Kamis, 03 Desember 2009

Sejarah Weda Di Indonesia

Ada tujuh maha rsi yaitu; Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista dan Kanwa. Para Rsi inilah yang menerima wahyu Weda di India. Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte yang jumlahnya ratusan.

Sekte Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya, kemudian disebarkan ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang berasal dari pesraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja dan Trinawindu. Trinawindu di Bali disebut dengan Bhatara Guru, tapi ini hanya sebuah gelar Rsi Agastya di Bali.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekte Siwa yang lain. Sidhanta yang artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidhanta artinya kesimpulan dari Siwaisme.

Kenapa di buat kesimpulan ajaran Siwa ?

Karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit untuk menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas sekali.

Karena itu bagi penganut Siwa, kitab suci Weda pun hanya pokok-pokok atau inti-intinya saja yang dipelajari, dan kitab suci Weda pun dinamai Weda sirah oleh penganut Siwaisme. Weda sirah, atau sirah artinya kepala atau pokok-pokok jadi hanya inti-inti dari Weda saja yang dipelajari, karena kitab suci Weda sangatlah luas. Jadi pengetahuan tentang Weda hanya inti-intinya saja yang dipelajari umat Hindu dunia, karena seperti cerita di atas Maha Rsi Agastya sangatlah sulit untuk memberikan pengetahuan Weda itu karena mencakup bidang yang sangat luas sekali.

Salah satu murid Maha Rsi Agastya adalah Maha Rsi Markandeya yang membawa ajaran Weda/Siwa di Indonesia. Pada saat ke Indonesia Maha Rsi Markandeya mendapatkan pencerahan di gunung Di Hyang (sekarang disebut dengan gunung Dieng) di gunung Dieng Beliau Rsi Markandeya mendapatkan pawisik agar membuat pelinggih di Tohlangkir (sekarang disebut Besakih) dan harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah delima.

Setelah itu Maha Rsi Markandeya menetap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan.

Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari mantram-mantram Weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari mantram-mantram yang ada dalam Weda. Sebagai contoh:

Banten Daksina adalah simbolis dari Mantram Gayatri, yaitu:

Om Bhur Bhuvah Svah
Tat Savitur varenyam
Bhargo devasya dimahi
Dhiyo yo nah pracodayat

Oleh karena itu janganlah fanatik dengan berpatokan kepada kitab Weda saja, karena Weda sendiri pengertiannya sangat luas. Ajaran Rsi Markandeya kemudian disempurnakan lagi oleh Ida Mpu Kuturan, karena di jaman Rsi Markandeya keberadaan sekte-sekte jumlahnya sangat banyak dan dari sekte-sekte tersebut selalu ada saja yang dipertentangkan dan pada akhirnya timbul dampak-dampak yang negatif di Bali. Ida Mpu Kuturan yang pada saat itu ajarannya adalah Budha Mahayana dipilih oleh raja Udayana untuk mempersatukan sekte-sekte karena dipercaya ajaran Budha adalah yang bisa mempersatukan sekte-sekte tersebut selain Ida Mpu Kuturan juga ahli di bidang politik, sastra, filsafat, arsitek, spiritual, seni, dll.

Jadi pesan Ida Mpu Kuturan kepada saya janganlah pernah berhenti berjuang untuk mempersatukan umat dalam perbedaan keyakinan melalui ajaran Budha, karena ajaran Budha yang bisa menengahi masalah-masalah keyakinan di muka bumi ini, karena ajarannya mengajarkan kita untuk bijak dalam melakukan tindakan dan mengedepankan ajaran budi luhur.

Demikian itulah pesan Beliau Ida Mpu Kuturan yang sudah meraga/berwujud Sang Budha Amitofo.

Sumber: Pinisepuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar