Minggu, 02 Agustus 2009

Perjalanan mencapai nasib baik

Entah semua orang memiliki sifat dan keinginan memperbaiki akhlak dalam hidupnya seiring berjalannya waktu. Apakah setiap orang menginginkan mengalami kebaikan-kebaikan dalam hidupnya? Terkadang dalam perenungan, di saat sore hari setelah lelah menempuh perjalanan pada hari itu saya bertanya tentang hal-hal tersebut.

Di umur yang tidak lagi ABG, terkadang ingin rasanya menjadi seseorang. Seseorang itu misal saja Bakrie kalau tengah menginginkan harta kekayaan yang melimpah. Membayangkan bagaimana rasanya mengenyam kehidupan glamor kalau mempunyai harta sebanyak harta keluarga Bakrie Brothers. Pikiran terombang ambing tidak tentu arah ibarat kapal kecil di dalam samudra luas kalau sudah membayangkan harta kekayaan. Banyak rencana mulia yang tersirat tetapi dipenuhi kebodohan. Keinginan membantu keluarga, menyumbang ke yayasan-yayasan sosial yang memerlukan, membangun atau memperbaiki tempat-tempat suci yang membutuhkan pembangunan. Itulah sebagian rencana-rencana mulia yang ada dibalik kebodohan pikiran kalau saja sekarang memiliki harta kekayaan yang melimpah. Padahal sebenarnya rencana mulia itu hanyalah untuk menutupi sifat pemenuhan ego saja. Suatu kebodohan yang tak pernah pergi selama masih belum diusir. Tentu yang diutamakan saat punya harta sebanyak itu yaitu beli rumah mewah dulu, mobil mewah, karyawan yang cantik yang mau diajak tidak senonoh. Pamer ke saudara atau teman-teman. Mementingkan memuaskan panca indra yang akan dilakukan pertama kali.

Akhirnya setelah sekian tahun menjalani hidup yang hampir sama, menyadari kebodohan-kebodohan dan kebohongan-kebohongan tersebut, yang walau hanya terjadi dalam perenungan, tetap disebut sebagai sebuah kesalahan yang fatal. Satu surat tidak akan mungkin ditujukan ke dua alamat berbeda. Kemuliaan tak akan bisa murni kalau masih bercampur ego pribadi. Akhirnya secara terpaksa memilih sebagai diri sendiri seperti sekarang ini dan memulai mengerjakan hal-hal kecil yang berguna bagi orang sekitar. Tidak menunggu harta kekayaan sebanyak itu untuk menolong orang.

Saya akhirnya kerap mempelajari sejarah perjalanan saya sendiri pada tahun-tahun sebelumnya. Banyak sekali yang sudah terjadi tanpa disadari kalau tidak direnungkan. Ada yang sangat memberi kegembiraan ada juga yang sangat menakutkan. Yang memberi kegembiraan adalah saat mana telah mendapat pujian dan pengakuan dari orang-orang karena berhasil mencapai sesuatu yang mereka belum bisa capai. Namun setelah mendapat pujian tersebut, beberapa saat kemudian saya mengalami ketakutan yang sangat menyiksa lubuk hati yang paling dalam. Mampukah mempertahankan pencapaian tersebut?

Mengenang kata 'perjalanan' adalah membayangkan seseorang berjalan di atas jalan raya. Tidak selamanya jalan tersebut lurus. Tidak selamanya jalan tersebut menanjak. Tidak selamanya jalan tersebut datar. Tidak akan pernah pada situasi yang sama walau waktu perjalanan hanya berjalan satu detik. Bahwa dalam perjalanan tidak juga sendirian. Ada pemakai jalan lain dengan tujuan belum tentu sama. Dengan kepasrahan, welas asih yang terus dikembangkan akan mampu menghibur diri di saat-saat jalanan turun dan tidak sombong di saat mampu melewati jalanan yang menanjak.

Ketenangan diri dan sifat welas asih sangat disenangi oleh Sang Hyang Pramakawi atau Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam berbagai wujud manifestasinya. Pencapaian tertinggi akan banyak godaannya kalau tidak didampingi oleh sifat-sifat yang disenangi oleh Beliau Ida Betara. Perjalanan manusia adalah atas dasar restu Beliau.

2 komentar: