Minggu, 29 November 2009

Konsep tujuan akhir kehidupan

Ada keadaan dimana tidak ada tanah, tidak ada air, tidak ada api, tidak ada udara, tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak terbatasan kesadaran, tidak ada dasar dari kekosongan, tidak ada dasar yang terdiri dari bukan presepsi dan tidak bukan presepsi, tidak ada dunia ini atau dunia lain ataupun dua dunia itu, tidak ada matahari atau rembulan, di sini saya katakan tidak ada kedatangan, tidak ada kepergian, tidak ada yang tertinggal, tidak ada kematian, tidak ada kemunculan, tidak terpancang, tidak dapat di gerakkan, tidak mempunyai penyangga, inilah akhir dari penderitaan.

Yang tidak terpengaruh sulit untuk diketahui, kebenaran tidak mudah dilihat, nafsu keinginan akan ditembus oleh orang yang tahu, tidak ada penghalang bagi orang yang melihat.

Ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, yang mutlak. Jika seandainya saja tidak ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, yang mutlak, maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan kelahiran, penjelmaan, pembentukan, kemunculan dari sebab yang lalu, tetapi karena ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, yang mutlak, maka ada jalan keluar kebebasan kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Bagi yang ditopang, ada ketidakstabilan, bagi yang tidak ditopang, tidak ada ketidak stabilan. Bila tidak ada ketidakstabilan ada ketenangan, tidak ada sikap takluk, bila tidak ada sikap takluk tidak ada datang dan pergi, dan bila tidak ada datang dan pergi tidak ada kematian dan kemunculan, bila tidak ada kematian dan kemunculan, tidak ada disini atau diluar sana, ataupun di antara keduanya. Inilah akhir dari penderitaan.

Budha mengajarkan bahwa tujuan dari pembebasan adalah mencapai Nibana. Arti dari Nibana dalam sanskerta : Nirvana Nir : nis, tidak ada, lenyap atau habis, dan va :meniup.
Jadi arti dari nibana/nirvana adalah suatu keadaan atau kondisi padamnya nafsu keinginan dan bukan merupakan alam atau tempat Tuhan.

Sang Budha berbicara kepada saya, bahwa semua yang diperbuat dan dialami seseorang pada masa sekarang, baik hal yang baik maupun buruk, bukan merupakan kehendak Tuhan, yang mengakibatkan seseorang tidak memiliki kehendak bebas, hanya akan menjadi boneka yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan akan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian diri.

Dan saya membuat suatu pertanyaan seperti puisi kepada sang Budha:

Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan, mengapa Brahma itu tidak menciptakan secara baik?

Bila kekuatannya demikian tak terbatas, mengapa tangannya begitu jarang memberkati?
Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?

Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidaktahuan merajalela?

Mengapa memenangkan kapalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal?
Saya menganggap, Brahma adalah ketidak adilan yang membuat dunia yang diatur keliru.

Sang Budha bersabda, sesuai dengan benih yang kita tabur, begitulah buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagian dan pembuat kejahatan akan memperoleh penderitaan.

Sang Budha juga berkata, setiap individu memungkinkan untuk mencapai pencerahan. Pertapa tidak serta merta disebut sebagai Brahmana dan gembala tidak dapat diartikan sudra, namun ia yang mempelajari dengan tekun ajaran Dharma adalah kaum Brahmana.

Demikianlah pitutur-pitutur dari sang Budha kepada saya agar seseorang yang membaca pencerahan ini, lebih mengerti tentang dharma itu sendiri. Jadi mencapai pembebasan dari penderitaan adalah merupakan usaha diri sendiri bukan karena pemberian Tuhan.

Om Nama Siwa Budha Ya Namah.

Sumber: Pinisepuh

Selasa, 24 November 2009

Avalokitesvara

MENYIBAK JATI DIRI DAN KEMASYURAN AVALOKITESVARA

Om mani padme hum, begitulah mantra Avalokitesvara.

Penyebutan Avalokitesvara diyakini telah terjadi sejak abad ke-2 sebelum masehi yakni pada naskah-naskah awal Mahavastu yang di dalamnya terdapat dua kotbah yang menyebut Avalokita. Penyebutan ini diperjelas dengan naskah-naskah Mahayana yang mana belakangan telah memberi status tinggi kepada Avalokitesvara dibanding Bodisatva yang lain. Bahkan pada Amit Ayurdhana Sutra, Avalokitesvara disebutnya putra Budha. Di Indonesia ajaran Tantra ditemukan di Palembang (Sumatra) sekitar abad ke-7 dengan ditemukannya prasasti yang menyebutkan doa kepada Manjusri dan Avalokitesvara,juga beberapa arca yang ditemukan pada abad ke-8. Dan pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya (abad ke-11) sang raja telah mendirikan candi sebagai penghormatan kepada sang Budha dan Bodhisatva Avalokitesvara. Dituangkan dalam bentuk Padmapani dan Vajrapani.

Di dalam perwujudan Avalokitesvara ada 33 perwujudan Avalokitesvara yang dimuliakan dunia. Di dalam 33 perwujudan Avalokitesvara lebih condong ke ibuannya yang dimuliakan karena lebih pada memberikan kasih sayang (karuna Budha), di Bali sendiri Avalokitesvara dikenal dengan banyak nama dan banyak perwujudan seperti dalam konteks Hindu Avalokitesvara adalah manivestasi dari Ciwa Parwati sebagai pelindung jagat raya dan di simbulkan sebagai Dewi Tangan Seribu (Durga) karena Avalokitesvara berwujud Yin (feminin) dan Yang (maskulin), atau tidak laki tidak perempuan. Dalam Hindu dikenal dengan ‘ana tan hana (hara hari)’.

Pada agama Budha sering disebut Guanyin, Kwan Im. Di Batur Bali, Avalokitesvara dikenal sebagai Bhatari Batur (Hyang Dewi Dhanu) di Besakih Avalokitesvara dikenal dengan Ida Bhatari Ratu Mas Magelung karena rambut beliau selalu digelung. Gelar Ratu Mas Magelung diberikan oleh para mpu dan raja-raja Majapahit pada jaman itu, termasuk Mpu Kuturan sendiri menyebutkan Avalokitesvara adalah perwujudan Ciwa Budha yang pada saat itu, Mpu Kuturan sendiri sebagai baktanya yang bisa mencapai moksa karena Mpu Kuturan sudah memahami tentang ajaran Tantra yang tiada tandingnya pada masa itu dan barangkali juga masa ini.
Di Gunung Agung sendiri Avalokitesvara juga sering dikenal dengan Hyang Tatagatha sebagai penguasa alam tertinggi, karena di Bali Gunung Agung dikenal sebagai gunung tertinggi. Avalokitesvara mendapat gelar juga oleh Hyang pasupati (Bhatara siwa) dari Mahameru sebagai Hyang Giri putri penguasa goa, gunung, bukit, danau, laut dan hutan.

Hyang artinya (Raja) Giri (gunung) Putri (putra/anak), karena Avalokitesvara dipercayai sebagai anak dari raja penguasa alam semesta (Hyang Pasupati/Ciwa). Jadi pada hakekatnya semuanya sama karena Avalokitesvara sendiri disimbulkan sebagai Ciwa Budha tidak terwujud. Juga Ciwa Pasupati adalah Ciwa Nata Raja, maka semuanya adalah sama. Antara Ciwa Budha semua dilebur menjadi satu karena tiada yang tertinggi dan tiada yang sama. Semua berbeda dan dilebur menjadi satu yaitu Hyang tunggal/Hyang Widi Wasa (Hyang Acintya) dengan konsep Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mandruwa, dari segala perbedaan semuanya dilebur menjadi satu, yaitu satu tujuan.

Tuhan tidak pernah membeda-bedakan umatnya. Semuanya sama dan satu, isi adalah kosong dan kosong adalah isi. Jadi di dalam diri mausia penuh dengan kekosongan jika tidak pernah memahami sesuatu hal dengan bijak dan tidak pernah mengisi kekosongan tersebut. Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya agar dari kekosongan tersebut manusia mendapat pencerahan yang abadi karena semasih bumi berputar ilmu pengetahuan akan terus berputar, maka karena itu berbahagialah manusia yang mampu untuk memberikan pencerahan kepada manusia yang lain, karena sesama manusia harus saling menutupi kekosongan yang ada di dalam diri. Dengan demikian akan mencapai kesempurnaan di dalam diri manusia dan diluar manusia sehingga suatu saat dapat mencapai keadaan ‘gemah limpah loh jinawi’ dan dunia akan selalu aman serta bahagia karena manusia sudah bisa saling mensyukuri juga saling membantu di dalam kekosongan itu.

33 perwujudan Avalokitesvara:

1. Nathadeva-lokesvaranatha,
2. Karuna Budha, Simhala-Dvipe Arogya-Sala Lokanatha,
3. Lokesvara Khmer,
4. Padmapani,
5. Vajrapani,s
6. Imhanada Avalokitesvara,
7. Sadhanamala Avalokitesvara,
8. SadaksariAvalokitesvara,
9. Khasarpana Avalokitesvara,
10. Halahala Avalokitesvara,
11. Padmanarttesvara,
12. Harihariharivahana,
13. Trailokyavasankara,
14. Rakta,
15. Mayajalakrama,
16. Nilakantha,
17. Sugatisamdarsana,
18. Pretasamtarpita,
19. Sukhavati,
20. Vajraharma,
21. Dabei guanshiyin,
22. Daci guanshiyin,
23. Shizi wuwei guanshiyin,
24. Dakuang puzhao guanshiyin,
25. Tianren zangfu guanshiyin,
26. Dafan shenyuan guanshiyin,
27. Sansian huangsheng,
28. Bodhisattva aksyamati,
29. Prayeka budha,
30. Sravaka,
31. Vaisravana,
32. Vajradhara,
33. Geli Guanyin, Guanyin Yangliu, Yeyi Guanyin, Yanming Guanyin, Shiyao Guanyin, A-nou Guanyin, Longtou Guanyin, Simhakridita Avalokitesvara, Shizi Youxi Guanyin, Yulan Guanyin, Nengjing guanyin, Yiye Guanyin, Zhongbao Guanyin, Guanyinmu, Malangfu Guanyin, Yankuang Guanyin, Dewang Guanyin, Sansui Guanyin, Yiru Guanyin, Lianwo Guanyin, Ekadasamukha Avalokitesvara, Shinyimian Guanyin, Sasrabhuja Avalokitesvara.

Sumber: Pinisepuh

Sabtu, 21 November 2009

Awatara

AWATARA, HYANG WIDHI TURUN UNTUK MENEGAKKAN AJARAN DHARMA

Hyang Widhi turun ke dunia dengan mengambil salah satu bentuk sesuai dengan keadaan alam, dengan perbuatan dan ajaran sucinya memberikan tuntunan untuk membebaskan umat manusia dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh kegelapan.

Ada 10 (sepuluh) Awatara Wisnu (sifat Hyang Widhi sebagai pemelihara alam):

  1. Matsya awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai ikan besar yang menyelamatkan manusia pertama dari tenggelam saat dunia dilanda banjir.
  2. Kurma awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu dunia agar selamat dari bahaya terbenam saat pemutaran gunung Mandara di lautan susu oleh para Dewa untuk mencari tirta amerta.
  3. Waraha awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai badak agung yang mengait dunia agar selamat dari bahaya tenggelam.
  4. Nara Simbha awatara Hyang Widhi turun sebagai manusia berkepala singa yang membasmi kekejaman raja Hyarania kasipu yang sangat jahat.
  5. Wamana awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai orang kerdil berpengetahuan tinggi dan mulia dalam mengalahkan maha raja Bali yang sombong dan ingin menguasai dunia serta menginjak-injak dharma.
  6. Paracu Rama awatara Hyang Widhi turun sebagai Rama paracu yaitu Rama bersanjata kapak yang membasmi para ksatrya yang menyeleweng dari ajaran dharma.
  7. Rama awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai sang Rama putra raja Dasa Rata dari Ayodya untuk menghancurkan kejahatan dan kelaliman yang ditimbulkan oleh raksasa Rahwana dari negara Alengka.
  8. Krisna awatara Hyang Widhi turun sebagai Sri Krisna raja Dwarawati untuk membasmi raja Kangsa Jarasanda dan membantu Pandawa untuk menegakkan keadilan dengan membasmi Kurawa yang menginjak-injak dharma.
  9. Budha awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di Kapilavastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau nirwana.
  10. Kalki awatara yaitu penjelamaan Hyang Widhi yang terakhir yang akan turun untuk membasmi penghinaan-penghinaan, pertentangan-pertentangan agama akibat penyelewengan umat manusia dari ajaran dharma.
Sumber: Pinisepuh

Rabu, 18 November 2009

Durga Dewi 2 - Moksha

Dasar-dasar paham Tantra timbul sebelum bangsa Arya datang di India dan merupakan kepercayaan India kuno. Pada peradaban lembah sungai Sindhu, dasar-dasar paham Tantra ini telah terlihat, yaitu dalam bentuk pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Pada salah satu sloka lagu pujaan, sakti digambarkan sebagai penjelmaan kekuatan, penyokong alam semesta, sehingga dengan demikian ‘Saktiisme” sama dengan ‘Kalaisme’.

Hubungan antara konsepsi dewi dari dewi itu munculah saktiisme, yaitu suatu paham yang mengkhususkan pemujaan kepada sakti, yang merupakan suatu kekuatan dari para dewa. Pemuja sakti ini disebut dengan sakta atau sekte. Turunnya Dewi Durga ke bumi pada jaman kali untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan prilaku. Dalam masa peperangan antara suku bangsa arya dan non arya, lahirlah seorang Agung bernama Sadashiva, artinya dia yang selalu terserap dalam kesadaran dan dia yang bersumpah satu-satunya, dengan kehadirannya bahwa misinya hanyalah untuk memajukan kesejahteraan menyeluruh semua kehidupan. Sadashiva dikenal juga sebagai Shiva, adalah seorang guru rohani yang istimewa. Meskipun ajaran Tantra sudah dipraktekan sejak sebelum kelahirannya, namun beliaulah yang pertama kali mengungkapkan perkara rohani secara sistimatis bagi umat manusia.

Bukan saja Beliau adalah seorang guru spiritual, namun Beliau juga pelopor sistim musik dan tari-tarian. Oleh karena itu Beliau terkadang dikenal pula sebagai Nataraja (Tuhan penata tari). Sumbangan terbesar dari Shiva adalah pada kelahiran peradaban yang baru, juga pengenalan konsep dharma. Dharma adalah suatu kata sangsekerta yang berarti; sifat dari sananya, milik sesuatu hal.

Apakah yang menjadi sifat alamiah dan kekhasan manusia?

Shiva menerangkan, bahwa manusia selalu menginginkan lebih, lebih daripada kenikmatan yang diperoleh dari kepuasan indrawi. Beliau mengatakan bahwa manusia berbeda dengan tanaman dan binatang karena apa yang sangat diinginkan oleh manusia adalah kedamaian mutlak. Itu adalah tujuan manusia, dan ajaran Shiva ditujukan untuk memberdayakan manusia untuk mencapai tujuan itu. Ajaran Shiva disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru dikemudian waktu dituliskan ke dalam bentuk buku.

Istri Shiva adalah Parvati, sering bertanya pada Beliau mengenai berbagai pengetahuan rohani. Shiva memberikan jawabannya sebagian dalam buku-buku kuno dan itu telah hilang serta sebagian lagi ada di dalam dharma itu sendiri sehingga nilai kebenaran yang ada dalam dharma disebut dengan dharma tanpa sastra.

Di dalam ajaran Tantra satra, salah satu unsur utama dalam Tantra adalah hubungan guru dan murid. Guru adalah, atau berarti seseorang yang dapat menyingkirkan kegelapan dan Shiva menjelaskan bahwa agar diperolehnya keberhasilan rohani harus ada guru yang baik dan murid yang baik.

Shiva menjelaskan, bahwa ada tiga jenis guru:

Pertama, adalah guru yang memberikan sedikit pengetahuan namun tidak menindak lanjuti pengajarannya. Jadi sang guru pergi dan meninggalkan sang murid. Kedua, adalah sang guru mengajarkan dan mengarahkan para muridnya sebentar namun tidak selama masa yang diperlukan si murid untuk mencapai tujuan akhir. Ketiga, dalam ajaran Tantra, guru ini adalah guru terbaik yang memberikan pengajaran dan kemudian mengupayakan terus menerus agar si murid mengikuti semua petunjuk dan sampai menyadari tujuan akhir kesempurnaan manusia.

Ciri guru yang istimewa menurut petunjuk yang saya peroleh dari dewa Shiva adalah: Guru yang tenang, dapat mengendalikan pikirannya, rendah hati dan berpakain sederhana, dia memperoleh penghidupannya secara layak dan berkeluarga. Dia ahli dalam filsafat metafisik dan matang dalam seni meditasi. Dia juga tahu praktek teori pengajaran meditasi. Dia mencintai dan menuntun para muridnya. Guru yang seperti demikian disebut atau akan diberi gelar oleh Shiva yaitu; Mahakoala.

Namun meskipun ada seorang guru yang hebat, tetap saja harus ada yang dapat menyerap pelajarannya.

Dewa Shiva mengatakan kepada saya, ada tiga jenis murid:

Pertama seorang murid yang berlaku baik di depan gurunya, namun begitu gurunya pergi, murid itu tidak melanjutkan latihannya dan tidak dapat menerapkan pelajarannya dalam kesehariannya. Yang kedua, murid seperti ini adalah yang tekun saat kehadiran gurunya namun perlahan-lahan akan berkurang bahkan meninggalkan latihannya sama sekali. Dan yang ketiga, adalah murid yang paling mulia dan sempurna yang dikatakan oleh Dewa Shiva, murid seperti ini, tekun berlatih di hadirat gurunya dan terus tekun biarpun secara fisik terpisah jauh dari gurunya.

Hubungan antara guru dan murid sangatlah penting dan merupakan ciri kunci dalam mencapai moksha atau kesempurnaan. Jalan rohani sering disamakan dengan sisi tajam pisau cukur. Mudah sekali keluar dari jalur dan dengan demikian memang sulit memperoleh pembebasan. Sang guru selalu hadir untuk mencintai dan menuntun si murid pada setiap tahap upayanya untuk mencapai kesempurnaan atau moksha.

Ada empat jenis moksha yang diharapkan dalam setiap bentuk jalan rohani atau jalan spiritual:

Samipya moksha yaitu kebebasan yang dicapai pada saat semasih hidup yang dibantu oleh para rsi atau sang guru dan mampu memberikan pencerahan itu kepada umat lainnya dan mampu menerima petunjuk-petunjuk, wahyu, atau pawisik dari Tuhan dalam segala bentuk perwujudannya.

Sadarmmya moksha yaitu kebebasan yang diperoleh dari kelahirannya kembali atau reinkarnasi dari para Dewata atau Awatara wisnu seperti Awatara Krisnha, Awatara Budha Gautama, dan lain lain.

Karma mukti yaitu kebebasan yang dicapai oleh Atman itu sendiri yang telah berada dalam posisi hampir sama dengan Samipya dan Sadarmmya moksha tetapi belum dapat bersatu dengan Tuhan dalam arti belum menerima petunjuk-petunjuk, wahyu atau pawisik. Cara ini biasanya dilakukan dengan cara menggumpulkan karma-karma positip dan tekun mejalankan dharma serta tekun menjalankan meditasi dan yoga.

Purna mukti yaitu kebebasan yang tertinggi dan sempurna sehingga dapat menyatu dengan Tuhan. Dalam tahapan Purna Mukti, ada tiga jenis moksha, yaitu:

  • Nista moksha, yaitu seseorang tahu kapan akan meninggal dunia sesuai dengan aturan langit atau aturan maha suci.
  • Madya moksa, yaitu badan kita bersatu dengan Tuhan/Brahman tetapi masih menyisakan pakaian dan atribut-atribut lainnya yang berunsur duniawi.
  • Utama moksha, yaitu moksha yang paling sempurna dalam tahapan moksha yaitu bersatunya kita dengan Tuhan/Brahman dari badan sampai pakaian yang digunakan oleh yang mengalami moksha.

Dalam kesempatan berbeda Pinisepuh juga menjelaskan bahwa kejadian Utama Moksha adalah kejadian semesta. Saat mana seseorang mengalami moksha utama maka semua komponen alam menjadi aktif. Akan ada hujan mendadak dari terang menjadi mendung yang sangat pekat dan gelap. Petir dan halilintar bergemuruh dan bersahut-sahutan. Angin bertiup sangat kencang bagai badai yang sangat hebat. Pertanda alam ini adalah sangatlah khas dan tidak menjadikan bencana bagi umat manusia namun bagi manusia wikan akan sangat paham dan berkata: “Ada seseorang tengah mencapai kesempurnaan dalam hidupnya dan menyatu dengan Brahman. Ada seseorang yang mengalami Moksha”.

Pada kesempatan lainnya juga saya bertanya kepada Pinisepuh, bagaimana sebenarnya proses moksha utama tersebut. Diterangkan bahwa, proses moksha yang diketahui adalah seseorang dalam meditasinya akan mengalami tubuh yang mengecil dan terus mengecil sampai badan kasar dari manusia tersebut hilang dari pandangan mata biasa. Namun diceritakan pula bahwa, jaman dahulu ada banyak juga dari aliran kiri yang mencapai tingkatan tinggi dalam pengetahuannya melakukan meditasi dan mencapai moksha. Tetapi dari aliran kiri, pada proses pengecilan raga ada yang gagal menyatu dengan Brahman. Pada proses moksha tersebut berhenti pada ukuran tubuh tertentu, seperti yang pernah saya lihat di pameran yaitu sepanjang lebih kurang 10 centimeter. Badan kasar atau raga menjadi berwarna hitam. Jaman sekarang banyak terdengar istilah seperti ‘Jenglot’ atau sebagian dikenal juga dengan nama ‘Bhatara Karang’. Sebenarnya, Jenglot dan Bhatara Karang adalah manusia yang gagal dalam proses mencapai moksha. Dipercaya juga kalau benar cara memperlakukan Jenglot ini, maka akan bisa melindungi yang memilikinya.

Kembali kepada ajaran Tantra, bahwa dalam Tantra dinyatakan, menghadapi kemelutnya hidup di jaman kali yuga ini adalah dengan memprioritaskan pemujaan sakti sebagai manifestasi Tuhan. Sakti adalah Tuhan. Karena pada jaman kali ini semakin kuat sinergi antara guna rajas dan guna tamas. Hal ini menyebabkan manusia itu hidup dengan gaya ingin hidup enak dan bersenang-senang, tetapi dengan bermalas-malasan. Dalam Tantra mengajarkan hidup enak itu baik tapi jangan seenaknya. Capailah hidup enak dengan cara bekerja keras. Seseorang bisa bekerja keras apabila potensi yang ada dalam dirinya benar-benar bangkit. Dewi Durga adalah simbul semua kekuatan penciptaan. Kekuatan gabungan akan muncul jika kekuatan jahat mengancam keberadaan ciptaan-Nya. Jadi Dewi Durga akan menghancurkan ketidakharmonisan atau kejahatan serta akan menciptakan kembali keadaan yang harmoni karena keberadaan Dewi Durga adalah untuk menciptakan dharma.

Jadi petunjuk-petunjuk yang saya peroleh hanya sebatas menuntun dan memperingatkan umat manusia agar tetap ingat dan tetap melaksanakan ajaran dharma karena beliau Sang Hyang Sadashiva sudah menjelaskan kepada saya bahwasanya di jaman Kali Yuga ini, manusia sudah melupakan sifat dharma di dalam kehidupan kesehariannya. Sebagai contoh, di dalam dharma, dijelaskan ada tiga dasar dharma dalam kehidupan manusia yang harus dilaksanakan, yaitu : Filsafat, Etika dan Ritual. Jaman sekarang, manusia sudah banyak melupakan tiga dasar dharma itu.

Sumber: Pinisepuh Agung

Minggu, 15 November 2009

Durga Dewi 1 - Trisakti

Idha Bhatari Durga adalah perwujudan dewi kasih sayang yang melindungi alam semesta. Idha Bhatari Durga adalah perpaduan Siwa-Parwati, akan tetapi lebih condong menonjolkan sifat keibuannya atau kewanitaanya yang diperlihatkan, karena hanya ibu yang dapat memberikan kasih sayang kepada seluruh alam semesta ini.

Peran ibu di dalam kehidupan sehari-sehari sangatlah penting karena dalam tatanan kehidupan keluarga dan dalam kehidupan manusia, ibu adalah segala-galanya. Karena sosok wanita adalah sedemikian mulianya dalam tatanan manusia dan juga alam Dewa sehingga Shakti daripada para Dewa adalah istri dari para Dewa itu sendiri.

Sebagai contoh:
1. Sakti dari pada Dewa Brahma adalah Dewi Saraswati
2. Sakti dari pada Dewa Wisnu adalah Dewi Laksmi
3. Sakti dari pada Dewa Siwa adalah Dewi Parwati/Dewi Uma

Sakti-sakti para Dewa itu di atas disebut dengan Tri Sakti. Mengapa harus istri-istri para Dewa disebut sakti karena sakti yang paling tinggi atau yang paling mulia di alam semesta ini adalah kasih sayang. Karena kasih sayanglah alam semesta ini dapat terjaga dari kemurkaan dan ego dari energi-energi negatif alam semesta. Ketiga Dewi atau Sakti dari tiga Dewa atau Trimurti disebut Trisakti atau Gayatri Dewi, karena Sakti atau ketiga Dewi adalah yang memegang dan menguasai ketiga alam semesta, yaitu; Bhur, Bhuwah, Swah.

Penguasaan alam:

  • Bhur, dikuasai oleh Dewi Parwati yang disimbolkan sebagai Dewi yang menguasai budaya dan kesenian.
  • Bwah, dikuasai oleh Dewi Laksmi yang disimbolkan sebagai Dewi yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan kesuburan.
  • Swah, dikuasai oleh Dewi Saraswati yang disimbolkan sebagai Dewi yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.


Peran Gayatri Dewi dalam kehidupan manusia dan alam semesta ini sangatlah penting oleh karena itu para Dewi ini harus sangat dihormati dan disembah karena para Dewi inilah yang menyeimbangkan alam semesta.

Akan tetapi, khususnya di Bali kata ‘sakti’ diidentikan dengan yang berbau mistik atau mejik atau seseorang yang mempunyai kemampuan mistik disebut sebagai ‘sakti’. Padahal dalam sastra dan kitab sutra mengatakan, sakti adalah ilmu pengetahuan yang paling tinggi dan sakti yang paling tinggi dan yang paling mulia adalah kasih sayang. Maka pada hakikatnya, kita sebagai manusia agar bisa memberikan kasih sayang kepada umat manusia lainnya dan juga alam semesta ini agar mendapat kedamaian dan ketentraman di bumi. Kita sebagai umat manusia hendaklah bisa berpikir positip selalu karena dari berpikir positip, kita, manusia, bisa memberikan kasih sayang kepada seluruh alam semesta ini. Pencerahan ini adalah sangatlah penting untuk umat, karena sesungguhnya Idha Bhatari Durga Dewi adalah yangg melindungi kita dari kematian dan kehancuran.

Perwujudan Idha Bhatari Durga adalah kesempurnaan perwujudan kasih sayang karena dari perwujudan Gayatri Dewi atau perpaduan ketiga Dewi (Sakti). Perwujudan Idha Bhatari Durga adalah yang paling sempurna, karena mempunyai kewenangan melindungi marcapada dari segala marabahaya dan kematian. Idha Bhatari Durga salahsatunya diwujudkan sebagai Dewi yang sangat cantik bernama Dewi Bertangan Seribu serta duduk di atas Singa. Di Bali, perwujudan tersebut dikenal dengan sebutan Dewi Durga Nawa Ratri, yaitu kemenangan dharma melawan adharma, yang dalam tatanan hari suci sering disebut dengan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Pada hari raya tersebut Dewi Durga Nawa Ratri sedang memenangkan dharma atau kebaikan dari sifat adharma atau kejahatan yang terjadi di alam semesta ini. Dan tepat di Hari Raya Kuningan adalah hari kebahagian untuk alam semesta karena Idha Bhatari Durga Dewi sedang turun ke bumi untuk melindungi para umatnya yang berbakti kepada Beliau serta menganugrahkan kasih sayang kepada seluruh alam mercapada dan isinya.

Idha Bhatari Durga disebut juga sebagai Candi, dari sinilah pada mulanya timbul istilah Candi (Candikagrha) untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja para Dewa dan roh yang dianggap suci. Serta, peran Idha Bhatari Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran baik moral dan perilaku disebut dengan KALIMOSADA (kali-Maha-Husada) yang artinya Dewi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam Zaman kekacuan moral, pikiran dan perilaku. Misi Beliau turun ke bumi disebut KALIKA DHARMA.

Dewi Durga dalam ajaran Tantra adalah Ibu kebajikan, dipuja tidak saja oleh para Dewa tetapi juga Iblis dan Setan. Sedangkan pada kisah Ramayana, juga diceritakan bahwa Rama memuja Dewi Durga untuk dapat membunuh Rahwana. Kemudian dalam kisah besar Mahabrata, Kresna memuja Dewi Durga untuk dapat mengalahkan Kurawa. Sedangkan Dewa Wisnu sendiri memuja Dewi Durga sebagai Yoga Maya-nya Wisnu. Dewi Durga juga dipercaya sebagai Mahamaya, akar sebab dan bentuk dunia, serta dalam Durga Saptathi, Durga memiliki 108 nama yang diyakini sebagai Ibu Pencipta.

bersambung... Durga Dewi 2 - Moksha

Sabtu, 07 November 2009

Ida Bhatara Jogor Manik

Di Nusa Penida ada sebuah pura dengan nama pura Puncak Mundhi dan yang berstana adalah Ratu Ayu sebutan dari Ibu Durga Dewi yang menguasai kematian. Di sebelah pura Puncak Mundhi adalah pura Dalem yang bernama Pura Dalen Kerangkeng. Menurut Pinisepuh, Pura Dalem Kerangkeng adalah semacam penjara atau kerangkeng yang diperuntukkan bagi roh-roh manusia yang semasa hidupnya melakukan kejahatan atau untuk manusia yang berbuat jahat melebihi dari jahatnya para bebutan-bebutan atau buta kala.

Yang melinggih di pura Dalem Kerangkeng adalah Ida Bhatara Jogor Manik. Ida mempunyai alat yang super canggih yang tidak dimiliki oleh manusia. Ida bisa melihat siapa dan dimana manusia itu berada serta apa yang dilakukannya. Ida Bhatara Jogor Manik juga adalah yang bertugas mencatat kapan waktu kematian seseorang di muka bumi ini. Dalam melaksanakan tatanan kewenangannya, Ida mempunyai empat pengawal yang akan bertugas menjemput dan mengantar roh-roh manusia.

Ida Bhatara jogor manik juga berstana di pura Dalem Puri, Besakih. Karena Ida mengetahui perbuatan-perbuatan manusia semasa hidup di bumi dan apabila waktu hidup dulu pernah membuat kejahatan melibihi kejamnya para bebutan-bebutan yang dikuasai oleh Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling maka roh manusia tersebut dari pura Dalem Puri langsung di antar ke pura Dalem Kerangkeng untuk menjalani sebuah hukuman tergantung dari berapa besar karma buruk yang diperbuat semasa hidupnya. Kalau roh manusia sudah sampai masuk ke dalam pura Dalem Kerangkeng maka manusia tersebut akan sulit untuk bereinkarnasi atau lahir kembali ke dunia.

Semoga pengetahuan ini tidak menjadi polemik, karena Sang Hyang Widhi Wasa dalam agama Hindu menurunkan berbagai macam manifestasi dan bermacam tugas jadi hormati dan hargailah Beliau sebagai penguasa kematian di jagat raya ini.

Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling

Dari perkawinan I Renggan dengan Ni Merahim, lahirlah dua orang anak, satu laki-laki, yang satunya adalah perempuan. Yang laki-laki bernama I Gede Mecaling dan yang perempuan di beri nama Ni Tole, dan Ni Tole kemudian menjadi permaisuri Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa Penida. Sedang I Gede Mecaling mempunyai seorang istri yang bernama Sang Ayu Mas Rajeg Bumi.

I Gede Mecaling sangat senang melakukan tapa brata yoga semadhi di Ped, pengastawaanya ditujukan kepada Ida Bhatara Ciwa dan karena ketekunannya Ida Bhatara Ciwa berkenan turun ke bumi untuk memberikan panugrahan berupa Kanda Sanga. Kemudian, setelah mendapat panugrahan kanda sanga phisik I Gede Mecaling menjadi berubah. Badannya menjadi besar, mukanya menjadi menyeramkan, taringnya menjadi panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya. Sedemikian hebat dan sangat menyeramkan, maka seketika itu juga jagat raya menjadi guncang. Kegaduhan, ketakutan, kengerian yang disebabkan oleh rupa, bentuk dan suara yang meraung-raung siang dan malam dari I Gede Mecaling membuat gempar di mercapada.

Melihat dan mendengar yang demikian, para dewa pun ikut menjadi bingung karena tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kesaktian I Gede Mecaling. Bahkan sesungguhnya para dewa tidak ada yang bisa menandingi, tidak ada yang bisa mengalahkan kesaktian I Gede Mecaling yang bersumber pada kedua taringnya yang telah dianugrahkan oleh Ida Bhatara Ciwa. Akhirnya turunlah Ida Bhatara Indra untuk berusaha memotong taring I Gede Mecaling. Setelah taring I Gede Mecaling berhasil dipotong barulah I Gede Mecaling berhenti menggemparkan jagat raya. Setelah itu I Gede Mecaling kembali melakukan tapa brata yoga semadhi, pengastawanya di tujukan kepada Ida Bhatara Rudra dan Ida Bhatara Rudra pun berkenan turun ke bumi untuk memberikan panugrahan kepada I Gede Mecaling berupa panca taksu, yaitu:

1. Taksu balian,
2. Taksu penolak grubug,
3. Taksu kemeranan,
4. Taksu kesaktian,
5. Taksu penggeger.

I Gede Mecaling menjadi raja setelah Dalem Sawang wafat karena berperang dengan Dalem Dukut. Dengan demikian I Gede Mecaling memimpin semua wong samar dan bebutan-bebutan yang ada di bumi. Juga pada akhirnya I Gede Mecaling diberi wewenang oleh Ida Bhatari Durga Dewi untuk mencabut nyawa manusia yang ada di bumi.

I Gede Mecaling juga diberikan wewenang sebagai penguasa samudra. Karena menguasai samudra sering juga disebut Ratu Gede Samudra. Gelar I Gede Mecaling yang diberikan oleh Ibu Durga Dewi yaitu Papak Poleng dan permaisurinya Sang Ayu Mas Rajeg Bumi diberi gelar Papak Selem. I Gede Mecaling moksha di Ped dan istrinya moksha di Bias Muntig. Keduanya sekarang sebagai penguasa di bumi Nusa Penida dan mendapat wewenang sebagai penguasa kematian. Maka bagi umat yang ingin umurnya panjang, sehat, selamat dan lain-lain memohonlah kepada Beliau I Gede Mecaling yang akhirnya bergelar Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling.

Akan tetapi karena sering ke Bali dan bertemu dengan Ida Bhatari Ratu Niang Sakti, akhirnya Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped juga menjadi Pengabih Ida Bhatari Ratu Niang Sakti. Tidak dapat dijelaskan pada tulisan ini alasan-alasan yang lebih khusus karena etika suci.

Silsilah Nusa Penida



  • Ki Dukuh Jumpungan >Melinggih: Pura Pucak Mundi >Gelar: Bhatara Siwa
  • Ni Luh Puri >Melinggih: Goa giri putri, Pura Batu Melawang dan Pura Pucak Mundi >Gelar: Durga Dewi, Dewi Parwati, dll.
  • Dewi Rohini >Melinggih: Pura Goa Lawah
  • I Merja >Melinggih: Batu Bueya
  • Ni Luna >Melinggih: Pura Batu Banglas
  • I Renggan >Pura Bakung >Gelar: Ratu Gede Pengrurah
  • Ni Merahim >Melinggih: Pura Dalem Bungkut
  • I Mecaling >Melinggih: Pura Dalem Ped >Gelar: Papak Poleng, Ratu Gede Samudra, Ratu Gede Mas Mecaling
  • Sang Ayu Mas Rajeg Bumi >Melinggih: Pura Dalem Bias Muntig >Gelar: Papak Selem
  • Ni Tole >Melinggih: Pura Penataran Agung, Padang bai >Gelar: Ratu Ayu Mas Maketel
  • Dalem Sawang >Melinggih: Pura Penataran Agung Padang Soma
  • I Gotra >Melinggih: Pura Manik Mas
  • Ni Lumi >Melinggih: Pura Manik Mas
  • I Undur >Melinggih: Pura Buhu
  • I Darmain >Melinggih: Pura Sakenan >Gelar: Papak Selem
  • Ni Diah Ranggaeni >Melinggih: Pura Sakenan >Gelar: Papak Selem
  • Ni Luh Nanda >Melinggih: Pura Penida >Gelar: Mas Manik Maketel
  • I Bangsul >Melinggih: Perempatan bingin Lembongan
  • Ni Ratmaya >Melinggih: Pura Ancak Sari
  • Dewi Rohini >Melinggih: Pura Goa Lawah

Di Nusa Penida, masih banyak yang melinggih, diantaranya adalah:
  • Ida Bhatara Jogor Manik
  • Ida Bhatari Ratu Niang Sakti
  • Ida Bhatara Ratu Bagus Ketut
  • Ratu Gede Dalem Bungkut