Saya kenal dengan Pinisepuh belum terlalu lama tetapi kesan yang saya dapat sebagai pencari kebenaran niskala, menempatkan Pinisepuh sebagai salah satu pelaku spiritual dengan kemampuan tinggi di Bali. Seperti telah saya tulis bahwa Pinisepuh adalah kaki tangan Awatara, menurut kami anggota Paguyuban Dharma Giri Utama. Sebagai seorang manusia biasa tentulah penilaian adalah dasar untuk memutuskan. Bukti dan fakta adalah ukuran yang sangat diperlukan dalam mengambil keputusan. Di sisi ego terkadang memerlukan atraksi dan bukti untuk mengakui seseorang sebagai yang patut ditempatkan sebagai guru penuntun. Terkadang saya dan teman-teman di Paguyuban, masih memerlukan bukti-bukti untuk mempercayai seseorang yang katanya wikan atau waskita. Saya akan menceritakan pengalaman orang-orang tentang Pinisepuh dan juga pengalaman saya bersama Pinisepuh, tentu yang sudah mendapat ijin dari Pinisepuh. Seperti saya katakan, banyak hal tidak bisa diungkapkan ke dunia skala karena terbentur ‘perjanjian suci’. Saya termasuk beruntung karena mendapat restu untuk mendengar dan beberapa mengalami cerita-cerita yang jauh dari pemikiran manusia biasa. Pengalaman-pengalaman tersebut membuat saya yakin bahwa Pinisepuh memang kaki tangan Awatara.
Pratima muncul beberapa hari setelah Pinisepuh mengatakan hal tersebut...
Kemunculan Pratima Ganesha Kala
Saya mempunyai teman namanya Gung Aji Mangku dari Negara, Batuan, Gianyar. Beliau bercerita bahwa suatu hari di Pura Merajan Gung Aji muncul sinar terang dari angkasa dan ada banyak orang yang menyaksikan kejadian tersebut. Sinar tersebut tidak langsung menyentuh tanah tetapi tepat berhenti didepan rong atau cangkem atau mulut Pelinggih Rong Tiga kemudian sinarnya membias ke segala penjuru arah. Kejadian ini disaksikan oleh anggota keluarga Gung Aji. Dalam satu kesempatan Gung Aji bertanya kepada saya, pertanda apakah sinar tersebut? Untuk mengetahui ini saya mengantarkan Gung Aji ke jeroan Pinisepuh lengkap dengan banten yang diperlukan.
Setelah segala ritual sudah selesai, Pinisepuh berkata kepada Gung Aji Mangku:
“Sinar tersebut ingin memberitahu bahwa Beliau Para Leluhur memang ada dan melinggih di Merajan. Tetapi saya ingin bertanya apakah ada paica dari Dalem, dan sekarang di mana paica tersebut?”
“Ah tidak ada paica di Jero apalagi paica Dalem”, kata Gung Aji.
“Pokoknya ada, dan bawa ke sini kalau sudah ketemu.”
Setelah kembali dari tempat Pinisepuh, Gung Aji mencari-cari dan akhirnya memang menemukan Keris yang diperoleh dari membeli tetapi memang penjual bilang itu adalah keris paica Dalem. Juga ada alat untuk mengambil Tirta, semacam sendok tirta yang terbuat dari bahan perak tetapi saat itu tidak bisa diambil karena ditaruh di sangku tempat tirta dan tirtanya membeku seperti dodol.
Beberapa hari kemudian saya kembali mengantar Gung Aji ke jeroan Pinisepuh. Menunjukkan keris yang ditemukan. Ternyata keris itu memang benar seperti apa yang dimaksud oleh Pinisepuh. Kemudian Pinisepuh berkata:
“Sebentar lagi pasangan dari keris paica Dalem tersebut akan muncul dan datang ke jeroan Gung Aji. Silahkan amati kejadian-kejadian khusus barangkali membawa petunjuk tentang paica yang akan datang tersebut”.
Masa sih paica bisa datang sendiri?, pikir kami saat itu penuh dengan tanda tanya. Tetapi akhirnya memang dalam dua minggu paica tersebut datang dibawa oleh seseorang yang mengaku panjak dari Bangli. Cerita orang tersebut, sejak memiliki Pratima tersebut selama sepuluh tahun hidupnya tidak karuan. Keluarga sakit-sakitan, pekerjaan sering gagal dan akhirnya hutang sana sini untuk biaya sakit dan biaya hidup. Sampai mendapat petunjuk untuk membawa paica tersebut ke jeroan Gung Aji Mangku.
Kembali kami mengunjungi Pinisepuh dengan membawa paica tersebut. Sesampai di jeroan, Pinisepuh tertawa kecil bahwa itulah paica yang dimaksud.
Paica ini adalah sebuah Pratima dan namanya adalah Ganesha Kala. Di muka perwujudannya adalah Ganesha dan di belakang adalah Kala. Sepanjang Pinisepuh mengetahui bahwa pratima seperti ini baru ada satu yang muncul yaitu sekarang ada di Puri Ibu Majapahit yaitu di Puri Gading Jimbaran, adalah Puri tempat Brahma Raja Hyang Suryo beristirahat kalau ke Bali. Dan sekarang Gung Aji Mangku mendapat satu lagi. Ini berarti baru ada dua di Bali. Kegunaan dari Pratima ini adalah untuk mengusir penyakit niskala atau non medis dan juga untuk meruwat atau buang sial. Bahkan tirta asuannya bisa untuk memagari rumah agar tidak mudah dimasuki oleh sakit-sakit kiriman atau sakit non medis. Pinisepuh meminta kepada Gung Aji Mangku bahwa kedua paica tersebut ditinggalkan dulu di jeroan Pinisepuh untuk di Pasupati.
Kami kembali ke Jeroan Gung Aji Mangku. Kemudian Gung Aji Mangku masuk ke dalam ruang suci dan mendapati bahwa tirta yang tadinya membeku seperti dodol, sekarang sudah cair seperti sediakala. Suatu keanehan sudah terjadi!
Keampuhan Ganesha Kala
Beberapa hari kemudian, salah satu kakak ipar bertanya, apakah saya ada mengetahui seorang Balian atau yang bisa mengobati sakit non medis karena Balian langganannya sedang tidak bisa... Akhirnya kembali saya mengantarkan kakak ini ke jeroan Pinisepuh. Sampai di sana ternyata kakak ini memang sakit dan sudah sangat parah karena kena ‘cetik ceroncong polo’. Keluhannya seperti migrain atau sakit kepala sebelah dan sering kumat. Kalau tidak diobati dengan serius sakit ini bisa membawa kematian. Itu kata Pinisepuh.
Setelah sembahyang, Pinisepuh mengeluarkan keris dan pratima kepunyaan Gung Aji Mangku, memohon agar sakit kakak ini bisa disembuhkan. Dengan tirta dari asuan pratima Ganesha Kala dan keris tersebut sebagai media yang disentuhkan ke ubun-ubun kakak ipar, tak berapa lama kemudian kakak ini tidak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama. Kemudian Pinisepuh mengambil tirta dan menyiratkannya ke seluruh tubuh kakak. Tidak lama setelah itu kakak bangun dan tentu kaget karena tidak menyadari kalau baru saja ia tidak sadarkan diri.
Sebelum pulang, Pinisepuh berkata kepada kakak ipar. Mudah-mudahan sembuh ya, nanti akan ada paica yang datang yang berguna untuk jaga diri. Dalam waktu dua minggu memang paica berbentuk batu perhiasan datang dan sekarang telah dipakai sebagai cincin. Sakit yang sama dan pernah diderita jarang datang mengganggu. Sakit tersebut tidak mau disembuhkan total oleh Pinisepuh karena masih ada rahasia keluarga yang tidak boleh diungkap karena ini semacam karma dari masing-masing yang harus dijalani dulu. Sakit akan sembuh sendiri sejalan dengan tingkatan pengabdian spiritual. Sejak itu kakak ipar ini disarankan untuk lebih sering melukat di mana saja untuk membersihkan diri skala niskala. Lebih rajin meningkatkan diri pada spiritual.
Ada orang ngaku-ngaku keturunan Mpu Gandring
Pada suatu hari di Puri Ibu Majapahit datanglah dua orang pemuda dari Karangasem yang melihat-lihat Pusaka dari Majapahit yang dipajang dan dipamerkan untuk umum. Salah seorang dari pemuda tersebut sangat antusias dengan salah satu keris yaitu keris Mpu Gandring. Dari lagaknya ia adalah seorang yang tampak paham sekali dengan barang Pusaka. Orang yang sangat paham sekali dengan Keris Pusaka Mpu Gandring karena membicrakan bentuk dan rupa dari Keris Mpu Gandring.
Menurutnya keris hasil karya dari Mpu Gandring adalah keris yang bentuknya sempurna karena dikerjakan oleh seorang Mpu yang khusus mengerjakan keris sepanjang hidupnya. Mungkin dalam pandangan pemuda tersebut, Mpu Gandring menciptakan keris untuk para Raja masa keris seperti ini dipajang di Puri Ibu dan disebut-sebut sebagai keris Mpu Gandring.
Pemuda tersebut akhirnya mengaku bahwa Dia adalah salah satu keturunan dari Mpu Gandring di Bali dan mengatakan bahwa Pusaka Keris Mpu Gandring yang dipajang di sini adalah palsu. Masak barang palsu dipajang di sini, di Puri Ibu Majapahit. Pemuda yang mengaku keturunan dari Mpu Gandring tersebut mengatakan ciri-ciri keris Mpu Gandring harusnya pekerjaannya sangat halus dan indah tidak seperti Pusaka yang dipajang di sini jelek dan bentuknya biasa saja. Bahkan tidak ada Yoni-nya.
Pemuda tersebut berbicara keras-keras seolah mencari Perhatian. Pada saat itu di sana ada Hyang Suryo, Pinisepuh, pengempon Puri Ibu Majapahit dan beberapa anggota Paguyuban Dharma Giri Utama yang memperhatikan tingkah laku sang pemuda. Sebenarnya pemuda tersebut sangat kelewatan berbicara kurang halus seperti begitu. Jiwa muda Pinisepuh tidak suka mendengar lagak bicara yang menurutnya tidak sopan di tempat seperti di Puri. Apalagi di sana ada Hyang Suryo, Brahma Raja Majapahit.
Pinisepuh mendatangi kedua Pemuda yang tampak semakin sombong tersebut. Menceritakan perihal dirinya yang keturunan langsung dari Mpu Gandring kepada Pinisepuh yang saat itu Agung Yudistira adalah seorang pemuda yang dalam pandangan awam adalah orang biasa dan sederhana. Tentu saja pemuda tersebut semakin angkuh saja tampaknya. Tetapi akhirnya Pinisepuh berkata:
“Apa benar Anda ini adalah keturunan langsung dari Beliau Ida Mpu Gandring?”.
“Tadi kan saya sudah ceritakan siapa saya. Dan saya katakan Keris Mpu Gandring ini palsu,” kata pemuda tersebut.
Kemudian Pinisepuh mengambil dua keris. Yang satu adalah Keris Pusaka Mpu Gandring dan diberikan kepada pemuda tersebut. Sedangkan keris yang satunya dipegang oleh Pinisepuh dan berkata kepada pemuda sombong tersebut:
“Kalau Anda benar keturunan langsung dari Ida Mpu, maka harus mempunyai kemampuan Beliau juga. Salah satu kemampuan Beliau adalah menguasai logam dengan baik sehingga menciptakan keris tidak dengan api tetapi cukup seperti ini...” Pinisepuh membengkok-bengkokkan keris yang dipegangnya. Melihat besar dan tebalnya saja tidak mungkin melakukan itu dengan tangan kosong. Semua yang hadir menyaksikan kemarahan Pinisepuh. Kemudian keris yang sudah dibengkok-bengkokkan tersebut dikembalikan kembali utuh seperti sediakala.
“Sekarang silahkan Anda lakukan dengan keris tersebut...” Pinisepuh mempersilahkan kepada pemuda tersebut yang telah memegang Keris Mpu Gandring. Tetapi pemuda itu hanyalah diam dan merasa sangat malu. Hyang Suryo berkata, bahwa sebenarnya tidak usah seperti itu mereka cumalah anak-anak yang cari sensasi dan tidak membahayakan Pusaka yang ada. Biar nanti pada saatnya mereka mengerti sendiri apa sujatinya Pusaka Majapahit. Tetapi dalam penilaian saya, Pinisepuh tidaklah salah karena jaman sekarang barangkali harus ada sedikit atraksi agar orang-orang percaya.
Seperti sudah dijelaskan bahwa Pinisepuh adalah orang terpilih, Beliau terkadang diberi kuasa untuk memanfaatkan ilmu yang dimiliki Leluhurnya bilamana merasa perlu asal tidak melanggar ‘perjanjian suci’.
Paica Meru Tumpang Selikur
Salah satu dari anggota Paguyuban menceritakan kepada saya bahwa sebelum bertemu dengan Pinisepuh kehidupannya sangatlah kacau. Kesehatannya sangat buruk dan Rumah Sakit seperti rumah keduanya. Disamping kesehatan yang buruk, teman ini juga merasa tidak disukai oleh saudara-saudara iparnya. Kalau pulang kampung selalu dimusuhi dan setelah kembali ke Denpasar maka sakitlah yang Dia bawa dari kampung.
Suatu hari Dia dikenalkan oleh salah satu saudaranya yang lain kepada Pinisepuh. Alangkah kasihannya Pinisepuh dengan teman ini karena ternyata ia sakit-sakitan lantaran kena dikerjai oleh seseorang yang barangkali tidak suka dengannya. Akhirnya teman ini diobati dan sembuh kemudian tekun sekali mengikuti saran-saran Pinisepuh, hingga pada suatu hari mendapat petunjuk harus tangkil ke Pura Ulun Danu di Soongan, Kintamani. Di Pura Ulun Danu, melalui Pinisepuh bahwa teman ini akan mendapatkan Paica suatu hari nanti dan akan muncul di suatu tempat di rumahnya.
Dengan perasaan yang penuh dengan rasa penasaran, teman ini selalu mencari-cari dimana kiranya Paica tersebut akan muncul dan hingga pada suatu hari, teman ini mendapati sesuatu di atas canang di pelangkirannya. Setelah diperhatikan dengan baik ternyata Paica tersebut menyerupai bentuk Meru dengan tumpang 21 atau selikur. Kemudian menurut Pinisepuh, bahwa Paica tersebut merupakan anugrah yang sangat hebat. Dalam dunia Balian siapa yang tidak mengenal dengan istilah Balian Batur yang sangat sakti. Maka Paica Pratima Meru tumpang selikur adalah pelindung yang sangat hebat untuk menangkal mejik atau ilmu hitam.
Seorang saudara mengaku bisa...
Pada suatu hari, sebelum pulang kampung teman ini memohon Tirta dari asuan Paica. Sesampainya di kampung Dia ditemui oleh seorang keluarga perempuan yang serta merta sangat hormat kepada teman ini dan mengaku bahwa ia bisa mejik dan lidahnya sudah dirajah... demikian seterusnya pengakuan dari saudara-saudara yang bisa lainnya tersebut. Bahkan di waktu-waktu berikutnya, teman ini hampir tidak pernah lagi mengalami gangguan kesehatan.
Mantra sakti
Pinisepuh sering mengajak beberapa nggota Paguyuban untuk bersembahyang ke suatu pura di Bali. Terkadang hanya mengisi acara saja biar ada kegiatan. Tetapi lebih sering adalah merupakan suatu petunjuk.
Sebenarnya kegiatan ke pura tersebut diperuntukkan lebih kepada anggota Paguyuban dan bukan untuk Pinisepuh. Juga sebenarnya Pinisepuh waktu di pura hanyalah duduk-duduk dan bercakap-cakap dengan penghuni Niskala pura dan Para Leluhur yang melinggih di sana. Saya menafsirkannya seperti begitu karena setiap kali habis mengunjungi sebuah pura sudah menjadi kebiasaan kami selalu bertanya: “Gung, ada apa tadi di sana?”.
Pernah suatu hari kami ke pura Besakih malam hari dan bersembahyang di areal pelinggih Ida Bhatari Ratu Mas Magelung dan Ida Ratu Syahbandar. Setelah ditanya, apakah Beliau Ida melinggih, dijawab dengan tidak. Kalau tidak apakah kebaktian kita diketahui? Tentu saja karena Beliau maha tahu dan juga sudah ada ancangan atau semacam petugas Beliau yang menggantikan kalau Ida sedang me-Yoga.
Pernah pada hari purnama, Pinisepuh memilih beberapa orang anggota Paguyuban untuk diajak tangkil ke pura Majapahit di GWK. Saat itu saya adalah anggota baru di Paguyuban. Kami bersembahyang sebagaimana seharusnya. Dan pada saat malam sudah pada puncaknya yaitu pada jam 00, Pinisepuh duduk dengan serius di Ajeng pelinggih. Semua yang hadir diminta untuk mengambil sikap sembahyang atau meditasi. Tak lama kemudian Pinisepuh mengucapkan mantra-mantra yang aneh dan tidak pernah saya dengar sebelumnya. Pada pertengahan mantra hampir semua yang hadir mengalami kerauhan. Dapat dihitung dengan jari yang tidak megalami kerauhan.
... yang menderita sakit berteriak ...
Demikianlah fenomena mantra yang diucapkan oleh Pinisepuh. Dalam kerauhan tersebut ada beberapa jenis prilaku. Yang pertama ada yang menggelepar-gelepar, ada yang menari-nari, ada yang duduk tetapi cuma tangan yang bergerak-gerak membentuk sikap mudra sambil mulut mengeluarkan suara Omm..... Yang paling aneh adalah yang menangis meraung-raung, menjerit dan berguling-guling di lantai pura serta berteriak sakiiiit... sakiiiit....
Anggota Paguyuban yang sadar diminta untuk mengawasi yang kerauhan. Setelah beberapa saat, Pinisepuh dan Bikuni menyiratkan Tirta untuk menyadarkan. Tetapi yang berteriak sakit, untuk sementara dibiarkan karena Bikuni dan Pinisepuh akan melukat orang sakit ini untuk dikeluarkan sakitnya.
Yang terakhir, salah satu anggota Paguyuban mempunyai masalah yang sangat berat. Mempunyai sakit bebainan dan diceritakan bahwa yang mengirim katanya adalah saudara ipar dan yang menyakiti masih nenek dari suaminya. Nenek tersebut sekarang berada dalam tubuh teman yang sakit ini dan ia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Menurut pengakuan nenek tersebut, sebenarnya ia sudah tidak betah tinggal di tubuh teman ini karena sering mebakti ke pura-pura hingga nenek tersebut merasa panas. Tetapi tidak bisa keluar dan sudah seperti lengket di tubuh teman yang sakit ini.
Pertempuran yang sengit terjadi antara anggota Paguyuban yang sudah senior dengan nenek tersebut. Nenek tersebut malah makin menantang dan mengatakan bahwa dirinya adalah leak inan sakti dari Negara, ayo lawan... hihihi ayo lawan nira... hihihi.... jeritnya membuat bergidik yang berada di pura. Beberapa anggota Paguyuban memegangi nenek tersebut. Nenek tersebut tampak lemah, dan dengan maksud agar cepat keluar dari tubuh teman ini, anggota Paguyuban membopong ke tempat pelukatan.
Tetapi begitu dilukat dan Tirta mengenai kepala, kembali teman ini menjerit: “Ayo lawan nira... inan leak nenenan tusing taen ada ngalahang.... hihihihi..... “. (ayo lawan saya, leak ini belum ada yang bisa mengalahkan) ia merota-ronta, tangannya menuding-nuding anggota Paguyuban.
Suasana benar-benar sangat mencekam saat itu karena di kejauhan terdengar suara anjing yang meraung ‘ngulun’ suara tertawa nenek ini bergema di antara bukit padas GWK. Kejadian ini berulang beberapa kali. Setiap dilukat menjerit lagi. Anggota Paguyuban seperti sudah kehilangan akal dengan ini sampai akhirnya ada juga yang kerauhan suaranya seperti raksasa “grehh....heheheh... “ bergetar. “Pesuang iban nyi... pesu... heheheh greheheh” seraya mencekik leher nenek tersebut.
Tetapi akhirnya, Pinisepuh berteriak dengan lantang:
“Manusa sakti, Nira Dalem Sidakarya, kenken lakar pesu apa tusing uli ditu?” (Manusia sakti, Saya adalah Dalem Sidakarya, bagaimana mau keluar apa tidak dari sana?)
“Tulungin, tulungin tiang, sebenerne dot sajaan pesu uling pidan tapi ten mersidayang.” (Tolong, tolong saya, sebenarnya ingin sekali keluar tapi tidak bisa). Nenek itu tidak berani menatap Pinisepuh yang sudah kerasukan Ida Dalem Sidakarya.
Di sudut lain, Bikuni juga mengalami kerauhan dan mengeluarkan suara anak-anak. “Enak ya, makanan di kampung, enak ya makanan di kampung. Kalau pulang lagi makan semua makanan, enak...” Kira-kira seperti itu kata-kata yang diucapkan Bikuni. Seperti memberi tahu bahwa sakit teman ini dikirim dari makanan.
“Cakupang tangane, ngacep ring Ida Bhatara!” (Cakupkan tangan dan nyembah ke Ida Bhatara). Kata Pinisepuh yang sudah dirasuki Ida Dalem Sidakarya.
Akhirnya nenek mengambil sikap menyembah, memohon: “Pakulun Ida Bhatara, ampurayang titiyang.... tiyang jagi mepamit....” (Mohon ampun Ida Bhatara, maafkanlah saya, saya mau pamit). Selesai berkata begitu, maka teman ini jatuh lunglai tak sadarkan diri lebih dari setengah jam.
Sementara Pinisepuh dan Bikuni sadar dengan sendirinya. Saat dibopong ke tempat melukat kembali kami was-was jangan-jangan menjerit lagi. Bikuni mengambil tirta dan menyiramkannya ke kepala teman ini. Aman tidak terjadi apa-apa dan malah teman ini bertanya: “Nak engken nenenan?” (apa-apaan ini), merasa dikerubuti dan dipegangi rame-rame teman ini merasa aneh dan ternyata dari tadi Dia tidak sadarkan diri sama sekali.
Dalam perjalanan pulang saya bertanya kepada Pinisepuh perihal sakit tadi di pura. Memang sakit seperti teman itu akan sangat sulit kalau diobati oleh manusia sakti biasa karena nenek tersebut orang sakti dan juga sudah meninggal serta sakitnya masih berada pada tubuh seseorang.
Bersambung...
Pinisepuh menarik Pusaka Mirah Delima dari alam Niskala di UNHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar