SKB mentri telah menutup kegiatan ritual di Pusat Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Ini berarti umat Ciwa Budha tidak bisa menghormati Leluhur mereka di Pusat Majapahit. Oleh karena ini, Brahma Raja Hyang Suryo sudah memikirkan tindakan selanjutnya guna melestarikan Budaya Leluhur yaitu dengan memindahkan Pratima dan Pusaka ke Bali, karena Bali adalah pusat Leluhur serta dalam pandangan Niskala, Bali adalah pusat Niskala Dunia.
Atas dasar perkenan dari Leluhur, kemudian Hyang Suryo melaksanakan petunjuk memindahkan Pratima dan Pusaka Majapahit tersebut ke Bali. Pemindahan Pratima dan Pusaka Majapahit ke Bali dilakukan dengan dua cara: yang pertama lewat darat dan yang kedua lewat udara. Karena Pinisepuh adalah salah satu dari umat yang mendapat titah dari para Leluhur maka mendapat tugas untuk ikut dalam prosesi pemindahan Pratima Leluhur dan Pusaka Majapahit ke Bali.
Hyang Suryo dan Pinisepuh yang membawa Pratima serta Pusaka berikut lewat darat:
- Pratima Ibu Tribuwana Tungga Dewi
- Pratima Hyang Wisesa atau Prabu Jayasabha
- Pratima Gajah Mada
- Pratima Raden Wijaya atau Prabu Jayabaya
- Pratima Ibu Dewi Gayatri
- Pratima Ibu Dewi tangan seribu yang berkaki ikan sebagai simbol dari Ibu Dewi Gangga.
- Keris Mpu Gandring
- Keris Gajah Mada
Keris Mpu Gandring dan Keris Gajah Mada dibawa oleh Pinisepuh. Sedangkan Pratima dibawa oleh Beliau Hyang Suryo. Yang sering menyebrang dari Bali ke Jawa tentu tahu, bahwa, Selat Bali adalah selat berarus deras. Ombak yang kecil adalah ombak yang lumayan besar bagi sebuah perahu kecil. Akan tetapi air laut bagai air danau saat tersebut karena menurut Pinisepuh, salah satu keris diacungkan ke angkasa untuk menenangkan ombak sehingga ombak menjadi sangat tenang.
Sama halnya dengan Pratima dan Pusaka yang lewat udara yang terdiri dari 50 tombak, 30 Pedang diantaranya Pedang Arya Damar, Pedang Ganesha, 25 Keris beserta bermacam-macam Pratima lainnya, sampai di Denpasar tanpa masalah sedikitpun. Kemudian semua Pratima dan Pusaka yang melalui udara atau naik pesawat setelah sampai di Denpasar, dibawa ke Gilimanuk untuk dipersatukan bersama Pratima dan Pusaka yang lewat darat.
Pratima ke Negara
Dari Gilimanuk rombongan pembawa Pratima dan Pusaka menuju ke Pura Majapahit Negara. Di Pura Majapahit Negara, Pinisepuh mendapat petunjuk dari Ratu Gede Dalem Majapahit untuk memberikan keris Sapu Jagat ke Pura Majapahit Negara. Sekarang Keris Sapu jagat menjadi Pajenengan dan disungsung oleh segenap lapisan masyarakat Negara.
Pratima ke Buleleng
Dari Negara, rombongan kemudian menuju Pura Majapahit Sukasada, Buleleng. Hyang Suryo mendapat petunjuk untuk menaruh Pratima Ganesha, Keris Ganesha dan Pratima Budha. Karena selama ini diketahui dalam pelaksanaan upcara di Pura tersebut hanya menggunakan kober dan umbul-umbul saja untuk mengenang dan memuja Leluhur.
Mengapa Pratima Ganesha, Keris Ganesha dan Pratima Budha ini harus diberikan ke Pura Majapahit, Sukasada, karena berkenaan dengan lambang Kabupaten Buleleng yaitu Singa Ambara Raja, di mana Singa Ambara Raja adalah kendaraan dari Sakyamuni atau Sang Budha. Juga karena ajaran yang berkembang di Buleleng pada masa-masa lalu lebih kepada Budha. Sebagai bukti bahwa di Buleleng tidak ada Petapakan Barong sebagai ciri khas dari ajaran Ciwa. Serta bukti lainnya adalah dengan ditemukannya Tapak Kaki Buda di Buleleng.
Pratima Ke Pura Jagatnatha Denpasar
Dari Buleleng, Pratima dan Pusaka menuju ke Pura Jagatnatha Denpasar. Setelah sampai di Pura Jagatnatha rombongan disambut oleh World Hindu Youth Organisation (WHYO) yang dipimpin oleh Dr Shri Arya Vedakarna, Juga dari Puri, termasuk Ida Cokorde Jambe Pemucutan yaitu Raja Denpasar, banyak Sulinggih juga Barongsai dari Konco Dwipayana Tanah Kilap.
Kemudian Pratima dan Pusaka nyejer di Pura Jagatnatha. Pada saat nyejer tersebut terjadi keanehan, yaitu, Pratima Ganesha Kala (depan adalah rupa Ganesha dan bagian belakang adalah rupa Kala) didatangi oleh Keris dan Tombak yang muncul sendiri dari alam niskala. Hyang Suryo mendapat petunjuk bahwa keris dan tombak tersebut adalah pasangan dari Ganesha Kala yang berguna untuk melakukan peruwatan. Membersihkan dan melukat manusia maupun jagat.
Dari sekian umat yang hadir ada seorang wanita bernama Ibu Eka yang mengalami kerauhan dan mendapat petunjuk untuk ngaturang Pakelem di Sanur. Hyang Suryo setuju untuk ngaturang Pakelem akan tetapi harus naik Dokar ke Sanur.
Keanehan yang terjadi saat upacara pakelem
Setelah segala keperluan Yadnya siap, rombongan berangkat ke Sanur. Pinisepuh berada di salah satu Delman. Entah petunjuk dari mana tiba-tiba sebuah keris yang dipegangnya ditarik dari sarungnya dan dhunuskan ke udara. Saat itu juga secara serentak semua rombongan yang mebawa keris mencabut keris dari sarungnya dan menghunuskannya ke udara. Termasuk Hyang Suryo. Yang tidak membawa keris dupa pun jadi. Pokoknya semua berpose seperti menghunuskan keris ke udara. Kaki kuda bagian depan semua naik ke udara dan membuat heboh suasana. Kejadian ini terjadi beberapa menit seperti kerauhan bersama tetapi hanya mengacung-acungkan keris saja sampai akhirnya harus dihentikan oleh Hyang Suryo. Setelah suasana kembali normal, perjalanan ke Sanur dilanjutkan.
Sesampai di Sanur, sampan sudah siap membawa banten pakelem ke tengah laut. Pratima Ganesha yang akan dipersembahkan sudah pula siap. Tetapi setelah di tengah laut Ibu Eka kembali mengalami kerauhan dan berkata jangan Pratima Ganesha yang dipersembahkan untuk pakelem. Karena tidak ada petunjuk lain maka akhirnya hanya banten saja yang di persembahkan.
Upacara penyambutan Pratima dan Pusaka di Pura Jagarnatha sudah berjalan baik dan sukses. Pratima Ganesha yang sedianya dihaturkan untuk Pakelem akhirnya dilinggihkan di puncak candi atau angkul-angkul di Puri Ibu Majapahit, di Puri Gading Jimbaran.
Setelah Pratima dan Pusaka tiba di Puri Ibu Majapahit, semua dilinggihkan dan ditempatkan di tempat semestinya. Tak lama kemudian diadakan Piodalan di Puri Ibu Majapahit, Puri Gading Jimbaran.
Keris berloncatan dan bergetar
Pinisepuh di depan Ruko Purigading Jimbaran
Saat Piodalan di Puri Ibu Majapahit, Pratima Ibu Dewi Kwan Im dan Pedang Naga yang melinggih di Jeroan Pinisepuh dipendak atau lunga ke Puri Ibu Majapahit. Sesampainya Pratima dan Pedang Naga di Puri Ibu Majapahit, terjadi keanehan, yaitu semua keris kecil sampai sedang yang berada di tempat penyimpanan Pusaka berloncat-loncatan setinggi lebih kurang 20 centimeter. Sehingga Pak Ketut salah satu juru sapuh di Puri Ibu Majapahit harus mengikat keris-keris kecil tersebut agar tidak berloncatan. Sedang keris dan pedang yang berukuran besar semua bergetar menimbulkan suara ribut. Akhirnya upacara besar yang dihadiri Sulinggih dan Raja Denpasar berjalan sukses.
Pratima yang disakralkan
Pratima dari Majapahit Trowulan beberapa disakralkan dan tidak boleh ditunjukkan ke masyarakat luas dan disimpan di tempat yang sangat rahasia oleh Brahma Raja Hyang Suryo.
Sedang Pratima Ibu Tribuwana Tungga Dewi dan Hyang Wisesa atau Prabu Jayasabha dilinggihkan di Jeroan Pinisepuh. Akan tetapi saat saya ingin melihat Pratima tersebut Pinisepuh tidak dapat menunjukkan Pratima Beliau karena sangat sakral. Bahkan, Istri Beliau juga tidak tahu di bagian rumah yang mana Pratima tersebut disimpan. Pada akhirnya Pinisepuh memberitahu bahwa saat ini Pratima dilinggihkan di Niskala atau di alam gaib dan sewaktu-waktu kalau perlu petunjuk dan berkomunikasi baru diwujudkan ke skala atau ke dunia nyata. Sebenarnya ada beberapa Pratima yang di-Niskala-kan oleh Pinisepuh tetapi biarpun cuma nama, Pinisepuh sangat merahasiakan. Pada saatnya nanti akan diberitahu, demikian katanya.
Bersambung........
Pengalaman magis: Keris Mpu Gandring dibengkokkan dengan tangan... Pinisepuh juga mendapat Penugrahan kemampuan Mpu Gandring.
mohon ijin untuk copy paste di forum diskusi kl anda berkenan
BalasHapussuksma
Silahkan...
BalasHapus