa yang bersifat berwujud-tak terwujud (sanakala-niskala)
  • Ciwa yang bersifat berwujud (skala)
Selain agama Ciwa Siddhanta dikenal pula aliran Ciwa Bhairawa yang muncul pada pemerintahan Jayabaya. Agama ini adalah aliran yang memuja Ciwa sebagai Bhairawa. Raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Ciwa Siddhanta kecuali Tribuwana Tungadewi (raja Majapahit ke 3) yang beragama Budha Mahayana. Walaupun begitu agama Ciwa dan Budha tetap menjadi agama resmi kerajaan dan pada akhirnya dijadikan satu yaitu Ciwa Budha. Pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa) ada 2 pejabat tinggi Ciwa dan Budha, yaitu Dharmadyaksa Ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa Ring Kasogatan.

Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting di lingkungan istana yang disebut Tripaksa yaitu Rsi-Saiwa-Sogata berkelompok 3 dan berkelompok 4 disebut catur Dwija yaitu Mahabrahmana (Wipra) – Rsi – Saiwa – Sogata.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa saat itu masyarakat Majapahit sudah amat bahagia gemah limpah loh jinawi. Hindu sendiri dari tiga agama besar, Brahma, Wisnu, Ciwa, lalu ada Budha Tantrayana dan Saiwa Bhairawa serta semua ajaran tersebut dijadikan satu dalam wadah spiritual yaitu Ciwa Budha. Semua mendapat tempat di Majapahit tanpa di-diskriminasi.
Penganut animisme juga banyak dan oleh pemeluk ajaran yang lain, mereka tidak dianggap kafir sebab inilah agama asli nenek moyang. Kerajaan besar ini sangatlah toleran terhadap aliran kepercayaaan karena Majapahit belajar dari kekonyolan kerajaan terdahulu. Pelajaran dari masa lalu adalah yang membuat Majapahit menjadi kerajaan besar, terbuka dan toleran terhadap semua ideologi, bahkan terhadap ajaran yang amat baru dan aneh pun Majapahit sangat toleran, padahal di dalam kerajaan sudah ada pakem yaitu Ciwa Budha tetapi sungguh luar biasa tolerannya terhadap keyakinan.

Mari kita bangsa Indonesia yang katanya sudah maju, berpikir yang sangat positif bahwa tidak ada suatu keyakinan yang membenarkan dirinya yang paling benar, karena di setiap keyakinan ada Tuhan dan di setiap keyakinan Tuhan, ada kebenaran dan ada kesalahan. Jadi semua yang benar maupun yang salah sudah dikehendaki oleh Tuhan itu sendiri. Jadi janganlah saling mendiskriminasikan ajaran/agama orang lain. Kita hidup dalam wadah spiritual Ciwa Budha.

Note:
Kata agama dipakai untuk memudahkan pengertian. Sebenarnya saat tersebut kata agama belum dikenal.

Sumber: Pinisepuh

akan datang: sejarah Ciwa Budha di Bali...

Sabtu, 05 Desember 2009

Karya Para Mpu Nusantara

Beberapa Mpu di Nusantara dan Karyanya

Mpu Gandring (warga Pande),
Mpu Gnijaya (warga Pasek),
Mpu Bradah (warga Brahmana, Treh Dalem),
Mpu Tantular (kekawin Sutasoma)
Mpu Sedah/Mpu Panuluh (kekawin Bharatayuda),
Mpu Tanakung (kekawin Siwa Ratri Kalpa),
Mpu Kanwa (kekawin Arjuna Wiwaha),
Mpu Prapanca (kekawin Negara Kertagama)

Karya Mpu Kuturan Dalam Menata Perhyangan di Bali Dwipa
Mpu Kuturan adalah seorang pendeta suci dari warih Ida Bhatara Hyang Genijaya yaitu cucu dari Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati saking Giri Mahameru (Jambu Dwipa).

Karya Mpu Kuturan di Bali:
Konsep Siwa Budha
Konsep Tri Murti
Tripurusha
Padma Tiga di Penataran Besakih
Kahyangan Tiga (Pura Desa, Dalem, Puseh)
Meru
Gedong
Konseptor seni arsitektur Bali
Konsep Menjangan Seluwang (konsep ini ada di lontar Kusumadewa)

Beberapa jenis padma menurut lokasinya, yaitu:
Timur (padmakencana),
Selatan (padmasana),
Barat (padmasari),
Utara (padmalingga),
Tengah (padmakurung),
Tenggara (padma astadana),
Barat Daya (padmanoja),
Barat laut (padma karo),
Timurlaut (padmasaji)

Beberapa jenis candi yaitu candi ibu, candi tikus, candi bajang ratu, candi raden wijaya, candi semar, candi arjuna, candi bimasena, dll.

Salah satu lontar Bali sendiri mengatakan:
Sira empu Kuturan, ingaranan empu Raja Kertha, mahyunta anggawe perhyangan kabeh sane ke gawe wit Majapahit, kaunggahan ring Bali kabeh.

Ida empukuturan, bergelar Mpu Raja Kertha, membawa konsep-konsep perhyangan yang dibawanya dari majapahit, yang diletakkan di seluruh pulau bali.

Jadi pada intinya semua tata letak, konsep, keyakinan maupun budaya, sastra, dll., kebanyakan dibuat oleh Mpu Kuturan, karena itu pulau Bali dikenal dengan pulau seribu pura. Karena karya-karyanya yang banyak, Mpu Kuturan mendapat gelar begitu banyaknya dari masayarakat maupun dari kerajaan. Yang sering dikenal di Bali yaitu Dhang Hyang Dwi Jendra yang berarti ‘pandita raja’. Setelah Mpu Kuturan moksha di Sila Yukti, kemudian karya-karya beliau digali lagi pada masanya Dang Hyang Niratha (Ida Pedanda Sakti Wau Rauh). Akhirnya karena jasanya bisa menentramkan umat Bali pada saat itu, Beliau, Dang Hyang Niratha, juga diberi gelar Dang Hyang Dwi Jendra.

note:
Yang mendapat gelar Dhang Hyang Dwi Jendra adalah:
1. Rsi Markandheya
2. Mpu Kuturan
3. Dhang Hyang Niratha

Mpu kuturan moksa di Sila Yukti. Sila berarti; ajeg, teguh, kuat, paham dalam kehidupan ini dengan cara menegakkan dharma. Yukti berarti; benar-benar terjadi.

Konsep tersebut diambil dari Siwa Budha. Budha berarti; budi pekerti, tatwa, susila, dharma, dll. Siwa berarti Tuhan itu sendiri. Jadi sebelum badan ini bersatu pada alam Siwa temui dulu Tuhan di dalam diri setiap manusia atau capailah dharma tersebut, baru manusia bisa mencapai alam Siwa dan menyatu pada Siwa atau moksha. Kalau Sila atau Budha kita sudah kuat, teguh, ajeg dengan cara menjalankan dharma, pasti benar-benar terjadi yang namanya menyatu pada alam Siwa tersebut. Jadi demikian pokok dasar pengertian dari Siwa Budha.

Bukti dalam sastra adalah:
Siwa tidak mengakui Budha bukan Siwa. Budha tidak mau mengakui Siwa bukan Budha. Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Pada hakekatnya Siwa Budha itu satu tidak bisa dipisahkan.

Pesan Ida Mpu Kuturan kepada saya pada beberapa waktu lalu adalah; Jagalah karya-karya Beliau, jangan sampai orang Bali lupa dan meninggalkannya, karena dari karya Beliau tersirat ilmu-ilmu kasunyatan yang akan mengantar umat Bali pada khususnya untuk mencapai alam Siwa Budha. Agar Bali menjadi pusat dunia dalam waktu dekat ini.

Itu pesan singkat Beliau agar budaya Bali selalu senantiasa dilestarikan agar umat dunia bisa banyak belajar dari kedamaian Siwa Budha di Bali yang berdasarkan budaya.

Weda dan Karya Mpu Nusantara
Weda dibuat berdasarkan perenungan-perenungan dari orang-orang suci di India. Kekawin dan Lontar di Nusantara ini dibuat oleh perenungan-perenungan para mpu kita, jadi banggakanlah karya para mpu kita yang sangat luar biasa ini.

Apapun karya yang bisa membantu umat agar bisa lebih mengerti memahami konsep Tuhan itu maka karya itu akan masuk ke dalam Weda, karena Weda berarti juga connect (terhubung) dengan Tuhan itu sendiri. Weda tidak akan pernah habis semasih bumi ini terus berputar. Jadi pemahaman tentang Weda sangatlah luas, karena Weda terus berkolaborasi tergantung pada jamannya. Semoga pemahaman ini berguna dan lebih mengerti tentang karya-karya mpu serta Weda itu sendiri.

Sumber: Komunikasi Pinisepuh pada bulan November 2009 dengan Ida Bhtarara Mpu Kuturan.

Kamis, 03 Desember 2009

Sejarah Weda Di Indonesia

Ada tujuh maha rsi yaitu; Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista dan Kanwa. Para Rsi inilah yang menerima wahyu Weda di India. Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte yang jumlahnya ratusan.

Sekte Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya, kemudian disebarkan ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang berasal dari pesraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja dan Trinawindu. Trinawindu di Bali disebut dengan Bhatara Guru, tapi ini hanya sebuah gelar Rsi Agastya di Bali.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekte Siwa yang lain. Sidhanta yang artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidhanta artinya kesimpulan dari Siwaisme.

Kenapa di buat kesimpulan ajaran Siwa ?

Karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit untuk menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas sekali.

Karena itu bagi penganut Siwa, kitab suci Weda pun hanya pokok-pokok atau inti-intinya saja yang dipelajari, dan kitab suci Weda pun dinamai Weda sirah oleh penganut Siwaisme. Weda sirah, atau sirah artinya kepala atau pokok-pokok jadi hanya inti-inti dari Weda saja yang dipelajari, karena kitab suci Weda sangatlah luas. Jadi pengetahuan tentang Weda hanya inti-intinya saja yang dipelajari umat Hindu dunia, karena seperti cerita di atas Maha Rsi Agastya sangatlah sulit untuk memberikan pengetahuan Weda itu karena mencakup bidang yang sangat luas sekali.

Salah satu murid Maha Rsi Agastya adalah Maha Rsi Markandeya yang membawa ajaran Weda/Siwa di Indonesia. Pada saat ke Indonesia Maha Rsi Markandeya mendapatkan pencerahan di gunung Di Hyang (sekarang disebut dengan gunung Dieng) di gunung Dieng Beliau Rsi Markandeya mendapatkan pawisik agar membuat pelinggih di Tohlangkir (sekarang disebut Besakih) dan harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah delima.

Setelah itu Maha Rsi Markandeya menetap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan.

Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari mantram-mantram Weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari mantram-mantram yang ada dalam Weda. Sebagai contoh:

Banten Daksina adalah simbolis dari Mantram Gayatri, yaitu:

Om Bhur Bhuvah Svah
Tat Savitur varenyam
Bhargo devasya dimahi
Dhiyo yo nah pracodayat

Oleh karena itu janganlah fanatik dengan berpatokan kepada kitab Weda saja, karena Weda sendiri pengertiannya sangat luas. Ajaran Rsi Markandeya kemudian disempurnakan lagi oleh Ida Mpu Kuturan, karena di jaman Rsi Markandeya keberadaan sekte-sekte jumlahnya sangat banyak dan dari sekte-sekte tersebut selalu ada saja yang dipertentangkan dan pada akhirnya timbul dampak-dampak yang negatif di Bali. Ida Mpu Kuturan yang pada saat itu ajarannya adalah Budha Mahayana dipilih oleh raja Udayana untuk mempersatukan sekte-sekte karena dipercaya ajaran Budha adalah yang bisa mempersatukan sekte-sekte tersebut selain Ida Mpu Kuturan juga ahli di bidang politik, sastra, filsafat, arsitek, spiritual, seni, dll.

Jadi pesan Ida Mpu Kuturan kepada saya janganlah pernah berhenti berjuang untuk mempersatukan umat dalam perbedaan keyakinan melalui ajaran Budha, karena ajaran Budha yang bisa menengahi masalah-masalah keyakinan di muka bumi ini, karena ajarannya mengajarkan kita untuk bijak dalam melakukan tindakan dan mengedepankan ajaran budi luhur.

Demikian itulah pesan Beliau Ida Mpu Kuturan yang sudah meraga/berwujud Sang Budha Amitofo.

Sumber: Pinisepuh