Jumat, 14 Agustus 2009

Ciwa Budha - Konsep Dasar

Mpu Tantular yang hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk membuat satu karya sastra yang disebut Kakawin Sutasoma yang mana telah digali isinya sebagai dasar perkembangan rasa persatuan umat Budha dan umat Ciwa. Juga adalah kakawin yang baitnya diambil sebagai motto negara Indonesia.

Bait bertuah Kakawin Sutasoma:

Hyang Budha tampahi Ciwa raja dewa
Rwaneka dhatu winuwus, wara Budha wecwa
Bheneki rakwa ring apan keno parwanosen
Mangka jinatwa lawan Ciwatatwa tunggal
Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

(Ini hasil perenungan pinisepuh. Isi mohon jangan dibandingkan dengan sumber lain karena saya sendiri kaget bahwa bait ini hampir seratus persen sama dengan sumber lain. Yang beredar di umum tanpa baris pertama. Bagi saya ini satu ke ajaiban, bahwa pinisepuh yang masih belia bisa mendiktekan bait ini!)

Ardhanareswari
Ciwa diwujudkan dengan lambang Ongkara
Sedang Budha dilambangkan dengan Hrih.
Hyang Tunggal, Zat yang Satu terjadi dari dua senyawa yaitu Purusha (laki-laki) dan Pradhana (wanita) yang dapat mati, terjadi dari ruang dan zat materi. Dua senyawa ini disebut Rwabhineda. Dalam ajaran Ciwa dinamai Ciwa – Parwati (Uma) sedangkan dalam ajaran Budha dinamai Adwaya – Prajnyamitha. Rwabhineda itu disebut dengan Ardhanareswari yaitu Bapak dan Ibu atau Ciwa (bapak) dan Budha (ibu).

Mpu Prapanca dalam karyanya Negara Kertagama mengungkapkan bahwa Raja Kertanegara (Raja Singosari) pada saat mangkat atau meninggal dimakamkan dalam bentuk patung J’na yang sangat indah yang kemudian juga dikenal dengan Ardhanareswari yaitu Ardana dengan Iswari, Raja dengan Tara-nya yang tiada lain adalah patung Ciwa-Budha, patung J’na yang menggambarkan seorang Ardhanari sebagai Dwi tunggal Wairocana Locana.

Acintya
Kemudian, Ardhanareswari Murti adalah wujud dari Bhatara Ciwa dan Dewi Parwati yang berbadan setengah pria (ardha) dan setengah wanita (nari) juga berwujud Acintya yang menyatakan tidak laki-laki dan juga tidak perempuan yang juga disebut Ana Tan Hana yang ada tetapi tidak ada.



Dewa Kemakmuran

Dalam ikonografi klasik patung Ardhanareswari disebut juga Harihara. Hari sebagai unsur pria (Purusha) dan Hara sebagai unsur wanita (Pradhana) dan persatuan dari Purusha dan Pradhana ini terwujud sebagai Hyang Tunggal. Dan dalam wujud yang lain yang akhirnya dalam masyarakat Bali, penyatuan Sri dan Sedhana dikenal sebagai Bhatara Rambut Sedana (Dewa Kemakmuran) yang sering juga disimbolkan dengan patung-patung atau archa atau pratima kecil yang terbuat dari uang kepeng dengan muka (pererai) terbuat dari kayu cendana yang dilinggihkan di pura merajan sebagai patung-patung Leluhur.

Sifat Ardhanari memegang peranan penting dalam Kala Cakra Tantra sebagai Adhi Budha Wajra Dhara yang artinya sebagai pembawa Lingga-Budhis dalam mana kedudukannya di alam Adhi Budha di Sunyaparamananda yakni Ketiadaan yang nyata adalah kebahagiaan yang tertinggi.

Mpu Kuturan
Dalam perkembangan berikutnya Mpu Kuturan membuat konsep pemujaan kepada Hyang Tunggal yang akhirnya dipakai sebagai pakem pemujaan Hindu Dharma atau Ciwa Budha di Bali yaitu dengan membuat simbol Tapak Dara, garis horisontal (mendatar) dan garis vertikal (atas bawah) yang bergabung atau tanda ‘+’. Simbol dari Lingga dan Yoni.

Horisontal adalah Budha dan Vertikal adalah Ciwa. Horisontal dikenal dengan Tri Murti dan Vertikal dikenal dengan Tri Purusha.
Tri Murti: yaitu Brahma Wisnu Iswara – Budha – Rong tiga
Tri Purusha: Ciwa, Sadaciwa, Paramaciwa – Ciwa – Padmasana

Akan dijelaskan lagi dalam tulisan lainnya yang membahas Mpu Kuturan.

Gambar kredit: japasemadi.files.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar