Kamis, 06 Agustus 2009

Ini kenangan pahit atau manis?

Saya senang sekali kalau membicarakan soal kaya. Waktu kuliah dulu hidup pas-pasan, mi lagi mi lagi. Bukan rahasia lagi kalau anak kos doyan mi. Ini yang paling murah dan gampang. Ada pengalaman mengesankan juga, terkadang pada waktu-waktu tertentu saat mana kehabisan uang, kalau sudah jam makan siang, saya menyingkir dari gerombolan teman-teman. "Mana De?" tanya mereka. "Makan dulu...", maksudnya makan angin! Kadang pernah mengalami masa-masa makan satu kali sehari. Saya tak pernah menyesal atau panik dengan situasi seperti itu. Rasanya tetap bisa bergembira dan bersenang-senang dengan teman.

Sekarang ini baru menyadari bahwa sebenarnya hidup saya tidak susah waktu itu. Itu hanyalah kecil dibandingkan seorang teman yang kaya dan sama-sama merantau. Hidupnya selalu panik dan bicaranya uang dan uang. Bekalnya empat kali lipat dari saya waktu itu atau bahkan delapan kali lipat dari teman yang lain. Manakala bekalnya sudah tipis, dan hari tanggung untuk pulang kampung kelihatan sekali wajahnya tertekan. Apalagi pacarnya sudah menunggu di mobil siap dibawa kemana saja, maka ia akan pinjam uang ke teman yang lain. Saya tidak sedang mengadili teman tersebut sekarang ini tetapi memberi sedikit perbandingan akan sebuah nilai kenyataan.

Saya akhirnya telah melalui masa-masa indah dan susah tetapi dengan tetap bersukur masih mendapat jatah kuliah sementara banyak teman yang lain tidak bisa melanjutkan kuliah. Saya melaluinya dengan perasaan tanpa beban tetapi sarat dengan angan-angan. Angan-angan saya waktu itu ingin punya uang 10.000 rupiah setiap hari dan berani membelanjakan uang itu tanpa mikir apa-apa. Biar kalau duduk di warung makan, pelayan warung nanya, isi apa Gus? Biar bisa jawab, satenya 2, atinya 2, lawarnya dan kulitnya tambah ya... waktu itu nasi babi guling di Pengadangan, Abian kapas, Denpasar, masih 500 rupiah sepiring. Keinginan ini sangat kuat disertai dengan permohonan dan do'a setiap kali bersembahyang di mana saja. Dua tahun kemudian yaitu tahun 1988 setelah bebas kuliah dan KKN, sambil menyusun skripsi saya punya usaha sablon. Angan-angan saya tercapai bahkan lebih dari yang diharapkan. Usaha sablon ini terus berkembang menjadi usaha percetakan dan hidup sampai sekarang serta dikelola oleh seorang saudara. Setamat kuliah saya bekerja di satu kantor akuntan. Gajinya lebih kecil dari bekal saya waktu kuliah. Tetapi saya memerlukan pengalaman itu karena jurusan saya akuntansi. Pengalaman ini yang mengantarkan saya sebagai seorang desainer perhiasan perak di kemudian hari.

Malang benar nasib teman kuliah yang kaya ini.
Suatu hari, delapan tahun kemudian saya bertemu di sebuah warung langganan waktu kuliah. Ini nostalgia, kebetulan lewat depan warung makan langganan dulu waktu kuliah, saya kemudian mampir. Tak dinyana saya bertemu dengan teman yang kaya itu, yang malu-malu menjawab sapaan saya. Ia akhirnya menceritakan hidupnya tidak lagi menyenangkan. Ia orang baik dan akrab dengan banyak teman termasuk saya dulu. Juga ia cerita bahwa tidak ada lagi fasilitas karena usaha slep orang tua di kampung tergilas perubahan peta pertanian Bali Utara. Orang tidak lagi menanam padi tetapi menanam anggur jadi order slep padi berkurang drastis. Selesai kuliah, teman ini bekerja, tetapi tidak pernah menetap lebih dari tiga bulan di satu perusahaan. Menjadi kutu loncat. Gaji yang diterima sebagai karyawan baru sangat jauh dari bekal yang diberi orang tua waktu kuliah dulu. Jadi terus berusaha mencari perusahaan-perusahaan yang menurutnya lebih baik dan lebih baik lagi. Akhirnya kehilangan waktu pengabdian selama sekian tahun lalu, kelelahan dan menyerah sementara teman-teman seangkatan sudah pada menjabat.

Raut mukanya tampak jauh lebih tua dari umurnya. Sekarang bekerja di satu tempat yang sebenarnya dia tidak sukai. Dengan gaji yang sebenarnya kurang dari pas-pasan untuk hidup layak bersama istri dan satu anak. Istrinya bukan pacarnya yang dulu, jadi nggak malu lagi kalo membantu suami cari duit dengan cara mencuci baju tetangga, terkadang jadi tempat penitipan anak, ya lumayan untuk nambah-nambah biaya hidup. Banyak cerita tentang nasibnya yang diceritakan. Semua tentang nasib buruknya, menurut pandangan dia sendiri.

Menurut pandangan saya, sebenarnya hal-hal demikian bukanlah suatu masalah seandainya menyadari bahwa setiap kehidupan tidak selalu dihargai berdasarkan kaya. Dinilai dengan uang dan didramatisir oleh pikiran yang sudah dicekoki oleh kata-kata gengsi dan malu. Malu ketemu teman kalau tidak lagi naik mobil. Sebenarnya dia tidak punya masalah karena dia tetap masih hidup sampai sekarang. Yang salah dia menempatkan perasaannya masih seperti dulu tetapi kenyataannya dia hidup dengan keadaannya seperti sekarang. Sama sekali tidak ada keselarasan pikiran dan kenyataan sekarang. Sehingga dia merasakan hidupnya seperti di awang-awang. Saya ini dulu kaya, punya rumah dan mobil. Hal-hal seperti itu sering dia ceritakan kepada orang-orang.

Tidak salah kalau sastra suci memberitahukan bahwa janganlah memamerkan kekayaan. Mungkin maksudnya memberitahu kalau satu saat tidak kaya agar tidak gengsi dan terobsesi terus sepanjang sisa hidup serta tidak bisa bangkit lagi karena terbelenggu oleh masa lalu.

Saya akhirnya menyarankan untuk merubah pola pikir 'menderita' tersebut ke yang lebih kenyataan. Yang hilang hanyalah harta. Hidup kamu kan tidak jahat. Jadi masih bisa lebih bagus lagi kalau kamu mau. Berhentilah menyalahkan keadaan karena setiap detik jaman dan keadaan berubah. Dalam pandangan spiritual kalau jahat kan kamu dihukum jadi lama bisa bangkit karena kamu menjalani hukuman. Ya anggap saja seperti itu, karena penafsiran saya tentang Panca Pandawa yang baik-baik kemudian berjudi lalu kalah dan kemudian harus menjalani hukuman. Sedang Kurawa yang hidupnya jahat terus akhirnya mati semua di akhir perang Mahabratha.

Yah kenangan ini memberi banyak hal-hal baru tentang ujian spiritual. Bagaimana menyikapi satu keadaan. Kenyataan tidak seburuk dalam pikiran. Capailah keadaan dimana kita bisa mengontrol pikiran tersebut. Dalam tingkatan spiritual yang lebih tinggi, seseorang bisa mengontrol pikirannya. Lebih tinggi lagi, Ia akan tahu sebelum pikiran itu ada dan muncul di kepala. Lebih tinggi lagi, Ia akan memerintahkan pikiran itu. Lebih tinggi lagi, manunggal dengan Brahman atau Mokhsa!

Hasil dari perenunngan dan percakapan bersama Gung Yudistira, Pinisepuh Paguyuban Dharma Giri Utama, dengan mengambil contoh nyata dari perjalanan seorang teman.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar