Minggu, 23 Agustus 2009

Kacunduk – Mangkir... Celaka!

Sebagai seorang pemeluk Hindu Dharma atau Ciwa Budha yang kemudian mendapat titah untuk menjadi abdi Ida Bhatara Kawitan dan kacunduk atau ‘kesenengan’, di saat tengah menikmati sebagai manusia modern, awalnya adalah hal yang sangat susah diterima karena ruang gerak sudah pasti akan sangat terbatas. Tidak semua tempat membuat nyaman dan boleh untuk dikunjungi.

Saat menulis ini, saya tengah menjalani tirta yatra dan melukat di banyak pura. Tengah menanti saat yang tepat untuk melakukan upacara Pawintenan sebagai abdi Beliau Ida Bhatara.

Mangkir... Celaka!
Maunya, saya ingin menghindari ini sebagai sesuatu yang harus dilakukan dan dijalani karena saya masih sibuk menjalankan usaha serta kesibukan lain yang mungkin akan mengganggu kegiatan sebagai seorang pelaku spiritual. Tetapi banyak sekali saya ditunjukkan kejadian-kejadian aneh dan sangat buruk atas fakta penolakan sebagai orang yang terpilih.

Ada seseorang yang rumahnya terbakar karena kompor meledak, istrinya masuk rumah sakit dan sampai saat saya tulis ini, keadaan keluarga tersebut masih kacau, ini karena sang bapak menolak untuk ‘ngiring’. Ada teman lain yang mempunyai penyakit aneh seperti gatal di sekujur tubuh yang tak tersembuhkan obat dokter serta kebotakan yang dialami oleh anggota keluarga wanita, di mana sebenarnya karena sang Ibu menolak untuk menerima titah ‘ngiring’. Ada juga kematian-kematian yang tidak wajar. Tentu saja ini diketahui setelah mereka-mereka yang kena musibah menanyakan kepada sesepuh yang tahu.

Gejala sebelum kacunduk
Beberapa bulan kebelakang hidup saya terganggu dengan penyakit mag. Semakin hari rasa sakitnya tambah parah. Karena asam lambung sudah sangat tinggi ada gas yang balik ke dada dari perut. Kata dokter langganan gas lambung saya sudah reflux ke dada. Kalau sakit mag sudah sampai ketahapan ini maka irama jantung seperti orang mengalami keadaan terkejut. Karena cemas mengira ini sakit jantung saya periksa ke dokter akhli jantung tetapi dokter bilang saya baik-baik saja. Tetapi saya merasa tetap tidak sehat dan detak jantung iramanya tidak baraturan yang tentu saja membuat saya takut dan panik.

Istri saya jauh hari berpikir bahwa saya ini kena sakit nonmedis. Istri saya adalah seorang dokter umum tentu saja paham dengan hasil pemeriksaan medis para dokter akhli. Sebagai orang Bali istri saya menyarankan menempuh jalan alternatif. Tetapi saya juga sangat yakin ini bukan sakit nonmedis karena setiap kali saya bercermin aura saya tampak bagus dan baik-baik saja. Tidak ada warna ciri dasar orang sakit nonmedis. Nonmedis saya artikan sebagai kena ‘black magic’. Hawa di sekitar saya juga tidak terasa ada hawa gaib yang jahat. Mata batin juga tidak menangkap sinyal mahluk gaib yang jahat. Kemampuan-kemampuan ini saya dapat karena saya rajin meditasi Gayatri.

Akhirnya dalam meditasi saya sering menyalurkan energi kesehatan. Beberapa saat memang terasa baikan tetapi tidak lama. Dalam meditasi yang lain saya memohon petunjuk kepada Beliau Sang Hyang Paramakawi dan Ida Bhatara Kawitan, kemana seharusnya saya berobat untuk menyembuhkan sakit saya ini. Yang aneh dari sakit ini adalah kalau saya melakukan meditasi, sakit ini tidak pernah muncul.

Bertemu dengan Pinisepuh
Akhirnya saya menerima saran istri untuk mengunjungi salah satu balian ngiring untuk mengobati saya. Tetapi waktu saya berkunjung ke tempat beliau adalah kejadiannya sangat aneh. Beliau juga sedang sakit dan tidak bisa ‘ngunggahang banten’. Istri saya menelepon seorang teman yang kebetulan juga mempunyai saudara penekun spiritual yang katanya sangat baik dan ngiring banyak sekali Ida Bhatara.

Akhirnya kami meneruskan perjalanan ke rumah teman, setelah sampai dan menunggu beberapa saat akhirnya ada seorang pemuda tanggung mengetuk pintu yang kemudian masuk sendiri tanpa menunggu tuan rumah membukakan pintu. Dalam bayangan saya Pinisepuh pasti seorang yang sudah tua sehingga saya tidak memperhatikan kedatangan pemuda ini. Tetapi teman bilang bahwa itulah adiknya, sang penekun spiritual. Kemudian pemuda belia tersebut bertanya: “Bli yang sakit ya? Tetapi saya tidak bisa memberi petunjuk di sini karena ini ada hubungannya dengan Leluhur Bli. Saya ingin mempertemukan Leluluhur Bli dengan Leluhur saya. Nanti malam saja di Jeroan ya, ini bukan sakit black magic kok.” Rasanya senang mendengar bahwa saya tidak kena sakit nonmedis seperti dugaan istri saya akan tetapi penuh dengan tanda tanya besar bahwa ini ada hubungannya dengan Leluhur.

Akhirnya, malam hari itu saya mengunjungi rumah saudara teman ini, yang kemudian saya sebut sebagai Pinisepuh, membawa banten yang diperlukan. Setelah melakukan ritual akhirnya Pinisepuh memberitahu bahwa saya sudah ‘kesenengan’ dari dulu. Memang seingat saya waktu remaja pernah sakit alasannya sama yaitu akan ‘kacunduk’. Dan pada hari itu Pinisepuh memberitahukan bahwa saya harus ngiring Ida Bhatara Lingsir di Pura Kawitan, maka sakit ini bisa sembuh! “Bagaimana Bli, apa siap ngiringan Ida Bhatara?” Tanya Pinisepuh.

Sebenarnya antara senang dan ragu perasaan saya saat itu. Senang karena menganggap hal tersebut sebagai bonus dari keseriusan saya melakoni spiritual selama ini. Tetapi ada keraguan, apakah seorang pemangku bisa juga melakoni kehidupan sebagai seorang pengusaha secara bersama-sama. Tetapi Pinisepuh bilang tidak ada apa-apa. Dalam artikel ‘spiritual dan kekayaan’ saya sudah menceritakan ini panjang lebar. Tidak ada yang salah apalagi melarang karena roda ekonomi tetap harus berputar. Kalau seratus persen orang melakoni kehidupan spiritual dan tidak boleh melakukan usaha, lalu makan apa manusia-manusia ini? Kata Pinisepuh dengan mimik meyakinkan. Tetapi tentu saja harus tahu diri usaha apa yang boleh agar kesucian terjaga. Pinisepuh menunjukkan bahwa ada beberapa pemangku yang punya hotel, tetapi mereka tidak aktif lagi secara langsung mengurus bisnis tetapi mendelegasikan wewenang ke manajer-manajernya. Pinisepuh menunjukkan banyak contoh lainnya yang ternyata banyak sekali pengusaha yang tetap berhasil juga melakoni ‘ngayah’ atau berbakti sebagai pemangku.


Tirta Yatra
Setelah penjelasan yang sederhana dari Pinisepuh, saya menerima ‘kacunduk’ dengan perasaan lega. Dan penyakit yang saya derita entah raib kemana menghilang sampai sekarang. Beberapa hari kemudian saya mengunjungi salah satu pelingsir saya di Seririt, Buleleng. Beliau adalah juga pelaku spiritual tetapi berjalan atas petunjuk sastra lontar. Setelah saya mengutarakan bahwa saya akan mewinten Beliau memberi panduan khusus sesuai dengan Tastra Lontar yaitu ada syarat yang harus dilakukan agar benar-benar mendapat restu dari Beliau Ida Bhatara. Sebelum syarat umum ada syarat lain yang harus dilakukan yaitu melukat di beberapa tempat dan melakukan kunjungan dan bersembahyang ke pura tertentu, yaitu:

  1. Melukat di Segara memohon berkat ke Beliau Ida Bhatara Putering Jagat, Ida Bhatara Baruna dan Ida Bhatara Wisnu.
  2. Melukat di Pura yang ada Tirta Pingit. Saya melukat di beberapa tempat salah satunya adalah di Pura Petirtan, Ulun Dhanu, di Songan, Batur.
  3. Bersembahyang di pura Besakih. Mohonlah restu kepada Beliau para Leluhur. Lihat artikel ‘Pelinggih Leluhur di Pura Besakih’ sebagai panduan pemujaan. Beruntung saya bertemu dengan Pinisepuh yang menjelaskan Beliau para Leluhur yang harus di sembah di pura Besakih.
  4. Bersembahyang di pura Sakenan. Ini syarat yang terakhir di luar syarat umum pewintenan.

Syarat lain yang umum tentu adalah mapiuning di pura dalem, desa, puseh dan tentu pura kawitan. Serta syarat umum yang Ida para sulinggih sudah ketahui.

Saya menanyakan 4 syarat tersebut kepada Pinisepuh, dan walaupun Pinisepuh tidak mengetahui persis sebagai syarat sebelum pawintenan, tetapi sebagai seorang pelaku spiritual Pinisepuh menjelaskan bahwa sesungguhnya 4 syarat tersebut adalah jalur Tirtayatra yang sangat bagus bahkan untuk orang umum yang tidak melakukan pawintenan tetapi hanya ingin rohaninya bersih atau tengah mengejar pencerahan spiritual.

Ciri-ciri Kacunduk dan Situasi Alam Jiwa
Ciri-ciri sebelum kacunduk berbeda untuk setiap orang tetapi kalau tiba saatnya kita seperti tergerak untuk cari tahu dan mengunjungi penekun spiritual. Saran saya selain berobat ke Balian kalau sakitnya aneh juga lakukan ‘mepeluasang atau nunas raos’, karena terkadang Balian tidak bisa melacak Leluhur karena tergantung tingkatan Balian. Ada Balian ngiring ke Ida Bhatara, ini yang bagus, ada Balian yang ngiring ke bawah misalnya Gamang atau Samar ini mungkin susah melacak tergantung dari tingkatan bawah yang di-iring. Satu lagi adalah Balian Usadha yaitu yang mempelajari ramu-ramuan dari Ayurweda belum tentu ia penekun spiritual yang mendapat pencerahan dan mungkin tidak akan bisa mendeteksi sebab-sebab sakit.

Apakah ‘kacunduk’ bisa ditolak?

Saya bertanya kepada Pinisepuh tentang ini dan jawabannya adalah ‘TIDAK’. Kalau sudah kacunduk, siapapun orangnya atau latar belakang kehidupannya ia haruslah tetap melaksanakan titah tersebut atau berakibat celaka seperti telah dijelaskan. Kacunduk adalah Takdir yang harus dijalani.

Bagi saya, akhirnya, seperti sudah saya jelaskan bahwa selama ini saya menekuni meditasi dan sekarang adalah menjadi orang terpilih maka saya menganggap kacunduk ini sebagai bonus dari kedisiplinan saya menekuni spiritual selama waktu yang lalu. Sering saya menyatakan hal-hal yang berbau suka cita ini dengan istri bahwa kehidupan di dunia sekarang sudah menyenangkan, diberkahi dengan banyak kemudahan, mungkin dengan melakoni kewajiban sebagai seorang pemangku setelah mati juga akan menikmati alam jiwa yang menyenangkan! Setidaknya jiwa ini tidak terbelenggu di gua dan ngayah ngangkut-ngangkut bangkai anjing yang sudah membusuk atau mungkin akan lahir di alam bawah yaitu di bangsa wong samar dan yang terburuk dihukum di Pura Kerangkeng! Setidaknya penjelasan Pinsepuh tentang situasi di alam jiwa membuat saya lebih senang menjadi penekun spiritual dan pemangku.

5 komentar:

  1. Pengalaman yg sangat Menarik...yg jadi pertanyaan saya terkait masalah kecunduk ini..

    1.Kalau menolak kenapa kita malah disakiti..(mati ga wajar??) kenapa memaksa atau sebenarnya mungkin kita yg dulu pernah janji/mesesangi ke beliau pada kehidupan seblumnya...?
    2.Bagaimana kita tahu bahwa yg kita iring adalah sesuatu yg suci Dewa/bethara/wong samar ?
    3.Kasenengan..? apakah beliau membutuhkan manusia untuk ngayah ke beliau ?

    Mohon pencerahannya Pak Made..

    BalasHapus
  2. Pak...
    1. Dalam percakapan saya dengan Pinisepuh, saya bertanya, boleh tidak menolak? Jawabnya tidak. Kenapa tidak? Karena sudah terpilih dan ibaratnya skenario hidup seseorang sudah begitu. Kalau menolak ya ada resikonya. Sakit atau mati. Lalu mulai dari awal lagi setelah dilahirkan kembali pada reinkarnasi berikutnya. Ini ada hubungannya dengan karma yang lalu, menurut Pinisepuh. Pinisepuh memang bukan Ida Bhatara tetapi ia berkomunikasi dengan Beliau.

    2. Siapa yg di-iring biasanya sudah tahu sejak awal karena Beliau menunjukkan diri kepada sadeg atau dasarannya, dan memberi tahu pelinggih yg didirikan Ngayat ke mana. Tetapi bagi awam kalau kebetulan ke Balian tanya saja siapa yang di-iring. Sebenarnya Gamang dan Samar itu ancangan Ida Bhatara Juga. Cuma dalam aturan Niskala, kita jangan memuja yg dari bawah, karena kalau meninggal kita lahir atau tiba2 ada di alam mereka.

    3. Kesenengan bukan karena beliau memerlukan pengayah tetapi sebenarnya karena Beliau Ida Bhatara sedang mengangkat derajat seseorang.

    Semoga penjelasan singkat ini cukup sebagai masukan. Sebagai penekun spiritual saya menyarankan malah kejar kedekatan kita dengan Beliau Ida Bhatara. Hidup adalah dari restu Beliau. Pilihlah satu dari banyak Ida Bhatara sebagai Favorit. Saya sebagai pengusaha berusaha dekat dengan Beliau Ida Bhatari Ratu Niang Sakti, sebagai contoh, karena Beliau memberi restu di Bidang Ekonomi dan Perdagangan.

    BalasHapus
  3. Apa kabar Pak Made...

    salam kenal ..nama saya candra...
    dan sekali lagi terima kasih atas sharing pengalaman dan sarannya karena buat saya/kami yg sedang mencari ini ,pengalaman pak Made sangatlah berarti dan kami butuhkan ....sukses ya Pak Made..

    BalasHapus
  4. saya ndak mengerti sama sekali...
    krna saya ini orang yang bodoh....
    hidup selalu berpikir dan mengahayal////
    jangankan ngiring, sembahyang ke sanggah kemulan ja jarang...
    mohon bimbingannya...

    BalasHapus