Minggu, 23 Agustus 2009

Kacunduk – Mangkir... Celaka!

Sebagai seorang pemeluk Hindu Dharma atau Ciwa Budha yang kemudian mendapat titah untuk menjadi abdi Ida Bhatara Kawitan dan kacunduk atau ‘kesenengan’, di saat tengah menikmati sebagai manusia modern, awalnya adalah hal yang sangat susah diterima karena ruang gerak sudah pasti akan sangat terbatas. Tidak semua tempat membuat nyaman dan boleh untuk dikunjungi.

Saat menulis ini, saya tengah menjalani tirta yatra dan melukat di banyak pura. Tengah menanti saat yang tepat untuk melakukan upacara Pawintenan sebagai abdi Beliau Ida Bhatara.

Mangkir... Celaka!
Maunya, saya ingin menghindari ini sebagai sesuatu yang harus dilakukan dan dijalani karena saya masih sibuk menjalankan usaha serta kesibukan lain yang mungkin akan mengganggu kegiatan sebagai seorang pelaku spiritual. Tetapi banyak sekali saya ditunjukkan kejadian-kejadian aneh dan sangat buruk atas fakta penolakan sebagai orang yang terpilih.

Ada seseorang yang rumahnya terbakar karena kompor meledak, istrinya masuk rumah sakit dan sampai saat saya tulis ini, keadaan keluarga tersebut masih kacau, ini karena sang bapak menolak untuk ‘ngiring’. Ada teman lain yang mempunyai penyakit aneh seperti gatal di sekujur tubuh yang tak tersembuhkan obat dokter serta kebotakan yang dialami oleh anggota keluarga wanita, di mana sebenarnya karena sang Ibu menolak untuk menerima titah ‘ngiring’. Ada juga kematian-kematian yang tidak wajar. Tentu saja ini diketahui setelah mereka-mereka yang kena musibah menanyakan kepada sesepuh yang tahu.

Gejala sebelum kacunduk
Beberapa bulan kebelakang hidup saya terganggu dengan penyakit mag. Semakin hari rasa sakitnya tambah parah. Karena asam lambung sudah sangat tinggi ada gas yang balik ke dada dari perut. Kata dokter langganan gas lambung saya sudah reflux ke dada. Kalau sakit mag sudah sampai ketahapan ini maka irama jantung seperti orang mengalami keadaan terkejut. Karena cemas mengira ini sakit jantung saya periksa ke dokter akhli jantung tetapi dokter bilang saya baik-baik saja. Tetapi saya merasa tetap tidak sehat dan detak jantung iramanya tidak baraturan yang tentu saja membuat saya takut dan panik.

Istri saya jauh hari berpikir bahwa saya ini kena sakit nonmedis. Istri saya adalah seorang dokter umum tentu saja paham dengan hasil pemeriksaan medis para dokter akhli. Sebagai orang Bali istri saya menyarankan menempuh jalan alternatif. Tetapi saya juga sangat yakin ini bukan sakit nonmedis karena setiap kali saya bercermin aura saya tampak bagus dan baik-baik saja. Tidak ada warna ciri dasar orang sakit nonmedis. Nonmedis saya artikan sebagai kena ‘black magic’. Hawa di sekitar saya juga tidak terasa ada hawa gaib yang jahat. Mata batin juga tidak menangkap sinyal mahluk gaib yang jahat. Kemampuan-kemampuan ini saya dapat karena saya rajin meditasi Gayatri.

Akhirnya dalam meditasi saya sering menyalurkan energi kesehatan. Beberapa saat memang terasa baikan tetapi tidak lama. Dalam meditasi yang lain saya memohon petunjuk kepada Beliau Sang Hyang Paramakawi dan Ida Bhatara Kawitan, kemana seharusnya saya berobat untuk menyembuhkan sakit saya ini. Yang aneh dari sakit ini adalah kalau saya melakukan meditasi, sakit ini tidak pernah muncul.

Bertemu dengan Pinisepuh
Akhirnya saya menerima saran istri untuk mengunjungi salah satu balian ngiring untuk mengobati saya. Tetapi waktu saya berkunjung ke tempat beliau adalah kejadiannya sangat aneh. Beliau juga sedang sakit dan tidak bisa ‘ngunggahang banten’. Istri saya menelepon seorang teman yang kebetulan juga mempunyai saudara penekun spiritual yang katanya sangat baik dan ngiring banyak sekali Ida Bhatara.

Akhirnya kami meneruskan perjalanan ke rumah teman, setelah sampai dan menunggu beberapa saat akhirnya ada seorang pemuda tanggung mengetuk pintu yang kemudian masuk sendiri tanpa menunggu tuan rumah membukakan pintu. Dalam bayangan saya Pinisepuh pasti seorang yang sudah tua sehingga saya tidak memperhatikan kedatangan pemuda ini. Tetapi teman bilang bahwa itulah adiknya, sang penekun spiritual. Kemudian pemuda belia tersebut bertanya: “Bli yang sakit ya? Tetapi saya tidak bisa memberi petunjuk di sini karena ini ada hubungannya dengan Leluhur Bli. Saya ingin mempertemukan Leluluhur Bli dengan Leluhur saya. Nanti malam saja di Jeroan ya, ini bukan sakit black magic kok.” Rasanya senang mendengar bahwa saya tidak kena sakit nonmedis seperti dugaan istri saya akan tetapi penuh dengan tanda tanya besar bahwa ini ada hubungannya dengan Leluhur.

Akhirnya, malam hari itu saya mengunjungi rumah saudara teman ini, yang kemudian saya sebut sebagai Pinisepuh, membawa banten yang diperlukan. Setelah melakukan ritual akhirnya Pinisepuh memberitahu bahwa saya sudah ‘kesenengan’ dari dulu. Memang seingat saya waktu remaja pernah sakit alasannya sama yaitu akan ‘kacunduk’. Dan pada hari itu Pinisepuh memberitahukan bahwa saya harus ngiring Ida Bhatara Lingsir di Pura Kawitan, maka sakit ini bisa sembuh! “Bagaimana Bli, apa siap ngiringan Ida Bhatara?” Tanya Pinisepuh.

Sebenarnya antara senang dan ragu perasaan saya saat itu. Senang karena menganggap hal tersebut sebagai bonus dari keseriusan saya melakoni spiritual selama ini. Tetapi ada keraguan, apakah seorang pemangku bisa juga melakoni kehidupan sebagai seorang pengusaha secara bersama-sama. Tetapi Pinisepuh bilang tidak ada apa-apa. Dalam artikel ‘spiritual dan kekayaan’ saya sudah menceritakan ini panjang lebar. Tidak ada yang salah apalagi melarang karena roda ekonomi tetap harus berputar. Kalau seratus persen orang melakoni kehidupan spiritual dan tidak boleh melakukan usaha, lalu makan apa manusia-manusia ini? Kata Pinisepuh dengan mimik meyakinkan. Tetapi tentu saja harus tahu diri usaha apa yang boleh agar kesucian terjaga. Pinisepuh menunjukkan bahwa ada beberapa pemangku yang punya hotel, tetapi mereka tidak aktif lagi secara langsung mengurus bisnis tetapi mendelegasikan wewenang ke manajer-manajernya. Pinisepuh menunjukkan banyak contoh lainnya yang ternyata banyak sekali pengusaha yang tetap berhasil juga melakoni ‘ngayah’ atau berbakti sebagai pemangku.


Tirta Yatra
Setelah penjelasan yang sederhana dari Pinisepuh, saya menerima ‘kacunduk’ dengan perasaan lega. Dan penyakit yang saya derita entah raib kemana menghilang sampai sekarang. Beberapa hari kemudian saya mengunjungi salah satu pelingsir saya di Seririt, Buleleng. Beliau adalah juga pelaku spiritual tetapi berjalan atas petunjuk sastra lontar. Setelah saya mengutarakan bahwa saya akan mewinten Beliau memberi panduan khusus sesuai dengan Tastra Lontar yaitu ada syarat yang harus dilakukan agar benar-benar mendapat restu dari Beliau Ida Bhatara. Sebelum syarat umum ada syarat lain yang harus dilakukan yaitu melukat di beberapa tempat dan melakukan kunjungan dan bersembahyang ke pura tertentu, yaitu:

  1. Melukat di Segara memohon berkat ke Beliau Ida Bhatara Putering Jagat, Ida Bhatara Baruna dan Ida Bhatara Wisnu.
  2. Melukat di Pura yang ada Tirta Pingit. Saya melukat di beberapa tempat salah satunya adalah di Pura Petirtan, Ulun Dhanu, di Songan, Batur.
  3. Bersembahyang di pura Besakih. Mohonlah restu kepada Beliau para Leluhur. Lihat artikel ‘Pelinggih Leluhur di Pura Besakih’ sebagai panduan pemujaan. Beruntung saya bertemu dengan Pinisepuh yang menjelaskan Beliau para Leluhur yang harus di sembah di pura Besakih.
  4. Bersembahyang di pura Sakenan. Ini syarat yang terakhir di luar syarat umum pewintenan.

Syarat lain yang umum tentu adalah mapiuning di pura dalem, desa, puseh dan tentu pura kawitan. Serta syarat umum yang Ida para sulinggih sudah ketahui.

Saya menanyakan 4 syarat tersebut kepada Pinisepuh, dan walaupun Pinisepuh tidak mengetahui persis sebagai syarat sebelum pawintenan, tetapi sebagai seorang pelaku spiritual Pinisepuh menjelaskan bahwa sesungguhnya 4 syarat tersebut adalah jalur Tirtayatra yang sangat bagus bahkan untuk orang umum yang tidak melakukan pawintenan tetapi hanya ingin rohaninya bersih atau tengah mengejar pencerahan spiritual.

Ciri-ciri Kacunduk dan Situasi Alam Jiwa
Ciri-ciri sebelum kacunduk berbeda untuk setiap orang tetapi kalau tiba saatnya kita seperti tergerak untuk cari tahu dan mengunjungi penekun spiritual. Saran saya selain berobat ke Balian kalau sakitnya aneh juga lakukan ‘mepeluasang atau nunas raos’, karena terkadang Balian tidak bisa melacak Leluhur karena tergantung tingkatan Balian. Ada Balian ngiring ke Ida Bhatara, ini yang bagus, ada Balian yang ngiring ke bawah misalnya Gamang atau Samar ini mungkin susah melacak tergantung dari tingkatan bawah yang di-iring. Satu lagi adalah Balian Usadha yaitu yang mempelajari ramu-ramuan dari Ayurweda belum tentu ia penekun spiritual yang mendapat pencerahan dan mungkin tidak akan bisa mendeteksi sebab-sebab sakit.

Apakah ‘kacunduk’ bisa ditolak?

Saya bertanya kepada Pinisepuh tentang ini dan jawabannya adalah ‘TIDAK’. Kalau sudah kacunduk, siapapun orangnya atau latar belakang kehidupannya ia haruslah tetap melaksanakan titah tersebut atau berakibat celaka seperti telah dijelaskan. Kacunduk adalah Takdir yang harus dijalani.

Bagi saya, akhirnya, seperti sudah saya jelaskan bahwa selama ini saya menekuni meditasi dan sekarang adalah menjadi orang terpilih maka saya menganggap kacunduk ini sebagai bonus dari kedisiplinan saya menekuni spiritual selama waktu yang lalu. Sering saya menyatakan hal-hal yang berbau suka cita ini dengan istri bahwa kehidupan di dunia sekarang sudah menyenangkan, diberkahi dengan banyak kemudahan, mungkin dengan melakoni kewajiban sebagai seorang pemangku setelah mati juga akan menikmati alam jiwa yang menyenangkan! Setidaknya jiwa ini tidak terbelenggu di gua dan ngayah ngangkut-ngangkut bangkai anjing yang sudah membusuk atau mungkin akan lahir di alam bawah yaitu di bangsa wong samar dan yang terburuk dihukum di Pura Kerangkeng! Setidaknya penjelasan Pinsepuh tentang situasi di alam jiwa membuat saya lebih senang menjadi penekun spiritual dan pemangku.

Rabu, 19 Agustus 2009

Perjanjian Suci

Suasana sore di Pura Silayukti sangat cerah. Matahari sore menerangi pelabuhan Padangbai yang tampak dari Pura Silayukti. Saya dan Pinisepuh mencari tempat duduk di depan warung yang sudah tutup. Menunggu jam menunjukkan pukul enam sore saat saya buka puasa karena hari itu kebetulan saya puasa.

Setelah buka puasa hari mulai gelap dan kami turun ke arah laut menuju gua untuk menghaturkan banten. Menurut Pinisepuh gua tersebut salah satu petilasan Mpu Kuturan dan Beliau yang melinggih di Gua adalah ancangan Ida Bhatara Mpu Kuturan yang menjaga laut Padangbai. Saya merasakan hawa gaib yang lumayan di gua tersebut. Dari sebelum berangkat saya diberitahu jangan coba-coba melihat dengan batin karena hawa akan sangat kuat dan banyak gaib. Saya bertanya kepada Pinisepuh apakah benar perasaan saya tersebut, yang dijawab dengan senyum dan anggukan. Pinisepuh menjelaskan siapa yang melinggih di sana sambil berjalan menaiki tangga ke arah Pura di atas tebing. Yang melinggih yaitu seekor ular raksasa, setidaknya berukuran sebesar pohon kelapa. Bagi yang sering menyebarang melalui pelabuhan ini sangat baik kalau tangkil maturan di Pelinggih Gua tersebut agar mendapat perlindungan kalau ada musibah di laut selat Bali Lombok ini.

Kami sampai di atas tebing dan kemudian kami masuk ke Pura Kahyangan Mpu Bradah, bermeditasi sebentar dan kemudian melanjutkan ke Pura Perhyangan Mpu Kuturan.


Ida Bhatara Mpu Kuturan Mengawasi

Sesampai di Pura Kahyangan Mpu Kuturan, langit sudah semakin malam. Saya menghaturkan semua banten dan canang sari ke semua pelinggih yang ada. Setelah selesai dan harum dupa mulai mewarnai malam, saya memohon ijin untuk menyapu di pelataran pura sama Pinisepuh yang kemudian diijinkan oleh Pinisepuh. Memang pelataran pura tidak terlalu bersih waktu kami tiba karena ada upacara kemarinnya dan belum sempat dibersihkan oleh juru sapuh. Waktu saya menyapu saya merasakan ada hawa yang sejuk disekitar saya. Saya yakin Beliau Ida Bhatara Mpu Kuturan menyaksikan saya ngaturang ayah menyapu pelataran tempat duduk mebakti. Walaupun saya tidak dapat melihat dan tidak berani mencoba melihat dengan batin karena dilarang oleh Pinisepuh tetapi saya yakin Beliau Ida Mpu memang ada dan mengawasi saya. Hawa sekitar saya terasa berbeda, dingin sejuk tetapi terasa sangat nyaman.

Setelah selesai membersihkan pelataran pura, malam sudah cukup larut. Saya dan Pinisepuh menikmati makan malam tipat yang telah disiapkan oleh istri saya dari rumah. Wah ini ‘spiritual picnic’ namanya kata saya dalam hati. Diantara keasikan menikmati makan malam saya bertanya kepada Pinisepuh: “Gung, apakah Beliau menyaksikan saya menyapu tadi?” Pinisepuh hanya tersenyum. Umur Pinisepuh memang sangat belia dan hampir setengahnya dari saya sehingga saya memanggilnya hanya dengan sebutan Gung saja. “Kalau ya memangnya kenapa, Bli?”, Pinisepuh memang tidak menjawab ‘ya’ tetapi saya berkeyakinan itu jawaban yang menyenangkan saya. Kemudian kami sibuk dengan tipat yang dimakan dengan saur dan gorengan kacang serta lain-lainnya. Sementara udara semakin dingin. Tiba-tiba Pinisepuh membuat sesajian sederhana seperti tipat yang kami makan lalu dihaturkan di suatu tempat, di bawah, lengkap dengan air mineral dalam gelas. Ini sudah sering terjadi kalau mengikuti Pinisepuh bersembahyang kemana-mana. Pasti ada sesuatu atau sosok gaib yang sedang mendapat perhatian Pinisepuh lalu menghaturkan apa saja yang ada di dekatnya. “Ramai di sini Gung?” tanya saya dan dijawab hanya dengan tersenyum sambil mengangguk. Saya tidak mau merasakan sensasi apapun di areal Pura ini karena sudah di wanti-wanti dari rumah.


Perjanjian Suci

Saya terkadang lupa dan ingin tahu apa yang sedang terjadi di saat-saat seperti tersebut. Terkadang saya bisa melihat mereka dengan mata batin dan terkadang hanya bisa merasakan hawa mereka. Ada yang sangat menyenangkan dan ada yang sangat tidak menyenangkan. Yang tidak menyenangkan, kuping rasanya panas. Sekujur tubuh rasanya panas. Yang lebih buruk terkadang jantung ini rasanya melemah dan tiba-tiba merasa takut. Tenaga seperti disedot dan rasanya lemah kurang tenaga. Kalau sudah peka kira-kira seperti itu perasaan kalau kebetulan sedang dikunjungi gaib yang agak kasar dan pemarah. Mental kita dijatuhkan agar merasa takut. Dan saya sering mendesak Pinisepuh untuk diceritakan hal-hal seperti itu kalau kebetulan merasakan hawa buruk seperti tersebut di suatu tempat. Tetapi Pinisepuh mengatakan bahwa tidak semua bisa diungkapkan dan dibocorkan ke dunia nyata. Ada ‘perjanjian suci’ yang harus benar-benar dihormati serta tidak boleh dilanggar. Kalau dilanggar membahayakan umat manusia itu sendiri. Bisa membahayakan tatanan dunia gaib dan dunia manusia. Resiko terburuk akan dialami oleh yang terikat ke dalam ‘perjanjian suci’ tersebut seperti misalnya Pinisepuh.

Saya mengenal Pinisepuh dalam waktu yang tidak terlalu lama dan akan saya ceritakan dalam artikel yang berjudul ‘Kacunduk’. Namun dalam waktu yang sedemikian pendek saya telah dapat membayangkan bahwa Pinisepuh bukanlah manusia biasa dengan pengetahuan yang didapat dengan belajar. Beliau termasuk sebagai manusia pilihan di Gumi Bali ini. Banyak hal-hal yang tidak logis terjadi kalau bersama Pinisepuh. Saya sendiri mengalami ini beberapa kali saat saya sedang mengunjungi Pura bersama Pinisepuh. Salah satu pengalaman saya yaitu saya dipanggil duduk besama oleh Pemangku di Pura Petirtan di Songan, Batur. Duduk bersama di atas genah atau tempat Jero Mangku nganteb banten sementara Jero Mangku ‘melaksane’ ngayabang banten. Ini adalah hal yang sangat tidak lazim sepanjang pengetahuan saya. Tidak pernah seseorang duduk bersama-sama di atas tempat Jero Pemangku nganteb banten, kecuali sesama Pemangku dan sedang sama-sama ‘melaksane’. Pinisepuh bilang bahwa itu suatu kehormatan bahwa orang seperti saya bisa diangkat derajatnya oleh Beliau Ida Bhatara kalau benar-benar mengejar kemuliaan dengan serius. Dan memang Beliau sedang menunjukkan kepada saya bahwa derajat saya sedang diangkat, ingin menunjukkan bahwa agar saya jangan lagi goyah menekuni pengejaran spiritual ke arah lebih serius, kata Pinisepuh. Sebenarnya keyakinan hati saya mengatakan bahwa ini tentu juga atas campur tangan Pinisepuh yang sudah memohonkan kepada Beliau Ida Bhatara agar saya dinaikan derajatnya. Agar orang lain menyaksikan bahwa kalau Beliau menghendaki dan merestui semua menjadi mungkin.

Akhirnya saya menyadari bahwa mengapa seseorang memerlukan sosok yang lebih mengerti kalau sedang serius menekuni spiritual. Karena dalam tingkatan tertentu keraguan bisa muncul. Merasa tidak mengalami kemajuan. Atau setelah level ini apalagi yang harus dilakukan. Dan saya telah menemukan seorang Pinisepuh yang mendampingi perjalanan saya dan tempat untuk bertanya sudah sampai di mana sebenarnya saya ini.


Misi Ke Pura Silayukti

Malam semakin larut di Pura Silayukti dan sudah beberapa lama bel kapal tidak terdengar lagi dari pelabuhan. Kami masih mengobrol tentang spiritual. Sebenarnya saya bingung kenapa dari tadi cuma duduk-duduk dan ngobrol saja. Sembahyang cuma sebentar dan tidak ada meditasinya karena ada gangguan hama kelapa yang begitu banyak berterbangan. Pinisepuh bilang bahwa kedatangan kami ke Pura memang atas petunjuk Beliau. Tetapi misinya tidak jelas karena Pinisepuh bilang rahasia. Nah kalau rahasia kenapa ngajak-ngajak?

Yang ada malah Pinisepuh menceritakan siapa sesungguhnya Beliau Mpu Kuturan dan kiprah Beliau di Bali. Sebelumnya saya sama sekali tidak tahu siapa sebenarnya Beliau ini. Namun kini pemahaman saya terbuka bahwa saya telah mendapat Pencerahan. Beliau adalah Mpu yang paling berjasa menyatukan umat Ciwa Budha di Bali. Membuat konsep pemujaan yang lestari sampai dengan sekarang. Saya telah menceritakan ini di artikel Ciwa Budha – Konsep dasar dan Ciwa Budha – Mpu Kuturan. Silahkan dibaca karena sangat berguna untuk pengetahuan dasar pemujaan.



Setelah banyak menceritakan perihal Beliau, dan saya mengejar dengan banyak sekali pertanyaan serta menambahkan satu lagi Bhatara favorit ke dalam benak saya yaitu Mpu Kuturan, akhirnya Pinisepuh terdiam. Matanya yang besar dan tajam mengawasi alam sekitar. Tambah malam kok semakin banyak saja, seperti di pasar, gumannya. Tetapi sedikitpun saya tidak merasakan hawa panas apalagi kuping panas. Berarti mereka, gaib yang hadir, adalah dari kalangan yang baik-baik semua pikir saya dalam hati. “Gimana Bli, takut?” Ngapain takut kalau sudah sama Pinisepuh, kata saya. Setelah beberapa lama, dan dini hari sudah menjelang, akhirnya Pinisepuh memutuskan untuk kembali ke Denpasar.

Dalam perjalanan pulang saya bertanya-tanya sebenarnya misi ke Pura Silayukti itu apa? Apakah cuma memberi tahu saya bahwa kalau ingin benar-benar mengetahui seluk-beluk spiritual jangan sampai melupakan jasa Beliau Ida Bhatara Mpu Kuturan. Akhirnya saya mengambil kesimpulan tersebut sendiri karena beberapa hari berikutnya Pinisepuh cuma tersenyum dan tertawa kecil saja setiap kali saya bertanya hal yang sama tentang perjalanan ke Silayukti. Keyakinan saya beralasan karena Pinisepuh berkata: “Ngapain tiang ke Silayukti kalau di jeroan sudah ada Pratima Beliau. Kan cukup memohon di Jeroan saja. Yah, namanya perjalan, Bli harus pikirkan sendiri misi ke sana. Ini bukan Tiang, tapi Bli...”

Yah kembali ke ‘perjanjian suci’, saya sudah mendesak berlebihan tentang ini. Walau tidak etis sebenarnya ya penasaran juga tapi ya akhirnya saya harus menghormati ‘perjanjian suci, tersebut. Namun saya merengek-rengek, mengemis untuk dimohonkan mantra-mantra bahasa kawi kepada Beliau Mpu Kuturan, kelak kalau saya benar-benar menjadi seorang pemangku agar persembahan banten benar-benar menjadi momen yang menjembatani dua alam. Menyenangkan dua alam yaitu manusia dan gaib.

Minggu, 16 Agustus 2009

Ciwa Budha - Mpu Kuturan

Adu Kesaktian
Suatu hari saya mendapat telepon dari Pinisepuh bahwa nanti malam harus berkunjung ke Silayukti, Padangbai, Karangasem, Bali. Pinisepuh memerlukan tangkil ke Pura Perhyangan Silayukti karena atas petunjuk Beliau Ida Bhatara Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha. Saya tidak berani bertanya apa-apa selain duduk menemani Pinisepuh.

Akhirnya saya dan Pinisepuh Agung Yudistira yang saya hormati melewatkan malam yang indah di atas tebing dan sekali-sekali dihibur oleh bel kapal laut dari pelabuhan Padangbai. Sebelumnya sedikitpun saya tidak paham tentang siapa sebenarnya Beliau Mpu Kuturan. Tetapi karena rasa penasaran, saya bertanya siapa sejatinya Beliau ini. Dengan sabar Pinisepuh bercerita sepatah-sepatah karena saya sangat awam dengan nama-nama Ida Bhatara. Saya menyerap pengetahuan ini dengan senang hati dan seperti ada rasa rindu untuk lebih banyak lagi mendengar cerita tentang Beliau.

Beliau Mpu Kuturan adalah seorang penasehat raja di Jawa yang setelah pensiun menjadi Senopati dan penasehat raja-raja di Bali. Di sela-sela waktu sebagai petinggi Beliau bersemedhi di Silayukti. Di antara penjelasan tersebut saya bertanya kepada Pinisepuh, tadi sebelum tangkil ke Perhyangan Mpu Kuturan kami tangkil ke pura Perhyangan Mpu Bradah. Saya bertanya siapa Mpu Bradah dan kenapa Beliau juga mempunyai Pura Perhyangan di Silayukti ini?

Mpu Bradah adalah salah satu saudara dari Mpu Kuturan yang menggantikan sebagai penasehat raja di Jawa setelah Mpu Kuturan pensiun. Mpu Kuturan mempunyai istri bernama Ratna Manggali yang mempelajari ilmu yang disebut Tantrayana yang jalannya adalah aliran kiri. Ratna Manggali kemudian dikenal juga dengan Calon Arang atau Walu Nateng Dirah atau Rondo Nateng Dirah. Rondo Nateng Dirah kalau sedang merapalkan ilmunya dan mereh menjadi bentuk lain disebut Calon Arang yang berwujud sangat seram dan menakutkan. Kalau di Bali seperti Rangda. Dan sebenarnya kata rangda ini berasal dari kata rondo bahasa Jawa atau artinya adalah janda. Karena Mpu Kuturan meninggalkan Ratna Manggali ke Bali maka dia menjadi seorang janda. Dalam perkembangannya menjadi rongdo dan terdengar sebagai ‘rangda’ di Bali yang kemudian kata rangda ini seolah mewakili sesuatu yang menyeramkan. Akhirnya sosok Rondo Nateng Dirah atau Rangda Calon Arang ini mengganggu kerajaan dengan menyebarkan sakit grubug di wilayah kerajaan.

Semua punggawa dan kesatria kerajaan tidak ada yang bisa menandingi ilmu Rangda Calon Arang. Termasuk Mpu Bradah. Tetapi kemudian, Mpu Bradah mempunyai anak yang bernama Mpu Bahula yang dikawinkan dengan anak dari Calon Arang yang bernama Diah Ratna Manggali. Kemudian Mpu Bahula berhasil mencuri kitab Tantrayana yang kemudian diserahkan kepada ayahandanya Mpu Bradah dan serta merta mempelajarinya hingga pada suatu waktu bisa mengalahkan kesaktian Rangda Calon Arang. Mpu Bradah akhirnya mendapat gelar Inan Liak Lembah Tulis. Liak berarti: Linggih Ulian Aksara dan kemudian dikenal dengan kata Leak di Bali.

Singkat cerita, Mpu Bradah yang sakti mandraguna berkunjung ke Bali. Ia ingin menguji kesaktian Mpu Kuturan kakaknya. Pertempuran adu kesaktian berjalan berhari-hari akan tetapi tak kunjung ada yang kalah sampai akhirnya Mpu Bradah memutuskan untuk berhenti dan kembali ke Jawa. Mpu Bradah dalam perjalanan pulang ke Jawa, setelah lewat di lautan luas selalu dihadang ombak yang sangat besar dan akhirnya selalu kembali terdampar ke pesisir Silayukti. Beliau menyerah dan akhirnya mengakui bahwa kakaknya Mpu Kuturan lebih sakti darinya. Juga memutuskan untuk menemani kakaknya di Silayukti. Beliau berdua akhirnya Moksha di Silayukti dan masing-masing telah mempunyai Pura Perhyangan.


Silsilah Mpu Kuturan

Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati menurunkan Sang Hyang Putranjaya, Sang Hyang Dewi Dhanu dan Sang Hyang Genijaya. Sang Hyang Genijaya (melinggih di Pura Lempuyang Luhur) menurunkan Panca Dewata, yaitu:

1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Semeru
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5. Mpu Bradah

sumber: pinisepuh

Pemujaan horisontal dan vertikal

Horisontal – Budha - Perdhana
Mpu Kuturan, meringkas sekte pemujaan menjadi Trimurti: Brahma, Wisnu dan Ciwa yang akhirnya dalam desa pekraman menciptakan 3 soroh pura:
1. Pura Desa : Sthana Ida Bhatara Brahma
2. Pura Puseh: Sthana Ida Bhatara Wisnu
3. Pura Dalem: Sthana Ida Bhatara Ciwa

Ida Bhatara Brahma
Menitis ke Hyang Genijaya yang bersthana di Pura Lempuyang Luhur, Beliau dianggap yang menguasai hal-hal spiritual beserta sub-subnya termasuk usadha (balian).

Ida Bhatara Wisnu
Menitis ke Ida Bhatara Dewi Dhanu, Beliau Bersthana di Pura Batur, Ulun Danu. Beliau dianggap yang menguasai hal-hal kesuburan, kesejahteraan, kekayaan dan welas asih.

Ida Bhatara Ciwa
Beliau menitis ke Hyang Putranjaya, menurut penuturan Pinisepuh, Beliau belum bersthana di mana-mana tetapi sementara ini Beliau melinggih di Gunung Agung dan beliau juga dianggap yang berkuasa atas ha-hal kepemerintahan.

Sekte-sekte yang dimaksud:
1. Bairawa: Bhatara Durga yg di Tuhan kan
2. Ganaphati: Bhatara Ganesha di Tuhan kan
3. Ciwa: Bhatara Ciwa di Tuhan kan
4. Waisnawa: Bhatara Wisnu di Tuhan kan
5. Budha Mahayana: sekte yang dianut Mpu Kuturan

Sebenarnya ada banyak sekali sekte namun sekte ini adalah sekte-sekte yang dianggap besar pada jaman tersebut seperti sekte yang menyembah: Bhatara Bayu, Bhatara Indra, Bhatara Kala, Sambu yang menyembah arca. Sekte ini mengadakan paruman atau pesamuan atas pimpinan Mpu Kuturan yang saat itu menjabat sebagai Senopati Raja di Bali dan tempat pertemuan tersebut kemudian dibangun Pura Samuan Tiga yang terletak di desa Bedulu, Gianyar.

Vertikal – Ciwa – Purusha
Mpu Kuturan juga melahirkan konsep pemujaan ke atas yang di wujudkan dengan Tri Purusha yaitu:

1. Ciwa
2. Sadaciwa
3. Paramaciwa

Ciwa
Disimbolkan dengan keberadaan gunung karena merupakan Sthana Dewata tertinggi di alam Bali dan gunung tersebut adalah gunung Agung yang disimbolkan sebagai Ciwa di mana pura Kahyangan Jagat Besakih didirikan sebagai pusat Leluhur Nusantara sekarang ini.

Sadaciwa
Adalah manifestasi dari Ida Bhatara Sang Hyang Ismaya atau dikenal dengan Sabda Palon atau dikenal juga sebagai Semar atau Tualen di Bali. Beliau adalah pengemong atau yang menjaga dan penasehat para Leluhur dari jaman ke jaman. Dikhabarkan bahwa sebelum Kerajaan Majapahit runtuh Sabda Palon berjanji untuk kembali lagi 500 tahun kemudian untuk membangkitkan kembali ajaran Ciwa Budha.

Paramaciwa
Beliau adalah Ida Betara Lingsir Hyang Pacupati sendiri yang menurunkan umat manusia. Adalah tingkatan tertinggi dari tatanan Dewata dan yang mengadakan kehidupan manusia di dunia.

Perpaduan konsep horisontal (mendatar) dan vertikal (atas bawah) kalau digabungkan adalah Tapak dara, Purusha Pradhana, Rwabhineda yang disebut dengan Ardhanareswari yaitu Bapak dan Ibu atau Ciwa (bapak) dan Budha (ibu), Padamasana adalah Ciwa dan Rong Tiga adalah Budha, menjadi satu disebut Hyang Tunggal, Beliau Hyang Widhi Wasa dan sebutan Beliau yang lainnya.



Karya Spiritual Mpu Kuturan

Sungguh kemampuan yang sangat luar biasa yang dimiliki oleh Beliau Mpu Kuturan. Peninggalannya tentang konsep pemujaan Ciwa Budha adalah karya spiritual yang sungguh hebat karena menyatukan kerumitan silsilah Dewata menjadi konsep sederhana yang sangat mudah untuk dipahami dan lestari sampai sekarang.

Berikut adalah karya spiritual Mpu Kuturan:
  1. Konsep Ciwa Budha adalah yang terbesar seperti dijelaskan di atas karena menjadi acuan pemujaan seluruh umat Hindu Dharma di Nusantara.
  2. Konsep Desa Dalem Puseh sebagai lanjutan penerapan konsep Ciwa Budha.
  3. Konsep Catur Loka yaitu konsep mendirikan pura pemujaan pada masing-masing maksud yang terdiri dari:
    a). Pura Kawitan
    b). Pura Dhang Kahyangan
    c). Pura Sad Kahyangan atau Perhyangan Jagat
    d). Kahyangan Jagat.
  4. Bentuk pelinggih seperti meru dan lain-lainnya adalah hasil dari penciptaan Beliau yang menunjukkan Beliau juga adalah seorang seniman yang memberi inspirasi masyarakat Bali. Namun Padmasana disempurnakan lagi bentuknya oleh Dhang Hyang Niratha salah satu dari keturunan Beliau juga.

Pura-pura Karya Mpu Kuturan
  1. Pura Besakih bersama dengan Rsi Markandya
  2. Pura Silayukti di Padangbai, Karangasem adalah tempat Beliau bersemedhi dan Moksha.
  3. Pura Batu Pageh, Desa Ungasan, Badung adalah pura yang disebut sebagai pagar Niskala alam Bali diatur dari pura ini.
  4. Pura Samuan Tiga, adalah pura bersejarah waktu mempersatukan sekte-sekte di Bali.
  5. Pura Sakenan, di Serangan
  6. Pura Watu Klotok, di Klungkung
  7. Pura Uluwatu, di Ungasan
  8. Pura Menjangan, di Buleleng barat
  9. Pura Ponjok Batu, di Buleleng timur
  10. Pura Pejeng di Pejeng Gianyar
  11. Pura Kebo Edan di Pejeng, Gianyar
  12. Pura Pusering Jagat di Gianyar
  13. Pura Gunung Kawi di Tampak Siring, Gianyar

Menurut penuturan Pinisepuh masih banyak pura-pura bersejarah dan berhubungan dengan Beliau. Pinisepuh tengah melakukan perenungan dan semedhi untuk memohon petunjuk selanjutnya.

Note:
Tulisan ini disusun dari hasil percakapan saya dengan Pinisepuh. Walaupun ada beberapa buku pegangan sebagai bantuan akan tetapi saran Pinisepuh lebih baik ditulis sesuai dengan apa-apa yang Pinisepuh ungkapkan.

Jumat, 14 Agustus 2009

Ciwa Budha - Konsep Dasar

Mpu Tantular yang hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk membuat satu karya sastra yang disebut Kakawin Sutasoma yang mana telah digali isinya sebagai dasar perkembangan rasa persatuan umat Budha dan umat Ciwa. Juga adalah kakawin yang baitnya diambil sebagai motto negara Indonesia.

Bait bertuah Kakawin Sutasoma:

Hyang Budha tampahi Ciwa raja dewa
Rwaneka dhatu winuwus, wara Budha wecwa
Bheneki rakwa ring apan keno parwanosen
Mangka jinatwa lawan Ciwatatwa tunggal
Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

(Ini hasil perenungan pinisepuh. Isi mohon jangan dibandingkan dengan sumber lain karena saya sendiri kaget bahwa bait ini hampir seratus persen sama dengan sumber lain. Yang beredar di umum tanpa baris pertama. Bagi saya ini satu ke ajaiban, bahwa pinisepuh yang masih belia bisa mendiktekan bait ini!)

Ardhanareswari
Ciwa diwujudkan dengan lambang Ongkara
Sedang Budha dilambangkan dengan Hrih.
Hyang Tunggal, Zat yang Satu terjadi dari dua senyawa yaitu Purusha (laki-laki) dan Pradhana (wanita) yang dapat mati, terjadi dari ruang dan zat materi. Dua senyawa ini disebut Rwabhineda. Dalam ajaran Ciwa dinamai Ciwa – Parwati (Uma) sedangkan dalam ajaran Budha dinamai Adwaya – Prajnyamitha. Rwabhineda itu disebut dengan Ardhanareswari yaitu Bapak dan Ibu atau Ciwa (bapak) dan Budha (ibu).

Mpu Prapanca dalam karyanya Negara Kertagama mengungkapkan bahwa Raja Kertanegara (Raja Singosari) pada saat mangkat atau meninggal dimakamkan dalam bentuk patung J’na yang sangat indah yang kemudian juga dikenal dengan Ardhanareswari yaitu Ardana dengan Iswari, Raja dengan Tara-nya yang tiada lain adalah patung Ciwa-Budha, patung J’na yang menggambarkan seorang Ardhanari sebagai Dwi tunggal Wairocana Locana.

Acintya
Kemudian, Ardhanareswari Murti adalah wujud dari Bhatara Ciwa dan Dewi Parwati yang berbadan setengah pria (ardha) dan setengah wanita (nari) juga berwujud Acintya yang menyatakan tidak laki-laki dan juga tidak perempuan yang juga disebut Ana Tan Hana yang ada tetapi tidak ada.



Dewa Kemakmuran

Dalam ikonografi klasik patung Ardhanareswari disebut juga Harihara. Hari sebagai unsur pria (Purusha) dan Hara sebagai unsur wanita (Pradhana) dan persatuan dari Purusha dan Pradhana ini terwujud sebagai Hyang Tunggal. Dan dalam wujud yang lain yang akhirnya dalam masyarakat Bali, penyatuan Sri dan Sedhana dikenal sebagai Bhatara Rambut Sedana (Dewa Kemakmuran) yang sering juga disimbolkan dengan patung-patung atau archa atau pratima kecil yang terbuat dari uang kepeng dengan muka (pererai) terbuat dari kayu cendana yang dilinggihkan di pura merajan sebagai patung-patung Leluhur.

Sifat Ardhanari memegang peranan penting dalam Kala Cakra Tantra sebagai Adhi Budha Wajra Dhara yang artinya sebagai pembawa Lingga-Budhis dalam mana kedudukannya di alam Adhi Budha di Sunyaparamananda yakni Ketiadaan yang nyata adalah kebahagiaan yang tertinggi.

Mpu Kuturan
Dalam perkembangan berikutnya Mpu Kuturan membuat konsep pemujaan kepada Hyang Tunggal yang akhirnya dipakai sebagai pakem pemujaan Hindu Dharma atau Ciwa Budha di Bali yaitu dengan membuat simbol Tapak Dara, garis horisontal (mendatar) dan garis vertikal (atas bawah) yang bergabung atau tanda ‘+’. Simbol dari Lingga dan Yoni.

Horisontal adalah Budha dan Vertikal adalah Ciwa. Horisontal dikenal dengan Tri Murti dan Vertikal dikenal dengan Tri Purusha.
Tri Murti: yaitu Brahma Wisnu Iswara – Budha – Rong tiga
Tri Purusha: Ciwa, Sadaciwa, Paramaciwa – Ciwa – Padmasana

Akan dijelaskan lagi dalam tulisan lainnya yang membahas Mpu Kuturan.

Gambar kredit: japasemadi.files.wordpress.com

Senin, 10 Agustus 2009

Pelinggih Leluhur di Pura Besakih

Selama ini saya bersembahyang di pura kahyangan jagat Besakih adalah hanya di areal pura Pedharmaan, Penataran Agung dan di pelinggih Ida Betara Ratu Syahbandar saja. Namun ternyata ada beberapa Pelinggih yang sangat penting yang belum saya ketahui. Setelah saya bertemu dengan Pinisepuh Paguyuban Dharma Giri Utama, yang kebetulan pada suatu waktu kami tangkil ke pura Besakih malam hari, di sana saya minta dijelaskan siapa saja para Leluhur yang melinggih di Pura Besakih ini, dan pelinggih mana yang orang umum boleh sembahyang. Walau tidak sempurna saya menangkap penjelasan yang begitu detil, tetapi semoga penjelasan sederhana berikut bermanfaat untuk anda yang belum tahu.

Yang ada tanda adalah pelinggih-pelinggih umum.


Penjelasan gambar:
A. Ida Betara Prabu Jayabaya bergelar juga Ratu Dalem Majapahit.
B. Bambu yang sangat dikeramatkan
C. Ida Betari Maheswari
D. Ida Betari Ratu Mas Magelung
E. Ida Betara Prabu Jayasabha
F. Ida Betara Ratu Syahbandar
G. Areal pelinggih Pratima Majapahit
H. Penataran Agung

Asal Muasal Pedharmaan
Pedharmaan adalah pelinggih Leluhur dari masing-masing soroh atau pelinggih dari masing-masing Kawitan. Akan tetapi tidak semua soroh Kawitan mempunyai tempat di areal Pedharmaan. Pedharmaan ini ada di areal Pura Besakih karena waktu jaman pembangunan Pura Besakih, para Leluhur matur ayahan atau bekerja gotong royong untuk membangun Pura Besakih. Masing-masing Pedharmaan yang ada sekarang tersebut dulunya adalah tempat mondok atau tempat tinggal waktu ngaturang ayah. Setelah masa pembangunan pura selesai maka tempat mondok tersebut dibangun pelinggih-pelinggih untuk Soroh atau Kawitan masing-masing sebagai penghargaan telah ikut ngaturang bakti membangun pura Besakih pada saat tersebut.

Penjelasan Denah Pura
Ciwa-Budha sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan atau isme yang kemudian pada tahun 1961 kita kenal sebagai Hindu-Budha yang diresmikan sebagai Agama oleh pmerintah yang berkuasa pada waktu itu, mempunyai konsep pemujaan terhadap Leluhur. Singkat kata, karena Majapahit adalah Leluhur tertua manusia Bali, di luar Bali Aga, seperti telah disimbolkan dengan adanya Sanggah Seluwang di Mrajan masing-masing, maka, pelinggih Ida Prabu Jayabaya atau Ratu Dalem Majapahit adalah satu Pelinggih yang semestinya umat boleh ngaturan sesajen atau banten. Ngaturang banten atau sekedar ngaturang canang dalam pengertian bahwa, sama halnya dengan hormat kita dengan Ida Betara Kawitan. Dan Beliau adalah juga Ida Betara Kawitan kita sebagai umat Ciwa Budha di Bali. Dan Ida Betara Maheswari adalah permaisuri dari Ida Betara Prabu Jayabaya.

Di antara kedua pelinggih tersebut ada Bambu yang dikeramatkan karena pada waktu-waktu tertentu bambu tersebut mengeluarkan sinar. Menurut Pinisepuh, Agung Yudistira, Bambu keramat ini adalah tempat yang sangat baik untuk melakukan permohonan atau nunas ice. Tidak ada keterangan lebih jelas dari Bambu tersebut tapi boleh untuk nunas ica. Jangan lupa sandal dibuka waktu naik areal tersebut karena tanahnya sangat suci dan berenergi sangat bagus.

Ida Betari Ratu Mas Magelung Beliau mempunyai banyak nama. Beliau ini menurut Pinisepuh adalah Ida Betari yang sangat welas asih dan mempunyai banyak perwujudan. Beliau kalau melinggih di danau disebut juga Ibu Dewi Ulun Danu dan Kalau di pantai selatan wujudnya adalah Ratu Roro Kidul kalau dalam Budha Beliau adalah Ibu Dewi Kwan Im yang melindungi umat manusia. Dalam sejarah Budha, Ibu Dewi Kwan Im dianggap belum mencapai mokhsa menjadi Budha karena ingin memperhatikan umat manusia terlebih dahulu. Juga diberitahukan oleh Pinisepuh kalau maturan di Pelinggih Ida Betari Ratu Mas Magelung yaitu aturan vegetarian, tanpa daging, ikan dan telor atau kue-kue yang tidak mengandung bahan tersebut.

Ida Prabu Jayasabha adalah saudara dari Ida Prabu Jayabaya. Ida Prabu Jayasabha disebut juga Sang Hyang Wisesa. Beliau juga adalah Avatara dari Dewa Indra atau titisan dari Dewa Indra. Tidak banyak penjelasan yang diberikan mengenai Beliau ini akan tetapi dalam sejarah Kerajaan dari keturunan Beliau, Majapahit dianggap belum runtuh yang mana menurunkan Brahmaraja Hyang Suryo Wilatikta yang masih ada sampai sekarang dan tinggal di Puri Majapahit Trowulan.

Ida Betara Ratu Syahbandar adalah perwujudan Budha yang melinggih di Besakih. Beliau dikenal sebagai Ida Betara yang menguasai ekonomi, perdagangan dan kekayaan sehingga menjadi tempat pavorit saya juga kalau maturan di pura Besakih. Persembahan kepada Beliau adalah banten vegetarian, tanpa daging, ikan dan telor atau kue-kue tidak mengandung bahan tersebut. Jadi umat silahkan juga untuk mulai maturan di Pelinggihan Beliau Ida Betara Ratu Syahbandar kalau belum pernah. Sebagai umat pastilah kemajuan ekonomi adalah menjadi prioritas dan sebagai saran mohonlah juga restu pada Beliau Ida Betara Ratu Syahbandar dan Juga Ida Betari Ratu Mas Magelung.

Areal pelinggih Pratima Majapahit, adalah gedong simpen untuk pratima yang disakralkan oleh umat Hindu-Budha. Adalah salah satu bukti bahwa umat Siwa-Budha berasal dari Kawitan Majapahit. Karena tempat ini sangat sakral dan mempunyai vibrasi prana yang sangat besar mohon umat bertanya pada pemangku sebelum ngaturang canang raka di areal pelinggih ini. Jangan sampai kena sisip atau apa yang disebut dengan tulah.

Di Penataran Agung, di areal ini melinggih Ida Betara Lingsir Sang Hyang Pasupati, yang merupakan manifestasi dari Brahma, Wisnu dan Iswara. Pengayatan juga ke pura Semeru, Lumajang, Jawa Timur, di mana Ida Betara Lingsir Sang Hyang Pasupati yang berstana atau melinggih di sana. Sang Hyang Pasupati adalah Beliau Yang Maha Tinggi Ciwa Raditya, Acintya dan sebutan lain Ida Sang Hyang Widi Wasa, Sang Hyang Peramakawi dan lain-lainnya.

Penulisan ini hanyalah gambaran umum saja dan merupakan salah satu bagian dari perjalanan spiritual saya dalam lingkup mengenal asal-usul dan sejarah Para Leluhur. Tulisan ini saya anggap yang paling berguna karena merupakan pengetahuan Pura Terbesar yang di sungsung oleh masyarakat Bali dan umat dunia karena merupakan Pura Kahyangan Jagat.

Minggu, 09 Agustus 2009

Bisama Ida Betara

Dalam percakapan saya bersama pinisepuh Paguyuban Dharma Giri Utama, saya bertanya tentang jalan spiritual yang sebenarnya. Seperti dalam tulisan saya yang lain saya telah menyinggung bahwa salah satu jalan spiritual adalah dengan meditasi. Benar. Namun dalam cara berbeda untuk mencapai jalan spiritual adalah dengan melakukan yoga. Dalam konsep ini, yoga memberi aturan-aturan diantaranya adalah cara mengelola pikiran dan yang digaris bawahi juga adalah kesehatan. Untuk mencapai spiritual yang tinggi seseorang haruslah sehat.

Yoga adalah cara-cara melatih pikiran agar selaras dengan tubuh atau tingkah laku. Sesuai dengan ajaran Bhagawad Gita. Namun sekarang ini banyak sekali berkembang teknik yoga seiring dengan perkembangan jaman karena banyak kreator menciptakan gerakan-gerakan baru. Digabungkan dengan nuansa seni gerak oleh orang-orang dari dunia modern. Yang sebenarnya bagus tetapi masih diragukan kegunaannya kalau sudah bicara dengan spiritual. Sebab pada jaman dulu, yoga ini diciptakan sebagai penunjang pencapaian pencerahan spiritual. Yoga diciptakan oleh tokoh spiritual bernama Patanjali, pada tahun 2.500 SM. Yoga yang diciptakan terkenal dengan nama: Asthanga, atau 8 tingkatan yoga yaitu:

1. Yama: menjaga etika dan pikiran dalam lingkungan eksternal
2. Niyama: penghormatan kepada sesama makhluk hidup
3. Asana: latihan gerak tubuh
4. Pranayama: mengatur nafas atau olah nafas
5. Pratyahara: pengendalian diri secara internal
6. Dharana: konsentrasi atau fokus terhadap pengendalian diri tadi
7. Dhyana: fokus no 5 dan 6 yang sudah otomatis dengan perasaan yang nyaman
8. Semedhi: adalah tingkatan terakhir dimana penyatuan semua tingkatan yoga sudah terpenuhi.

Dengan melatih yoga tersebut maka kesehatan pikiran dan kesehatan jasmani dapat terbentuk dengan baik. Kesehatan jasmani dan rohani yang baik adalah modal awal untuk mencapai jalan spiritual yang benar. Spiritual yang benar ditunjukkan pertama kali dengan adanya pencerahan-pencerahan. Pencerahan-pencerahan adalah sebagai akibat dari bersihnya cakra-cakra. Cakra-cakra yang bersih sebagai tanda bahwa Kundalini sudah mulai bangkit.

Cepat atau lambat bangkitnya Kundalini tergantung dari karma. Latihan Asthanga Yoga tersebut diciptakan untuk kebangkitan spiritual. Berarti juga bisa menghapus karma sesuai dengan intensitas latihan dan sikap penyerahan diri kepada Ida Betara.

Sedangkan bagi umat Hindu Budha atau Ciwa Budha Bali ada hal lain yang harus dilakukan. Petunjuk Ida Betara yang melinggih di Bali, atau Bisama Ida Betara mengingatkan umat Hindu Dharma di Bali melalui Pinisepuh Paguyuban Dharma Giri Utama, Agung Yudistira, yaitu:

Untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi bagi umat yang berada di Bali, haruslah pernah mencapai terlebih dahulu Puncak Lempuyang Luhur dimana disana Melinggih Beliau Yang Maha Mulia Hyang Genijaya. Atau dengan kata lain, tidak akan pernah mencapai tingkatan tertinggi dalam latihan spiritual kalau belum pernah mencapai Puncak Lempuyang Luhur. Atau tidak pernah akan mencapai sorga kalau belum pernah mencapai Puncak Lempuyang Luhur.

Kalimat-kalimat diatas cuma memberi pengertian agar petunjuk sampai ke umat dan bukan seperti aslinya.

Namun setelah direnungkan maksud dari wangsit yang diterima oleh Pinisepuh Paguyuban Dharma Giri Utama, bahwa ternyata proses tangkil ke Puncak Lempuyang Luhur adalah hampir mirip dengan Asthanga Yoga. Saking tingginya puncak tersebut kita sering berpikir takut tidak akan sampai ke atas sana. Akan tetapi tutur kata tetua dulu mengingatkan bahwa jangan memikirkan beratnya medan ke sana, tetapi satukan pikiran dengan benar bahwa pikirkan saja kita bisa sampai ke sana maka kita akan bisa mencapai Puncak Lempuyang Luhur. Jadi kalau benar-benar kita melakoni pendakian tersebut secara otomatis tingkat 1 sampai dengan tingkat 7 dari Asthanga Yoga telah dapat dilalui. Sedang tingkat 8 yaitu Semedhi akan dilakukan setelah sampai di puncak yaitu saat persembahyangan kepada beliau Ida Betara.

Note:
Janganlah tulisan seperti ini menjadi polemik mempersoalkan benar dan salah dari wangsit yang diterima. Yang terpenting bagi saya adalah menyampaikan sesuatu pengetahuan yang barangkali berguna. Sebelum menulis ini saya sudah konsultasikan kepada Beliau Pinisepuh Paguyuban Dharma Giri Utama.

Kamis, 06 Agustus 2009

Ini kenangan pahit atau manis?

Saya senang sekali kalau membicarakan soal kaya. Waktu kuliah dulu hidup pas-pasan, mi lagi mi lagi. Bukan rahasia lagi kalau anak kos doyan mi. Ini yang paling murah dan gampang. Ada pengalaman mengesankan juga, terkadang pada waktu-waktu tertentu saat mana kehabisan uang, kalau sudah jam makan siang, saya menyingkir dari gerombolan teman-teman. "Mana De?" tanya mereka. "Makan dulu...", maksudnya makan angin! Kadang pernah mengalami masa-masa makan satu kali sehari. Saya tak pernah menyesal atau panik dengan situasi seperti itu. Rasanya tetap bisa bergembira dan bersenang-senang dengan teman.

Sekarang ini baru menyadari bahwa sebenarnya hidup saya tidak susah waktu itu. Itu hanyalah kecil dibandingkan seorang teman yang kaya dan sama-sama merantau. Hidupnya selalu panik dan bicaranya uang dan uang. Bekalnya empat kali lipat dari saya waktu itu atau bahkan delapan kali lipat dari teman yang lain. Manakala bekalnya sudah tipis, dan hari tanggung untuk pulang kampung kelihatan sekali wajahnya tertekan. Apalagi pacarnya sudah menunggu di mobil siap dibawa kemana saja, maka ia akan pinjam uang ke teman yang lain. Saya tidak sedang mengadili teman tersebut sekarang ini tetapi memberi sedikit perbandingan akan sebuah nilai kenyataan.

Saya akhirnya telah melalui masa-masa indah dan susah tetapi dengan tetap bersukur masih mendapat jatah kuliah sementara banyak teman yang lain tidak bisa melanjutkan kuliah. Saya melaluinya dengan perasaan tanpa beban tetapi sarat dengan angan-angan. Angan-angan saya waktu itu ingin punya uang 10.000 rupiah setiap hari dan berani membelanjakan uang itu tanpa mikir apa-apa. Biar kalau duduk di warung makan, pelayan warung nanya, isi apa Gus? Biar bisa jawab, satenya 2, atinya 2, lawarnya dan kulitnya tambah ya... waktu itu nasi babi guling di Pengadangan, Abian kapas, Denpasar, masih 500 rupiah sepiring. Keinginan ini sangat kuat disertai dengan permohonan dan do'a setiap kali bersembahyang di mana saja. Dua tahun kemudian yaitu tahun 1988 setelah bebas kuliah dan KKN, sambil menyusun skripsi saya punya usaha sablon. Angan-angan saya tercapai bahkan lebih dari yang diharapkan. Usaha sablon ini terus berkembang menjadi usaha percetakan dan hidup sampai sekarang serta dikelola oleh seorang saudara. Setamat kuliah saya bekerja di satu kantor akuntan. Gajinya lebih kecil dari bekal saya waktu kuliah. Tetapi saya memerlukan pengalaman itu karena jurusan saya akuntansi. Pengalaman ini yang mengantarkan saya sebagai seorang desainer perhiasan perak di kemudian hari.

Malang benar nasib teman kuliah yang kaya ini.
Suatu hari, delapan tahun kemudian saya bertemu di sebuah warung langganan waktu kuliah. Ini nostalgia, kebetulan lewat depan warung makan langganan dulu waktu kuliah, saya kemudian mampir. Tak dinyana saya bertemu dengan teman yang kaya itu, yang malu-malu menjawab sapaan saya. Ia akhirnya menceritakan hidupnya tidak lagi menyenangkan. Ia orang baik dan akrab dengan banyak teman termasuk saya dulu. Juga ia cerita bahwa tidak ada lagi fasilitas karena usaha slep orang tua di kampung tergilas perubahan peta pertanian Bali Utara. Orang tidak lagi menanam padi tetapi menanam anggur jadi order slep padi berkurang drastis. Selesai kuliah, teman ini bekerja, tetapi tidak pernah menetap lebih dari tiga bulan di satu perusahaan. Menjadi kutu loncat. Gaji yang diterima sebagai karyawan baru sangat jauh dari bekal yang diberi orang tua waktu kuliah dulu. Jadi terus berusaha mencari perusahaan-perusahaan yang menurutnya lebih baik dan lebih baik lagi. Akhirnya kehilangan waktu pengabdian selama sekian tahun lalu, kelelahan dan menyerah sementara teman-teman seangkatan sudah pada menjabat.

Raut mukanya tampak jauh lebih tua dari umurnya. Sekarang bekerja di satu tempat yang sebenarnya dia tidak sukai. Dengan gaji yang sebenarnya kurang dari pas-pasan untuk hidup layak bersama istri dan satu anak. Istrinya bukan pacarnya yang dulu, jadi nggak malu lagi kalo membantu suami cari duit dengan cara mencuci baju tetangga, terkadang jadi tempat penitipan anak, ya lumayan untuk nambah-nambah biaya hidup. Banyak cerita tentang nasibnya yang diceritakan. Semua tentang nasib buruknya, menurut pandangan dia sendiri.

Menurut pandangan saya, sebenarnya hal-hal demikian bukanlah suatu masalah seandainya menyadari bahwa setiap kehidupan tidak selalu dihargai berdasarkan kaya. Dinilai dengan uang dan didramatisir oleh pikiran yang sudah dicekoki oleh kata-kata gengsi dan malu. Malu ketemu teman kalau tidak lagi naik mobil. Sebenarnya dia tidak punya masalah karena dia tetap masih hidup sampai sekarang. Yang salah dia menempatkan perasaannya masih seperti dulu tetapi kenyataannya dia hidup dengan keadaannya seperti sekarang. Sama sekali tidak ada keselarasan pikiran dan kenyataan sekarang. Sehingga dia merasakan hidupnya seperti di awang-awang. Saya ini dulu kaya, punya rumah dan mobil. Hal-hal seperti itu sering dia ceritakan kepada orang-orang.

Tidak salah kalau sastra suci memberitahukan bahwa janganlah memamerkan kekayaan. Mungkin maksudnya memberitahu kalau satu saat tidak kaya agar tidak gengsi dan terobsesi terus sepanjang sisa hidup serta tidak bisa bangkit lagi karena terbelenggu oleh masa lalu.

Saya akhirnya menyarankan untuk merubah pola pikir 'menderita' tersebut ke yang lebih kenyataan. Yang hilang hanyalah harta. Hidup kamu kan tidak jahat. Jadi masih bisa lebih bagus lagi kalau kamu mau. Berhentilah menyalahkan keadaan karena setiap detik jaman dan keadaan berubah. Dalam pandangan spiritual kalau jahat kan kamu dihukum jadi lama bisa bangkit karena kamu menjalani hukuman. Ya anggap saja seperti itu, karena penafsiran saya tentang Panca Pandawa yang baik-baik kemudian berjudi lalu kalah dan kemudian harus menjalani hukuman. Sedang Kurawa yang hidupnya jahat terus akhirnya mati semua di akhir perang Mahabratha.

Yah kenangan ini memberi banyak hal-hal baru tentang ujian spiritual. Bagaimana menyikapi satu keadaan. Kenyataan tidak seburuk dalam pikiran. Capailah keadaan dimana kita bisa mengontrol pikiran tersebut. Dalam tingkatan spiritual yang lebih tinggi, seseorang bisa mengontrol pikirannya. Lebih tinggi lagi, Ia akan tahu sebelum pikiran itu ada dan muncul di kepala. Lebih tinggi lagi, Ia akan memerintahkan pikiran itu. Lebih tinggi lagi, manunggal dengan Brahman atau Mokhsa!

Hasil dari perenunngan dan percakapan bersama Gung Yudistira, Pinisepuh Paguyuban Dharma Giri Utama, dengan mengambil contoh nyata dari perjalanan seorang teman.


Senin, 03 Agustus 2009

Konsep dasar pemujaan di pura-pura

Tak disangka bahwa selama ini saya begitu tidak mengetahui perihal Ida Betara yang melinggih di pura-pura. Baik di pura merajan maupun pura Dhang Kahyangan atau pura Kahyangan Jagat. Saking kurangnya pengetahuan, menjadi merasa takut kalau melakukan kebaktian pada pura-pura tersebut. Apalagi di malam hari yang sepi dan pada dina kliwon.

Setelah mengetahui sedikit demi sedikit bahwa sebenarnya yang melinggih atau berstana di pura-pura adalah para Leluhur manusia Bali dan Nusantara, maka ketakutan tersebut berubah menjadi semacam kedekatan. Merasa ada hubungan darah sehingga kebaktian atau pemujaan bukan lagi kepada sesuatu yang sama sekali tidak diketahui. Beliau para Leluhur adalah Bapak dan Ibu manusia Bali yang telah di-Linggihkan pada pura-pura Perhyangan.

pura smeru di lumajang
Konsep pura dalam hal ini bisa dikatakan sebagai konsep makam para Leluhur. Konsep ini dimulai dengan adanya candi-candi yang berkembang sejak jaman Kerajaan Majapahit. Raja yang mangkat atau meninggal pada jaman majapahit diperabukan atau dilakukan ritual pelebon kemudian roh Beliau di-Enteg Linggihkan di Candi-candi. Dalam waktu berikutnya, keturunan daripada Raja-raja yang telah meninggal tersebut akan membuat persembahan pada candi-candi tempat para Leluhur di-Linggihkan. Akhirnya di Bali sendiri membuat pura-pura dan bentuk pelinggih tertentu yang merupakan manifestasi dari para Leluhur tersebut. Atau pelinggih yang merupakan simbol dari para Leluhur di mana pada hari-hari tertentu umat Bali melakukan persembahyangan atau persembahan atau dalam konsep yang lebih mendasar yaitu konsep nyekar ke makam. Dalam nyekar yang digunakan adalah sekar atau bunga. Sedangkan dalam konsep pemujaan kepada Leluhur digunakan banten. Banten yang beraneka macam adalah bahasa atau jembatan atau sarana komunikasi kepada Beliau para Leluhur tergantung dari maksud persembahan atau nyekar tersebut. Banten juga adalah wakil dari pada mantra. Dalam sastra banten juga sering disebut sebagai weda tanpa mantra.

Dengan konsep perabuan atau pelebon atau kremasi yang kemudian di-Linggihkan dalam candi atau pura maka ini berarti para Leluhur kita umat Ciwa-Buddha atau Hindu-Dharma akan dengan mudah kita kenali yaitu dengan menemukan situs para Leluhur, yaitu dari keberadaan pura atau candi dan bukan dari makam.

Konsep pemujaan kepada Leluhur ini di Bali masih lestari sampai sekarang. Begitu ada orang meninggal dilakukanlah upacara pengabenan yang kemudian diikuti acara ngelinggihang pada akhir prosesi. Dikemudian hari anak cucu akan melakukan persembahan pada hari-hari piodalan. Sedangkan di Jawa sejak kerajaan Majapahit runtuh, konsep me-Linggihkan pada candi tidak lagi dilakukan karena masyarakat telah memeluk agama Islam yang berkonsep makam dan nyekarnya.

Jadi sebagai umat Ciwa-Buddha, mengenali dan mengetahui Leluhur yang melinggih pada pura-pura yang dikunjungi adalah sangat penting karena tujuan dari persembahyangan adalah memuja Beliau yang melinggih pada pura tersebut. Juga dalam situasi khusus, menurut para pendamping spiritual saya terkadang mengetahui kesenangan Ida Betara yang kita kunjungi dan melinggih di satu pura adalah hal yang sangat penting. Untuk mengetahui kesenangan-kesenangan Ida Betara biasanya bisa ditanyakan kepada para pengempon atau pemangku pura yang bersangkutan.

Sebagai contoh: kalau melakukan persembahan di pura Besakih di pelinggih Ida Betara Ratu Syahbandar maka persembahan kepada Beliau adalah Vegetarian. Tidak ada persembahan dalam bentuk daging. Jadi cukup kue-kue yang dibuat juga tanpa daging atau telor dan buah-buahan. Bunga yang baik adalah bunga teratai.

Minggu, 02 Agustus 2009

Spiritual dan Kekayaan

Saya bertanya pada orang-orang yang menyebut dirinya adalah pelaku spiritual atau kepada orang-orang yang dalam kesehariannya sering dikunjungi oleh orang yang ingin bertanya tentang spiritual.

Apakah pelaku spiritual bisa kaya? Ada dua jawaban yaitu 'Ya' dan 'Tidak'.

Dalam kehidupan, yang pertama dihadapi sebagai manusia dalam kesehariannya adalah masalah ekonomi. Adalah sesuatu yang wajar bahwa setiap orang menginginkan menjadi orang yang kaya dalam kehidupannya. Sebelum mengenal kata spiritual itu sendiri saya merasa takut sebagai pelaku atau penekun spiritual karena alasan takut tidak bisa menjadi kaya.

Spiritual dalam kontek saya adalah penekun spiritual. Seseorang yang rajin ke pura-pura, baik pada waktu piodalan ataupun di luar waktu piodalan yang masih dalam cakupan sembahyang atau melakukan permohonan atau ‘mapinunasan’ adalah bukanlah yang disebut sebagai penekun spiritual. Ia hanyalah seseorang yang rajin menjalankan kewajibannya sebagai umat beragama. Jadi Ia bukanlah seseorang yang disebut penekun spiritual atau dengan bahasa sehari-hari orang sering mengatakan sebagai ‘orang spiritual’. Jadi orang yang rajin bersembahyang itu adalah belum bisa dikatakan sebagai ‘orang spiritual’. Yang dikatakan sebagai penekun spiritual atau orang spiritual adalah orang yang rajin melakukan ‘meditasi’ disamping melakukan kewajiban bersembahyang. Yang dikatakan sebagai penekun spiritual juga adalah beliau-beliau yang sudah ‘melinggih’ mulai dari Pemangku atas dasar kemauan sendiri ingin menjadi pemangku maupun pemangku atas dasar titah atau kajumput atau dikehendaki oleh Beliau sampai pada tingkatan pinandita lebih tinggi seperti Peranda dan tingkatan tinggi lain-lainnya.

Dalam pemahaman umum bahwa pelaku spiritual adalah orang-orang yang sudah tidak terikat oleh benda-benda duniawi. Harta adalah benda-benda duniawi. Kekayaan adalah benda-benda duniawi. Para pelaku spiritual dikatakan memang tidak terikat oleh benda-benda duniawi. Tidak terikat bukan berarti tidak membutuhkan benda-benda tersebut, masih membutuhkan pakaian dan makanan. Pakaian dan makanan adalah benda. Sekecil apapun benda-benda duniawi adalah kekayaan. Seorang penekun spiritual kalau tidak kaya mungkin juga akan susah mencapai tingkatan sampai ke status Peranda. Biaya yang diperlukan untuk melinggih tidak sedikit. Ada yang bisa mencapainya ada yang tidak bisa mencapai tingkatan ‘melinggih’ tersebut karena masalah ketiadaan kekayaan.

Saya hanya mencoba membuka sedikit polemik yang ada di masyarakat Bali agar tidak takut menjadi pelaku spiritual karena takut kehilangan kekayaan yang sudah dicari dan dikumpulkan sepanjang hidup. Bhagawad Gita telah mengatakan dengan jelas bahwa apabila seseorang ber-bhakti dengan tulus ikhlas dan sesuai dengan cara-caranya apapun yang diinginkan akan dapat dicapai.

Saya dalam keseharian adalah pelaku spiritual dan pengusaha. Melakukan meditasi sehari sekali. Sering melakukan persembahyangan ke pura-pura. Melakukan acara pelukatan di pura-pura. Memohon Restu dari beliau-beliau Ida Batara yang melinggih di Kahyangan Jagat Bali. Pada tahun 2009 mencanangkan pada diri sendiri untuk melakoni kehidupan spiritual. Dalam meditasi saya memohon seorang pendamping yang memahami spiritual secara utuh yang mana sangat sulit ditemukan di Bali. Akhirnya bertemu dengan pelaku spiritual yang sanggup berkomunikasi dengan beliau-beliau Para Leluhur. Ia juga yang menunjukkan kepada saya bahwa saya harus ngiring (mendapat titah mengabdi) di pura Kawitan saya. Dalam tahun yang sama juga mempunyai rejeki berlebih sehingga bisa membangun usaha baru yang juga untung pada operasional bulan pertama. Jadi tidak ada yang harus ditakutkan untuk menempuh kehidupan bernuansa spiritual. Kekayaan akan tetap bisa diraih bersamaan dengan pengabdian kita kepada Beliau Ida Batara.

Perjalanan mencapai nasib baik

Entah semua orang memiliki sifat dan keinginan memperbaiki akhlak dalam hidupnya seiring berjalannya waktu. Apakah setiap orang menginginkan mengalami kebaikan-kebaikan dalam hidupnya? Terkadang dalam perenungan, di saat sore hari setelah lelah menempuh perjalanan pada hari itu saya bertanya tentang hal-hal tersebut.

Di umur yang tidak lagi ABG, terkadang ingin rasanya menjadi seseorang. Seseorang itu misal saja Bakrie kalau tengah menginginkan harta kekayaan yang melimpah. Membayangkan bagaimana rasanya mengenyam kehidupan glamor kalau mempunyai harta sebanyak harta keluarga Bakrie Brothers. Pikiran terombang ambing tidak tentu arah ibarat kapal kecil di dalam samudra luas kalau sudah membayangkan harta kekayaan. Banyak rencana mulia yang tersirat tetapi dipenuhi kebodohan. Keinginan membantu keluarga, menyumbang ke yayasan-yayasan sosial yang memerlukan, membangun atau memperbaiki tempat-tempat suci yang membutuhkan pembangunan. Itulah sebagian rencana-rencana mulia yang ada dibalik kebodohan pikiran kalau saja sekarang memiliki harta kekayaan yang melimpah. Padahal sebenarnya rencana mulia itu hanyalah untuk menutupi sifat pemenuhan ego saja. Suatu kebodohan yang tak pernah pergi selama masih belum diusir. Tentu yang diutamakan saat punya harta sebanyak itu yaitu beli rumah mewah dulu, mobil mewah, karyawan yang cantik yang mau diajak tidak senonoh. Pamer ke saudara atau teman-teman. Mementingkan memuaskan panca indra yang akan dilakukan pertama kali.

Akhirnya setelah sekian tahun menjalani hidup yang hampir sama, menyadari kebodohan-kebodohan dan kebohongan-kebohongan tersebut, yang walau hanya terjadi dalam perenungan, tetap disebut sebagai sebuah kesalahan yang fatal. Satu surat tidak akan mungkin ditujukan ke dua alamat berbeda. Kemuliaan tak akan bisa murni kalau masih bercampur ego pribadi. Akhirnya secara terpaksa memilih sebagai diri sendiri seperti sekarang ini dan memulai mengerjakan hal-hal kecil yang berguna bagi orang sekitar. Tidak menunggu harta kekayaan sebanyak itu untuk menolong orang.

Saya akhirnya kerap mempelajari sejarah perjalanan saya sendiri pada tahun-tahun sebelumnya. Banyak sekali yang sudah terjadi tanpa disadari kalau tidak direnungkan. Ada yang sangat memberi kegembiraan ada juga yang sangat menakutkan. Yang memberi kegembiraan adalah saat mana telah mendapat pujian dan pengakuan dari orang-orang karena berhasil mencapai sesuatu yang mereka belum bisa capai. Namun setelah mendapat pujian tersebut, beberapa saat kemudian saya mengalami ketakutan yang sangat menyiksa lubuk hati yang paling dalam. Mampukah mempertahankan pencapaian tersebut?

Mengenang kata 'perjalanan' adalah membayangkan seseorang berjalan di atas jalan raya. Tidak selamanya jalan tersebut lurus. Tidak selamanya jalan tersebut menanjak. Tidak selamanya jalan tersebut datar. Tidak akan pernah pada situasi yang sama walau waktu perjalanan hanya berjalan satu detik. Bahwa dalam perjalanan tidak juga sendirian. Ada pemakai jalan lain dengan tujuan belum tentu sama. Dengan kepasrahan, welas asih yang terus dikembangkan akan mampu menghibur diri di saat-saat jalanan turun dan tidak sombong di saat mampu melewati jalanan yang menanjak.

Ketenangan diri dan sifat welas asih sangat disenangi oleh Sang Hyang Pramakawi atau Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam berbagai wujud manifestasinya. Pencapaian tertinggi akan banyak godaannya kalau tidak didampingi oleh sifat-sifat yang disenangi oleh Beliau Ida Betara. Perjalanan manusia adalah atas dasar restu Beliau.