Senin, 03 Agustus 2009

Konsep dasar pemujaan di pura-pura

Tak disangka bahwa selama ini saya begitu tidak mengetahui perihal Ida Betara yang melinggih di pura-pura. Baik di pura merajan maupun pura Dhang Kahyangan atau pura Kahyangan Jagat. Saking kurangnya pengetahuan, menjadi merasa takut kalau melakukan kebaktian pada pura-pura tersebut. Apalagi di malam hari yang sepi dan pada dina kliwon.

Setelah mengetahui sedikit demi sedikit bahwa sebenarnya yang melinggih atau berstana di pura-pura adalah para Leluhur manusia Bali dan Nusantara, maka ketakutan tersebut berubah menjadi semacam kedekatan. Merasa ada hubungan darah sehingga kebaktian atau pemujaan bukan lagi kepada sesuatu yang sama sekali tidak diketahui. Beliau para Leluhur adalah Bapak dan Ibu manusia Bali yang telah di-Linggihkan pada pura-pura Perhyangan.

pura smeru di lumajang
Konsep pura dalam hal ini bisa dikatakan sebagai konsep makam para Leluhur. Konsep ini dimulai dengan adanya candi-candi yang berkembang sejak jaman Kerajaan Majapahit. Raja yang mangkat atau meninggal pada jaman majapahit diperabukan atau dilakukan ritual pelebon kemudian roh Beliau di-Enteg Linggihkan di Candi-candi. Dalam waktu berikutnya, keturunan daripada Raja-raja yang telah meninggal tersebut akan membuat persembahan pada candi-candi tempat para Leluhur di-Linggihkan. Akhirnya di Bali sendiri membuat pura-pura dan bentuk pelinggih tertentu yang merupakan manifestasi dari para Leluhur tersebut. Atau pelinggih yang merupakan simbol dari para Leluhur di mana pada hari-hari tertentu umat Bali melakukan persembahyangan atau persembahan atau dalam konsep yang lebih mendasar yaitu konsep nyekar ke makam. Dalam nyekar yang digunakan adalah sekar atau bunga. Sedangkan dalam konsep pemujaan kepada Leluhur digunakan banten. Banten yang beraneka macam adalah bahasa atau jembatan atau sarana komunikasi kepada Beliau para Leluhur tergantung dari maksud persembahan atau nyekar tersebut. Banten juga adalah wakil dari pada mantra. Dalam sastra banten juga sering disebut sebagai weda tanpa mantra.

Dengan konsep perabuan atau pelebon atau kremasi yang kemudian di-Linggihkan dalam candi atau pura maka ini berarti para Leluhur kita umat Ciwa-Buddha atau Hindu-Dharma akan dengan mudah kita kenali yaitu dengan menemukan situs para Leluhur, yaitu dari keberadaan pura atau candi dan bukan dari makam.

Konsep pemujaan kepada Leluhur ini di Bali masih lestari sampai sekarang. Begitu ada orang meninggal dilakukanlah upacara pengabenan yang kemudian diikuti acara ngelinggihang pada akhir prosesi. Dikemudian hari anak cucu akan melakukan persembahan pada hari-hari piodalan. Sedangkan di Jawa sejak kerajaan Majapahit runtuh, konsep me-Linggihkan pada candi tidak lagi dilakukan karena masyarakat telah memeluk agama Islam yang berkonsep makam dan nyekarnya.

Jadi sebagai umat Ciwa-Buddha, mengenali dan mengetahui Leluhur yang melinggih pada pura-pura yang dikunjungi adalah sangat penting karena tujuan dari persembahyangan adalah memuja Beliau yang melinggih pada pura tersebut. Juga dalam situasi khusus, menurut para pendamping spiritual saya terkadang mengetahui kesenangan Ida Betara yang kita kunjungi dan melinggih di satu pura adalah hal yang sangat penting. Untuk mengetahui kesenangan-kesenangan Ida Betara biasanya bisa ditanyakan kepada para pengempon atau pemangku pura yang bersangkutan.

Sebagai contoh: kalau melakukan persembahan di pura Besakih di pelinggih Ida Betara Ratu Syahbandar maka persembahan kepada Beliau adalah Vegetarian. Tidak ada persembahan dalam bentuk daging. Jadi cukup kue-kue yang dibuat juga tanpa daging atau telor dan buah-buahan. Bunga yang baik adalah bunga teratai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar